May 14, 2010

i need an angel........


mikael is my name......

Sep 3, 2008

PEREMPUAN DAN SEKSUALITAS DALAM KEBUDAYAAN

Seorang perempuan Jawa kembali dari studi manajemen di seberang lautan. Modal budaya yang dibawanya dari seberang menjanjikan karir yang cemerlang. Namun, jam biologis terus berdetak. Orang tua pun mengajukan tuntutan: menikah! Sebuah upacara separuh sosial separuh sakral segera dilangsungkan! Upacara yang menggiringnya masuk ke dalam sebuah jerat budaya yang tidak bisa dihindarinya. Jerat dimana kekerasan berlaku simbolik hingga tidak terasa. Ia tetap bisa berkarir di bidangnya. Namun, rambu-rambu budaya mengekangnya. Suami dan domestikasi. Alih-alih berkarir cemerlang, sang perempuan digayuti beban ganda nan menyiksa. Semua karena ia adalah perempuan. Semua adalah karena ia memiliki vagina dalam tubuhnya. Tapi apakah ia dan semua tatanan harus seperti demikian?
Pembahasan kali ini, khususnya akan mencoba menggali lebih dalam akan fenomena yang hidup di dalam masyarakat mengenai perempuan yang bervagina tersebut. Vagina seakan menjadi sebuah citra yang begitu rapuh dan tak berdayanya tetapi juga tidak bisa dilepaskan dan diabaikan begitu saja. Dibandingkan dengan laki-laki yang ber-penis, perempuan dengan vaginanya seakan-akan sudah memiliki tempat tersendiri baginya di dalam tatanan masyarakat dimana ia tidak boleh diusik dan diganggu gugat oleh konsepsi luar dan bahkan oleh pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri akan citranya selama ini yang dirasakan senantiasa mengalami ketimpangan tidak hanya disekitar ranah seksualitas saja tetapi di dalam keseluruhan konstruksi sosial dimana ia hidup dan tinggal di dalamnya.

Pengantar
Dari perspektif psikologi, perilaku seseorang adalah hasil interaksi aktif antara faktor intern dan ekstern. Apa banyak aliran psikologi dimana ada teori psikologi yang lebih menekankan pada pengaruh faktor intern (seperti aliran psikoanalisa Freud, Lacan) atau yang lebih menekankan pada pengaruh faktor ekstern (seperti aliran behaviorism), tetapi ada juga yang menekankan pada pilihan seseorang dalam menentukan pengembangan potensi dirinya (seperti pada humanisme). Contohnya, ciri khas perempuan yang dikelompokkan sebagai feminitas dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang kodrati (intern), sebagai hasil belajar (ekstern), dipilihkan orang lain bagi dirinya ataupun sebagai pilihan si perempuan itu sendiri. Dengan berkembangnya pemahaman baru tentang perempuan pada dunia barat dan secara umum pada keseluruhan peradaban itu sendiri, seperti tentang ciri-ciri khas perempuan dan laki-laki, apa itu manusia perempuan dan laki-laki, di dekonstruksi dan di redefinisi secara kritis. Konsep-konsep dan perkembangan pemahaman-pemahaman baru itu benar-benar telah membuka serta menyumbangkan informasi baru yang sangat berharga, terutama dalam poses pemahaman mengenai seksualitas.
Seksualitas seakan menjadi sesuatu yang sedemikian peliknya dan tidak lagi sesederhana dalam pemahaman yang lama; tidak hanya berkenaan dengan pemahaman laki-laki dan perempuan tetapi juga mengenai identitas lain yaitu berkenaan dengan fenomena hetero dan homo seksualitas. Tidak hanya itu saja, kerumitan seakan menjadi semakin berkembang ketika semua saling mempertanyakan dirinya sendiri, identitas dirinya dan konstruksi yang telah ada di dalam masyarakat mengenai seksualitas.
Di sini, tampak jelas bahwa seksualitas bermula dari pemahaman mengenai hanya perilaku seksual, perilaku feminin dan maskulin, peran gender dan interaksi gender. Tergantung dari alirannya, maka ada teori yang menganggap seksualitas seseorang berkembang dengan dipengaruhi secara kuat oleh mitos dan stereotip yang berlaku dalam masyarakat (eksten), ada pula yang menganggap seksualitas ditentukan oleh struktur anatomi-biologi yang dimiliki seseorang (psikoanalisa). Sementara itu teori yang berkembang berdasarkan aliran psikologi humanistik menekankan bahwa perilaku seksual atau seksualitas seseorang dikembangkan sebagai hasil pilihan orang itu sendiri. Dengan demikian, ciri-ciri feminitas perempuan yaitu tampil cantik, menarik, seksi dan sejenisnya, atau ciri-ciri maskulinitas sebagai perkasa, mandiri, menguasai (perempuan), melindungi menjadi semacam stereotip pasti yang tidak boleh diganggu gugat, bahkan sampai saat ini.

Seksualitas, Konsep dan Makna
Harus disadari bahwa seksual manusia merupakan fenomena yang variatif dan kompleks, baik secara geografis, konteks sosial budaya, kegiatannya dan bahkan dipersepsikan secara berbeda anta individu atau kelompok. Artinya, seksualitas selayaknya tidak dipahami hanya sebagai aktivitas fisik yang terkait dengan aspek biologis (dorongan seksual) dan psikologis individu (pikiran serta pengalaman-pengalaman individual) saja. Karena itu, perlu pemahaman yang komprehensif atas seksualitas dan tidak hanya memfokuskan pembahasannya atau unit analisanya pada tingkat individu. Hal ini mengingat perilaku seksual merupakan fenomena sosial, karena faktor eksternal – baik sosial budaya bahkan ekonomi dan politik – berpengaruh atas perilaku seksual. Dengan demikian, seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial mengingat seksualitas adalah konsep tentang nilai, orientasi dan perilaku yang berkaitan dengan seks. Karenanya, ada kaitan antara struktur sosial dengan bagaimana dan bilamana seks dilakukan dan dengan siapa seks diperbolehkan (diterima) secara sosial, termasuk bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan didefinisikan? Implikasinya, sebagai sebuah realitas sosial yang dikonstruksi, makna seksualitas bisa direkonstruksi bahkan bisa di dekonstruksi. Artinya, bisa berubah-ubah sesuai dengan dinamika masyarakat termasuk perubahan cara pandang masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat mendefinisikan perempuan tidaklah sekadar dari fisik vaginanya saja yang memang berbeda dengan penis yang dimiliki laki-laki, tetapi mendefinisikan perempuan sebagai yang berperan pasif dalam aktivitas seksual, sedangkan laki-laki dianggap normal jika menunjukkan perilaku seksual yang agresif. Pertanyaannya; apakah dorongan seksual yang agresif pada laki-laki dianggap sebagai melekat secara biologis atau lebih karena pembenaran masyarakat saja? Pada konteks yang kedua, jika ada perempuan yang agresif secara seksual, di sebagian masyarakat ada yang menganggapnya sebagai sebuah “penyimpangan”. Anggapan-anggapan yang berkembang di masyarakat menyangkut seksualitas laki-laki dan perempuan, pada pokoknya tidak terlepas dari konsepsi budaya tentang maskulinitas dan feminitas, tentang penis dan vagina yang melekat pada dirinya masing-masing, termasuk menyangkut pilihan pasangan seksual dan bentuk relasi yang terbangun.
Bagi para feminis, pemikiran-pemikiran tersebut dengan caranya sendiri merembes ke dalam seluruh ajaran dan sistem nilai masyrakat di seluruh dunia, melahirkan feodalisme dan kolonialisme, khususnya di dalam cara berpikir. Pemikiran-pemikiran seperti itulah yang menjadi bibit awal yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan atau bahkan terhadap vagina yang dimilikinya menjadi sebagai sesuatu yang tidak aneh. Institusi pun menolerir perlakuan tersebut, kebencian dan ketimpangan terhadap perempuan yang ternyata juga semakin berkembang dan ditemukan mengemuka di dalam bahasa yang digunakan dengan ringannya, mulai dari mereka yang menguasai senjata sampai para pekerja seni dan kemudian diadaptasi menjadi sesuatu yang banal, yang biasa di dalam kehidupan sehari-hari.
Di sini, dominasi (pemikiran) laki-laki melalui wacana lebih berat karena korban, secara sadar atau tidak sadar ikut menyetujui kekerasan dan ketimpangan serta kekerasan simbolis yang menindas dirinya. Tampak juga bagaimana justru perempuan sendirilah yang menempatkan dirinya secara tidak sadar sebagai pihak yang tertindas, bahkan yang harus ditindas. Logika sederhana adalah bahwa tidak mungkin ada penindasan bila tidak ada yang mau ditindas, dan perempuan seakan senantiasa menempatkan dirinya di dalam posisi yang kedua itu. Contoh yang nyata adalah; seorang artis yang akan menikah, misalnya dengan ringan berkata,” Suami saya mengizinkan saya untuk terus menekuni karier sebagai artis” dan sebagian besar pembacanya setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menganggap artis itu hebat. Dan hal bawah sadar seperti inilah yang semakin mendukung kekerasan simbolis tersebut. Di satu sisi mau mengangkat fenomena ketimpangan dan kekerasan simbolis tetapi di sisi lain justru membiarkan diri sendiri untuk menempati tempat sebagai pihak yang tertindas.
Tidaklah heran apabila dalam ranah filsafat sendiri, perempuan berfilsafat dari posisi ketertindasan meski ia akan menjadi lebih peka terhadap realiatas yang lain dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki berfilsafat dari kedudukannya yang dominan sehingga kalau pun ada pendekatan-pendekatan yang khas perempuan, tetapi karena pengalaman-pengalaman kolektif mereka berbeda, mereka menjadi kurang peka.
Phallus dan vagina
Berkenaan dengan itu semua, perlulah kiranya juga dibahas mengenai phallus dan kaitannya dengan pemikiran tentang vagina perempuan itu sendiri. Di sini, saya akan mencoba mengambil sedikit pemikiran dari Freud, terlebih dari Lacan yang dirasa dapat mewakili pola pikir dan paradigma saat itu akan dominasi phallus yang memandang vagina perempuan.
Untuk memahami dengan lebih jelas apa artinya menjadi wanita - menurut Lacan - harus mulai dengan sesuatu yang sederhana: apa artinya menjadi pria dan apa peranan phallus. Memahami phallus merupakan sesuatu yang sentral dalam teori Lacan tentang seksualitas wanita. Menurut Lacan, ada dua jenis seksualitas yaitu berphallus dan tak berphallus. Seksualitas pria berphallus sedangkan seksualitas wanita adalah berphallus maupun tak berphallus atau “feminin”. Dengan demikian, perempuan mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai oleh laki-laki. Akan tetapi, juga ada kategori istimewa menurutnya yaitu orang-orang yang mempunyai seksualitas tak berphallus – mereka ini bisa pria, bisa wanita – yang dapat menerangkan misteri seksualitas perempuan atau feminin.
Lacan melihat bahwa penikmatan feminin adalah pkok misteri perempuan dan mistisisme. Kita dapat berteori tentang misteri dan mistisisme itu dan melihat penikmatan feminin atau idak berphallus dalam konteks ini, tetapi akan selalu mustahil mempelajari penikmatan tidak berphallus. Penikmatan tak berphallus atau feminin itu seperti sebuah kotak yang kita ketahui ada tetapi tidak dapat dibuka. Itu berarti bahwa ada suatu segi seksualitas perempuan yang tidak dapat dipahami. Otulah sebabnya Lacan berkata bahwa perempuan itu tidak ada.
Selain itu, Lacan mengatakan akan mengapa timbul ketidakcocokan antara pria dan wanita. Dia pertama-tama mengacu pda Freud dengan mengambil contoh dalam kehidupan seoorang bayi.
Bagi bayi yang baru saja lahir persoalan utamanya mulai dengan persoalan kebutuhan-kebutuhannya, pengelolaan rasa sakit dan senangnya. Ibu adalah pengelola perasaan si bayi, yang mengendalikan rasa sakit dan sukanya seperti seorang penyiksa yang baik hati; ibu semakin mengurangi kesenangan si bayi dan menyebabkan si bayi menderita, selagi ia memberinya makan dengan kata-kata. Bayi yang tak berdaya itu segera belajar bahwa agar kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi, ia harus belajar apa yang dikehendaki ibunya. Bagaimana si bayi mengetahui apa yang dikehendaki ibu? Dengan belajar berbicara, yakni dengan menerima penanda-penanda ibunya, bahasa ibu ke dalam dirinya.
Hal itu mulai dengan usaha ibu memuaskan kebutuhan-kebutuhan si bayi segera setelah kebutuhan itu muncul, tetapi semakin bayi bertambah umur, semakin ibu mengubah tawarannya. Bayi semakin banyak mendapat kata-kata dan semakin sedikit mendapat pemenuhan kebutuhannya, sampai saat sebagai orang dewasa kita hidup dalam tingkat yang luar biasa di sunia bahasa yang simbolis.
Bagi Lacan, bayi merupakan phallus bagi ibu, cara memperoleh kenikmatan dan anak mengetahui hal ini. Para ibu biasanya sampai tingkat tertentu sadar bahwa mereka memperoleh kenikmatan seksual dari bayi mereka. Beberapa ibu bahkan mengalami orgasme ketika menyusui bayi mereka. Dengan demikian, ibu memperoleh kenikmatan seksual dan bayi memperoleh rasa sakit. Tentu saja ini bukan seluruh cerita, tetapi merupakan bagian yang penting dari masalah gender dan identitas seksual, tetapi yang banyak diabaikan.
Seluruh hubungan anak dengan ibunya mau tak mau didasarkan pada perihal tidak memperoleh apa yang dikehendakinya, pada terbentuknya ketakcocokan atau ketiadaan hubungan. Seksualitas orang dewasa didasarkan atas ketiadaan hubungan antara ibu dan anak. Hubungan ibu-anak merupakan prototipe untuk semua hubungan seksual orang dewasa.
Di sini, Lacan mau mengatakan bahwa hubungan atau relasi tersebut mempunyai sebuah pemaknaan yang sangat dalam akan seksualitas, phallus dan vagina sendiri. Bayi yang semakin dewasa akan mearasakan kenikmatannya berkurang karena keintiman dengan ibu semakin berganti dan terpisahkan dengan bahasa yang semakin ia kuasai. Kenikmatan itu dimetaforkan dengan phallus sebagai kekurangan yang dialami. Sebagai gantinya ia masuk ke alam imajiner dimana ia menjadi asik dengan dirinya.
Terlebih pada bayi perempuan dimana ketika ia menjadi anak perempuan, ia mengalami kehilangan yang begitu besar karena keberbedaanya dan posisinya yang lain dari lelaki. Istilah penis envy muncul di sini. Anak perempuan ketika sadar akan dirinya dan melihat anak lelaki merasakan ada yang kurang di dalam dirinya sehingga kekurangan inilah yang senantiasa menghantuinya sebagai kehilangan terus-menerus. Ia mengalami dirinya sebagai perempuan berkat pemisahan dirinya yang “dipisahkan” dari logika identitas diri lelaki yang ber-penis. Bahkan secara lebih tajam dapat dikatakan bahwa ketika ia melihat bahwa kemaluannya berbeda dengan milik lelaki, bahwa ia memiliki vagina yang kenyataannya tidak ber-phallus seperti laki-laki, maka sepanjang hidupnya ia akan terus menerus mencari dan menutupi kekurangannya itu di dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini akan tampak jelas di dalam fenomena “pasif” perempuan yang tadi dijabarkan pada awal mula tulisan. Perempuan menjadi begitu mindernya kepada laki-laki karena ada satu hal yang ia sendiri tidak mengetahui mengapa ada yang kurang dalam dirinya. Berawal dari sinilah maka vagina memiliki beragam citra dan pemaknaan bahkan bagi perempuan itu sendiri di dalam kerangka dan bingkai global atas pemikiran Lacan tersebut.

Perempuan dan Budaya
Tidak dapat dipungkiri, perjuangan demi perjuangan ternyata merupakan satu-satunya upaya yang harus dilakukan oleh perempuan. Terlebih mengingat begitu berakarnya ketimpangan terhadapnya di dalam budaya dimana mereka hidup dan dibesarkan. Sebagaimana Lacan mengatakan bahwa sejak kecil seorang anak bila ingin berfungsi dengan baik di dalam masyarakat harus mengointernalisasikan “aturan simbolis” nya melalui bahasa dan semakin seorang anak menerima aturan bahasa yang dipakai dalam masyarakatnya semakin banyak aturan yang masuk di kepalanya (di bawah sadar). Dengan kata lain, “aturan simbolik” mengatur masyarakatnya melalui aturan-aturan individu selama individu-individu itu memakai bahasa masyarakatnya, serta pula menginternalisasikan peranan jender dan peranan kelasnya.
Bagi Lacan yang meminjam pemahaman Freud, elemen bawah sadar memiliki peranan penting dalam menerima segala “aturan simbolis” masyarakat yang diinternalisasikan lewat bahasa. Bila seorang individu mau masuk dalam aturan tersebut, ia harus menerima apa yang disebut “aturan bapak”. Aturan bapak ini yang diadopsi dalam simbolisme kehidupan bermula dari proses pertumbuhan anak. Menurut Lacan, pendiskriminasian terhadap perempuan terjadi karena ada keterasingan yang dialami perempuan ketika ia tumbuh dewasa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dari sinilah, budaya memainkan peranan yang tidak sederhana dalam proses perkembangan pemahaman bagi seorag perempuan yang bervagina dan tidak per-penis. Terlebih adalah bahwa ideologi phallogosentris tersebut mengeras dalam budaya, sosial dan politik. Konspirasi yang tidak menguntungkan bagi perempuan ini dikemas oleh rasionalitas sistem budaya patriarki yang hingga saat ini masih terus berjalan dengan rapihnya.
Di lain sisi, dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas menjadi semacam energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan. Dan sekali lagi, perempuan dengan vaginanya menjadi sebuah momok yang dapat dengan mudah diputar-putar dan dipermainkan senantiasa. Seksualitas ditabukan sebagai bahan pembicaraan publik bukan semata-mata karena ia membicarakan hal-hal yang sangat pribadi, tetapi terutama karena pembicaraan mengenai seksualitas dapat menyadarkan orang tentang tatanan sosial seksualitas yang diskriminatif, eksploitatif dan oppressis dalam kebudayaan.
Celakanya juga, seksualitas hanya dipahami sebagai isu biologis dan hubungan seks semata; hubungan seks yang dimaksudkan pun direduksi lagi menjadi hanya pada hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, antara penis dan vagina. Padahal, seksualitas jauh lebih luas dari sekadar persoalan biologis, apalagi hanya urusan hubungan badan. Seksualitas mencangkup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan bahkan watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi seksual. Akibat tabu itulah, pemahaman seksualitas mengalami reduksi bahkan distorsi. Bisa dipahami jika wacana seksualitas selama ini tidak pararel dengan perkembangan seksualitas sendiri yang terus berkembang.
Salah satu hal yang juga kerapkali disadari dalam kebudayaan itu sendiri dalam kaitannya dengan perempuan adalah bahwa kesalahan utama yang dilakukan oleh mereka sendiri adalah justru turut mereproduksi struktur patriakal dengan menekankan keteimpangan gender dengan mengedepankan wacana pemberdayaan perempuan, ketegangan perempuan dan perempuan sebagai makhluk lemah.

Citra Vagina
Topik vagina seakan menjadi topik yang jarang dibahas apalagi didiskusikan secara ilmiah. Hal ini tidak mengherankan karena di dalam masyarakat penggunaan kata vagina masih tabu sebagaimana dijelaskan di atas. Vagina kelihatannya menjadi bagian tubuh yang dilupakan begitu saja. Padahal, setiap perempuan pastilah memiliki vagina dan pasti setiap hari senantiasa dibawaa ke mana pun juga. Demikian juga dengan pria, dalam suatu masa pasti akan berurusan dengan vagina. Namun demikian, nasib citra vagina, menjadi bagian tubuh yang masih kurang populer.
Dalam sebuah karya sastra The Vagina Monologues karya Eve Ensler, terdapat wawancara yang begitu menarik yaitu ketika meminta perempuan untuk menyebutkan bagaimana tanggapan dan pengalaman mereka tentang vaginanya. Jawabannya pun beragam-ragam dan tergantung dari pengalaman serta reflektivitas masing-masing perempuan yang menjawabnya. Kesadaran akan pentingnya vagina juga ditanggapi secara berbede-beda. Kebanyakan dari perempuan muda menyadari pentingnya vagina dari peristiwa “hari berdarah”. Ada juga seorang perempuan yang mengatakan lain tentang pentingnya vaginannya tersebut.
Hal menarik lainnya adalah akan pengulasan mengenai pengandaian-pengandaian seputar vagina yang ditujukan kepada perempuan-perempuan yaitu pengandaian apabila sebuah vagina dapat berbicara, apa menurut para perempuan yang akan dikatakan oleh sebuah vagina? “If your vagina could talk, what would it say, in two words?
Sebuah pertanyaan pendek tapi sebenarnya begitu mendalam terlebih ketika ditanyakan kepada mereka (perempuan) yang empunya vagina.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin akan membuat telinga menjadi risih. Namun, harus disadari bahwa pertanyaan-pertanyaan seputar itu perlu ditanyakan. Dari sudut pandang feminisme, pembahasan tubuh perempuan merupakan topik yang sangat lekat dengan perempuan. Di dalam ranah psikoanalisis, secara panjang lebar menguraikan pentingnya perempuan mengungkapkan persoalan-persoalan seksualitas karena kesetaraan terhadap perempuan dianggap hanya dapat dilakukan lewat pembebasan represi seksual. Oleh sebab itu, pembahasan-pembahasan tubuh dan seksualitas perempuan dianggap penting sekali karena seringkali perempuan justru diasingkan dari tubuh dan seksualitasnya.
Namun, di dalam alam pemahaman saat ini, kita juga melihat bahwa eksplorasi wacana-wacana perempuan termasuk mengenai tubuh dan seksualitas harus juga dibahas dari bahasa yang digunakan. Sebagaimana pemahaman bahwa masyarakat hanya dilengkapi oleh bahsa laki-laki karena masyarakat yang kita hidupi ini menggunakan aturan-aturan simbolis phallusentris. Sehingga, bila dalam buku Eve Ensler tadi ditanyakan persepsi perempuan tentang vaginanya dan dicatat dengan cermat pengguanan bahasanya, maka kita paham betul bahwa usaha itu ingin membongkar seluruh seksualitas perempuan dari sudut perempuan dan menciptakan bahasa-bahasa feminin agar dapat merekonstruksi bagaimana perempuan melihat tubuhnya dan lebih jauh dunianya.

Modernitas dan seksualitas perempuan
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam memehami seksualitas pada jaman sekarang adalah dengan pendekatan pemahaman bahwa seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang adasejak lahir. Seksualitas dipengaruhi oleh suatu proses pembentukkan sosial budaya yang melampaui aspek-aspek pembentukkan lain dari perilaku manusia. Pendekatan ini beranggapan bahwa seksualitas adalah hasil bentukkan (konstruksi) sosial budaya. Definisi normal dan abnormal merupakan pendefinisian sosial, dan demikian juga dengan penis dan vagina yang semuanya itu merupakan mekanisme kontrol semata saja yang kemudian justru menjadi semacam citra inheren di dalam diri setiap manusia.
Di dalam setiap budaya, seksualitas manusia diarahkan dan bahkan diberi struktur yang sangat kaku dan bahkan begitu diskriminatifnya. Kultus keperawanan, konsep aurat, perkawinan, paham-paham kepantasan pergaulan laki-laki dan perempuan, larangan terhadap seks di luar nikah, icest dan homoseksualitas semuanya merupakan regulasi seksualitas.
Di dalam tatanan masyarakat kita yang patriarkis ini, konstruksi sosial budaya atas seksualitas digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan tak lebih sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki di satu sisi dan alat untuk melanjutkan keturunan di sisi lain. Perempuan seolah-olah tidaklah memiliki kedaulatan bahkan terhadap seksualitasnya sendiri.
Ironisnya, perkembangan modernitas ternyata tidak banyak membantu mengembalikan otonomi seksualitas perempuan. Jika sebelumnya pengaturan dan pengekangan seksualitas perempuan dilakukan oleh kekuaan simbolik seperti norma-norma sosial, budaya dan agama serta kekuatan represif (negara), maka dalam negara modern, perempuan dengan vaginanya “ditundukkan” oleh modernitas itu sendiri melalui kapitalisme sebagai kaki tangannya. Contoh nyatanya adalah akan bagaimana citra seksualitas perempuan di media massa, bagaimana bukan saja dijadikan alat oleh industri media dan pemilik modal untuk memasarkan beragam produknya, tetapi bahkan tidak jarang justru dilecehkan dalam proses-proses itu sendiri. Dalam sisi ini perempuan justru yang mengambil keputusan untuk terjun dan masuk ke dalamnya.
Akhir dari papaer ini saya justru melihat bahwa sebenarnya tidaklah ada ketimpangan serta diskriminasi terhadap perempuan, entah itu dari sudut bawah sadar maupun konstruksi budaya dimana kita hidup. Berkenaan dengan hal terakhir ini tampak bahwa sebenarnya semua hanyalah sebuah lingkaran statis dimana di dalamnya hanya perempuan yang terus berkutat sedemikian rupa tetapi terus menerus mengulanginya dan tidak akan pernah bisa lepas dari itu semua karena ia adalah pelaku dan sekaligus merasakan sebagai korban juga.
Penjelasan akhir ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan tubuh dan media yang tadi sudah diutarakan dengan seingkat.
Tubuh tidak dapat dipungkiri dapat dilihat sebagai alat pertukaran di dalam masyarakat modern (konsumsi), sebab dalam realitas masyarakat konsumsi, tubuh merupakan sesuatu yang patut dimanjakan. Tubuh dierotiskan untuk menunjukkan daya tariknya sehingga menjadi kendaraan iklan. Bermula dari sinilah akan lebih terbuka pemahaman perempuan di dalam tataran kemodernan yang sesungguhnya.
Menjadi pertanyaan, mengapa misalnya seorang perempuan begitu resahnya dengan bentuk tubuhnya? Tentu dilatarbelakangi oleh tuntutan budaya yang sebagian besar dibentuk oleh media, bahwa kecantikkan seorang perempuan hanya ditemukan pada tubuh yang berkulit putih, halus, langsing dan beberapa bagian tubuh sengaja ditonjolkan. Sampai bagian ini, saya masih belum melihat keterlibatan laki-laki yang pada mula paper ini tampak begitu dominannya menguasai alam pikir dan ranah tatanan sosial masyarakat. Semua masih dalam lingkup.. hanya perempuan.
Di sini, sikap pemujaan terhadap tubuh sebagaimana ditunjukkan tadi sebenarnya adalah pemujaan terhadap seksualitas itu sendiri, sebab seksualitas ditemukan dalam tubuh yang dierotiskan dimana energi libido itu dirangsang karena memang memiliki potensi untuk terangsang. Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa perempuan dalam budaya media ternyata memegang otoritas penting. Diklaim bahwa terjadi upaya feminisasi media melalui objektifikasi tubuh perempuan. Mengapa mesti perempuan? Sebab perempuan adalah kekuatan produksi sekaligus konsumen aktif yang selalu resah oleh kekurangan identitas diri atau citra diri. Sederhana dapat dilihat di dalam film arisan yang beberapa waktu lampau kita tonton.
Seksualitas, keresahan demi keresahan dalam diri perempuan oleh perasaan kekurangan identitas diri itu menjadi sebuah kunci dari masyarakat konsumtif. Produk yang dicitrakan melalui media dominaan melalui kendaraan seksualitas sehingga lambat laun kemungkinan masyarakat akan terjangkit budaya seks. Di mana-mana seks menjadi tema utama mulai dari iklan produk sabun mandi sampai produk otomotif.
Tubuh merupakan sebuah media tempat segala hal aksesoris melekat. Tubuh dibentuk, dimanipulasi oleh tuntutan budaya media. Media menjadi cermin identitas perempuan, tempat dimana wanita merasakan dirinya sebagai subjek, bagian dari kultur global. Sikap pemujaan terhadap tubuh bisa dilacak sampai kisah Narcissus dalam dongeng Yunani kuno yang begitu cinta pada gambaran dirinya sendiri.
Demikian hemat saya, seperti Narcissus begitulah perempuan terlibat di dalam perilaku neurotik dimana kecintaan berlebihan terhadap tubuhnya begitu hebatnya. Memaksa kita untuk bertanya, mengapa seksualitas perempuan ditonjolkan di dalam budaya media?
Mengacu pada awal paper ini dalam menjawab pertanyaan itu....
Apakah ini disebabkan oleh relasi yang timpang (ketidakadilan gender) antara laki-laki danperempuan? Saya bahkan berfikir bahwa ini disebabkan oleh ide cinta diri (narcisme) di mana wanita memuja tubuhnya sendiri dan ingin dipuja dalam tampilan media dan keseluruhan hidup. Jangan-jangan sebenarnya semua pembahasan tadi serta keadaan budaya saat ini yang tampak begitu menghimpit dan mendiskriminasikan perempuan justru merupakan kehendak bebeas perempuan itu sendiri dalam upaya mencintai tubuhnya dan bersedia mengambil resiko apapun agar tubuhnya itu tetap indah dan terus juga dapat dipuji tidak hanya oleh dirinya tetapi juga oleh orang lain di luar dirinya (laki-laki).
Dalam hal ini, saya justru melihat suatu kebalikan dari itu semua bahwa justru laki-laki lah yang sebenarnya harus meredefinisi dirinya sendiri karena tampak jelas dengan begitu sebenarnya perempuanlah yang membentuk pola pikir laki-laki yang sedemikian adanya hingga saat ini. Dan itu berawal dari kehendak perempuan saja yang begitu ingin menampilkan dirinya. Konstruksi sosial budaya justru semakin dipertanyakan sebagaimana jangan-jangan budaya patriakal yang hidup pada jaman modern ini hanyalah sekadar bentukkan dan efek samping saja dari kerangka besar berpikir perempuan akan dirinya tersebut.
Pada akhirnya, saya memilih metode yang dipaparkan oleh wittgenstein akan permaian bahasa. Bahwa antara laki-laki dan perempuan itu hanya memiliki permainan bahasa dan rasionalitas yang berbeda saja. Tidak bisa di subordinasikan antara satu dengan yang lainnya dan akan terus berkembang dalam proses hidup manusia itu sendiri.

Pragmatis : Reaksi Penerima Iklan

Sebuah tanda hanya akan bermakna apabila diobservasi dan dimaknai oleh seseorang. Dengan alasan inilah, semua tanda tergantung dari bagaimana proses penandaan dirinya bagi si penerima tanda; bagi mereka dan bagi sistem-sistem kultural tertentu yang dipenuhi dengan kepercayaan bahwa tanda-tanda ini memiliki makna. Bab ini mencoba menjelaskan kemungkinan dimana para konsumer menanggapi dan memberikan makna pada sebuah iklan, dengan kata lain pada relasi tanda-interpretant atau sisi pragmatis dari iklan tersebut.

Deduksi, Induksi, Abduksi
Mengacu pada Peirce, dia melihat unsur kognisi sebagai sebuah proses pengetahuan dan generasi makna melalui tanda-tanda, ia membedakan generasi makna ini dalam tiga bentuk yaitu deduksi (pengambilan kesimpulan), induksi dan abduksi.
Dalam tataran deduksi, yang dimaksudkan adalah bahwa kesimpulan yang ditarik itu dapat dikatakan semacam silogisme sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles dalam ranah Yunani kuno , di sini, aturan dan kasus sebagai sebuah premis mendahului kesimpulan yang ditaruh terakhir. Dengan kata lain, kesimpulan ini didasarkan pada aturan dan kasus yang ada mendahuluinya. Sedangkan induksi adalah metode kesimpulan yang mendasarkan diri pada bagian kecil lalu keseluruhan, melalui hal-hal yang partikular secara umum, atau bahkan dari tataran individual menuju universal. Di sini, sebuah aturan disimpulkan berdasarkan kasus dan hasil yang mendahuluinya. Sedangkan abduksi (biasa disebut juga sebagai hipotesis oleh Peirce) adalah sebuah dugaan akan sebuah kasus atas aturan dan hasil yang dicapai.
Tetapi, perlu dicatat juga bahwa dari sudut pandang hermeneutika, pemahaman tekstual (dan pengetahuan manusia secara umum) tidak diawali oleh induksi yaitu diawali oleh data tekstual (atau eksperimental) dan kemudian hadir dan menyimpulkan dalam penjelasan umum akan teks (atau aturan) sebagai keseluruhannya, tidak juga oleh deduksi yang diawali oleh aturan-aturan atau pengetahuan umum akan keseluruhan dan menjelaskan data melaluinya. Sedangkan dalam abduksi, metode penjelasan tanda menggunakan basis asumsi dan hipotesa mengenai kemungkinan demi kemungkinan, belum menjadi sebuah aturan.
Mari kita mencoba melihatnya satu demi satu dengan contohnya:

Melalui deduksi : aturan dan kasus yang diberikan memerlukan sebuah kesimpulan
Aturan : Semua wanita yang baik adalah ibu yang melayani keluarga dengan tiga nutrisi seimbang dalam makanannya setiap hari.
Kasus : Jane adalah ibu yang baik.
Hasil : Oleh karena itulah Jane melayani keluarganya dengan tiga nutrisi seimbang dalam makanannya setiap hari.

Melalui induksi: kasus dan hasil yang diberikan, memungkinkan penarikan sebuah aturan.
Kasus : Jane adalah ibu yang baik.
Hasil : Jane melayani keluarganya dengan tiga nutrisi seimbang dalam makanannya setiap hari.
Aturan : Oleh karena itu, semua wanita yang adalah ibu yang baik, melayani keluarganya dengan tiga nutrisi seimbang dalam makanannya setiap hari.

Dengan abduksi: berdasarkan hasil dan aturan yang mendahuluinya, dimungkinkan suatu identifikasi kasus itu sendiri.
Hasil : Jane melayani keluarganya dengan tiga nutrisi seimbang dalam makanannya setiap hari.
Aturan : Semua wanita yang ....
Kasus : Jane adalah ibu yang baik.

Kesimpulan dari proses deduktif, induktif dan abduktif ini juga bisa digunakan dalam menginterpretasi pesan-pesan iklan. Dalam kesimpulan abduktif, hal ini dapat diduga bahwa kesimpulan abduktif ini muncul khususnya dalam gaya komunikasi tidak langsung (indirect) yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan iklan. Kesimpulan abduktif, sebagai contoh, diduga muncul dalam iklan figuratif yang mengandung figur retoris berupa gambar, dimana makna dari sebuah produk atau pengguna produk tersimpulkan dari situasi atau aksi dimana produk itu berada atau dari tipe pelukisan “presenter” dalam iklan tersebut. Bagaimanapun juga, kesimpulan abduktif ini dapat digunakan dalam menginterpretasi pesan-pesan sebuah iklan.
Contohnya adalah dalam iklan Indomie, dimana si ibu yang memasakkan makanan berupa mie menyajikannya bagi seluruh keluarga yang hadir di sana; ayah, anak, mertua, kakek, nenek. Di sini, si ibu itu menjadi sebuah kesimpulan, sebagai ibu yang baik. Entah itu dalam keadaan sehari-harinya ia baik atau tidak.

Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, bahwa makna aktuil sebuah produk (atau merek) tidaklah berada sepenuhnya dalam atribut intrinsik dari produk itu sendiri, tetapi didasarkan pada konsekuensi dan nilai-nilai yang didapat dari penggunaan produk tersebut. Di dalam pesan sebuah iklan, konsekuensi ini (dari penggunaan produk) dikomunikasikan dalam cara yang berbeda-beda, dan setiap cara meliputi juga tipe tertentu dari generasi makna. Dalam paragraf selanjutnya, beberapa contoh dari generasi makna oleh deduksi, abduksi dan induksi coba diberikan di dalam konteks sebuah iklan.

Deduksi
Dalam sebuah iklan, fitur ataupun atribut-atribut sebuah produk yang diiklankan dilukiskan dan dijelaskan dengan baiknya. Di sini, kita dapat mempelajari atribut-atribut dasar atau mempelajari kegunaan serta konsekuensi dari sebuah produk yang diiklankan itu lalu menyimpulkannya dengan logis (deduksi). Atau, sebagai contoh pemahaman adalah apabila seorang mekanik mengetahui bahwa klakson sebuah motor diberi tenaga oleh sebuah baterai, lalu ia menarik kesimpulan bahwa apabila baterai itu mati maka klakson tidak akan dapat berkerja. Ilustrasi ini adalah deduksi.
Di dalam iklan, sebuah bubuk detergen cucian (Attack), atribut yang spesifik dari detergen tersebut (seperti bebas fosfat) akan diberi tekanan untuk tampil, atau atribut dalam iklan minyak goreng (rendah kalori), susu (bebas lemak) , kulkas (bebas CFC). Berdasarkan informasi tersebut, kesimpulan deduktif yang tercipta adalah bahwa merek tersebut memberikan sebuah kontribusi pada lingkungan dan kesehatan yang lebih baik (konsekuensi).

Aturan : Lemari es non CFC (chlorofluorocarbon) memberikan kontribusi pada lingkungan yang lebih baik.
Kasus : Lemari es SHARP adalah bebas CFC
Hasil : Lemari es SHARP memberikan kontribusi pada lingkungan yang lebih baik.

Kesimpulan deduktif ini hadir secara eksplisit di dalam sebuah iklan (gaya komunikasi langsung, iklan literal) atau ditawarkan juga secara implisit dalam kerangka bahwa kesimpulan akhir telah dilukiskan oleh penerima iklan itu sendiri (gaya komunikasi tidak langsung, iklan figuratif).

Abduksi
Pemikiran mendasar di sini adalah bahwa sebuah hal yang mungkin untuk melukiskan dan menggambarkan konsekuensi dari sebuah produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut dari produk yang diiklankan ataupun hubungan nilai dari pengguna produk dapat disimpulkan (abduksi) oleh penerima iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek margarin (Blue Band). Orang yang langsing dan ramping akan ditampilkan sedang menggunakan merek sebuah margarin yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Blue Band itu membuat makanan enak). Dari iklan ini, sebagai contohnya, kita bisa mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif yaitu Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
Aturan : Margarin dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik untuk bentuk tubuh.
Kasus : Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)

Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band adalah sebuah pilihan tepat untuk mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga mendapatkan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya dan tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).

Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yang baik akan dipuji oleh orang lain
Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk (akan tetap memiliki bentuk tubuh yang baik) dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).

Di sini, sejak kesimpulan abduktif disimpulkan dan diciptakan oleh penerima, sangat tampak bahwa dimungkinkan terdapat dua kesimpulan yang hadir di sini.

Induksi
Di dalam konteks iklan, kesimpulan induksi mengambil alih apabila atribut atau konsekuensi tertentu yang berasal dari merek tertentu di dalam kategori produk (atau penjualan produk tertentu oleh beberapa perusahaan) ditransfer atau dialihkan oleh konsumer kepada merek lain yang berada dalam kategori produk yang sama (atau produk lain yang dijual oleh perusahaan yang sama). Dengan kata lain, kesimpulan induktif akan terlihat sebagai proses generalisasi dari dampak “pengoperan atau pengambilan” yang mengambil alih. Sebagai contoh, konsumer yang memiliki pengalaman buruk akan merek tertentu dari sebuah makanan microwave (misalkan adalah rasa makanan yang menjadi hampar) akan menyimpulkan dari pengalaman itu bahwa semua merek dari makanan microwave membuat menjadi tidak berselera (atau produk makanan microwave dari perusahaan yang sama menjadi tidak berselera). Menjadi kebalikannya juga bahwa demikian dengan segala kebaikan dan kegunaan yang baik dari sebuah produk, ketika konsumer menyimpulkan bahwa ia menerima kegunaan-kegunaan baik dari sebuah produk yang ditampilan dalam sebuah iklan bagi merek tertentu, dia juga akan menerima merek yang lainnya (kompetitif) dalam kategori produk yang sama.
Kasus : Aqua adalah air mineral
Hasil : Aqua adalah minuman sehat
Aturan : Air mineral itu sehat

Secara umum, semua ini menitikberatkan perhatian pada proses generasi makna dalam figur sebuah iklan. Di dalam kerangka untuk menjelaskan struktur dan makna dari pesan iklan, konsep dasar semiotik menjadi sebuah kebutuhan mendasar. Melalui sudut pandang semiotika, iklan didefinisikan sebagai tanda, representasi produk yang aktual (objek), makna yang tergantung dari interpretasi dari penerima iklan (interpretant) yang didasari pada konteks dimana iklan (tanda) itu berada.
Dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari proses makna dalam iklan itu, perhatian juga diarahkan pada sisntaksis, semantik dan figur pragmatis dari iklan. Dari sudut pandang sintaksis, struktur dari figur retoris dibahas dengan referensi dari “operasi retoris” ( penambahan, supresi, sustitusi atau pertukaran) dan di dalam terang relasi antara elemen-elemen yang bervariasi (identitas, kesamaan, kemiripan, perbedaan).
Selanjutnya, melalui perspektif semantik, kesadaran diberikan pada tingkatan makna denotatif dan konotatif dari iklan, untuk tingkatan yang berbeda dari “makna produk” dan proses peralihan makna figur iklan. Di sini, dua proses transfer makna dibedakan; yang pertama adalah transfer makna bagi produk atau merek yang diiklankan, dan yang kedua adalah transfer makna bagi konsumer sendiri. Dengan menggunakan figur retoris, kualitas tertentu, fitur, kegunaan dan nilai-nilai (makna) sangat mungkin untuk dialihkan (ditansfer) pada produk (atau merek) yang diiklankan tersebut dengan menghubungkannya pada objek ataupun orang (sebagai contohnya adalah selebritis) dimana makna-makna itu sudah berada di dalam kebudayaan. Di dalam penambahan, dengan menggunakan hal-hal baru, figur retoris yang baru, menyusun relasi yang tidak terduga antara objek, orang atau situasi dan produk yang diiklankan, maka makna “baru” akan tercipta di dalam iklan dan oleh karena itu ditransfer kepada produk yang diiklankan tersebut. Makna produk ini selanjutnya akan dialihkan juga kepada konsumer dengan tindakan membeli atau menggunakan (konsumsi) produk tersebut.
Dalam tabel berikut, pemaknaan dalam iklan (representasi produk aktual) ternyata sungguh tergantung dari interpretasi konsumer, oleh siapa penciptaan “makna produk” ditransfer kedalam sebuah produk aktual dan untuk siapa “makna produk” ini selanjutnya akan ditransfer lagi dengan tindakan membeli atau menggunakan produk tersebut.

Pada akhirnya, cara dimana konsumer menanggapi dan memberikan makna pada figur iklan dapat ditarik pada tataran pragmatis. Tiga bentuk dari generasi makna dalam figur iklan, yaitu kesimpulan deduksi, induksi dan abduksi dapat dibedakan di sini.





Semantik : Tingkatan dan Peralihan Makna Iklan

Denotasi dan Konotasi
Sebagai terminologi, konsep konotasi (dari bahasa Latin con –“bersama” dan notare “merancang”) dan denotatif menjadi awal didalam proses analisa dari pemisahan antara terminologi yang abstrak dan konkret. Di sini, hanya terminologi abstraklah yang diinterpretasi memiliki makna absolut, menandakan substansi atau kualitas tertentu (seperti “keputihan”, “kemanusiaan”, “kebutaan”). Sedangkan terminologi konkret (seperti “putih”, “manusia” dan “buta”) di sisi lain dapat dikatakan sebagai konotatif.
Mengacu pada Barthes, dia menyebut tatanan Saussure dalam relasi antara penanda dan petanda (signifier dan signified) sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum bahwa makna jelaslah adalah sebuah tanda. Bagi dia, denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota kebudayaan. Maka “buaya” akan berdenotasi konsep tentang suatu binatang ternak yang panjang dan warnanya gelap dengan moncong panjang, bersisik dan ekor yang panjang. Pada tingkat yang kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas; keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi-ideologi sosial tertentu. Makna menjadi permasalahan asosiasi tanda-tanda dengan kode-kode makna kultural lainnya. Dengan demikian, “buaya” bisa saja berkonotasi dengan seorang lelaki atau seorang bapak, tergantung pada subkode-subkode yang sedang bekerja saat itu.
Contoh lain dapat juga dilihat demikian, sebuah foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang diantara bangunan. Namun, bisa saja membuat foto jalan yang sama dengan cara yang secara signifikan berbeda. Bisa menggunakan film berwarna, memilih saat mentari belum tinggi, menggunakan soft focus dan membuat jalanan tampak ceria, hangat, komunitas yang manusiawi untuk anak-anak bermain di sana. Bisa juga menggunakan film hitam putih, hard focus, tidak ramah lingkungan dan lain-lain. Kedua foto tersebut bisa diambil pada waktu yang bersamaan dengan kamera yang lensanya berbeda beberapa sentimeter. Makna denotatif akan selalu sama. Yaitu jalan. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya.
Sedangkan konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju tataran subjektif atau setidaknya intersubjektif: terjadi tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Foto khayalan kita tentang jalan yang sama menghasilkan perbedaan di antara keduanya terkait dengan bentuk, tampilan foto atau dalam penandanya. Barthes menegaskan bahwa setidaknya pada foto, perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap kamera. Sedangkan konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini: ini mencangkup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.
Secara garis besar, cara tanda menyampaikan sebuah makna ini dapat dimasukkan dalam dua bagian yaitu denotasi dan konotasi. Teminologi denotasi dan konotasi ini mengacu pada tingkatan makna pertama dan kedua dalam tanda. Teminologi denotasi mengacu pada makna harafiah dari tanda; untuk apa “secara objektif” hadir dan secara mudah dipahami atau diidentifikasi. Sedangkan terminologi konotasi digunakan mengacu pada makna dimana berada melebihi denotasi tetapi tergantung dengannya
Mengacu pada Eco; tanda denotasi adalah satu dari posisi didalam sistem semantik dimana kode tersebut membuat tanda kendaraan yang dipakai berkoresponden tanpa didahului oleh mediasi. Sedangkan konotasi adalah satu dari posisi dalam sistem semantik dimana tanda kendaraan itu melalui mediasi tertentu dan inilah yang membuat adanya korelasi antara fungsi tanda dan unit baru semantik. Tanda anjing, berdenotasi sebagai seeokor hewan dengan ciri fisik tertentu tetapi juga berkonotasi dengan sesuatu yang lainnya. Sebagai contoh, sebagaimana sebelumnya sudah dikatakan dalam sebuah iklan tissue Paseo yang menggambarkan seeokor bebek. Bebek ditandakan dengan fotografi, “bebek” sebagai hewan (denotasi) berubah dan bergerak menjadi sebuah tanda akan “kelembutan” (konotasi).
Proses ini bekerja dengan baik dalam iklan secara keseluruhan dimana iklan secara jelas adalah tanda yang menandakan sebuah produk (objek), tetapi juga selanjutnya bahwa produk tadi justru menjadi penanda, yang menandakan kualitas tertentu, gambar tertentu dll.

Bahkan, sebagaimana disampaikan Fiske (1982), makna konotasi ini memiliki implikasi lebih lanjut yang masuk juga dalam suara dan bunyi. Nada suara kita, cara berbicara mengkonotasikan perasaan atau nilai tentang apa yang dikatakan: dalam musik merupakan instruksi komposer tentang cara memainkan not, mengenai apa nilai konotatif atau emosional yang disampaikan. Pilihan kata kerap merupakan pilihan konotasi “pertentangan” atau “pemogokan”, “penangkapan” atau “pengamanan”. Ini merupakan contoh-contoh yang menunjukkan konotasi emosional atau subyektif, meski kita beranggapan bahwa orang lain dalam kebudayaan kita pun menggunakan sebagian besar dari kata-kata itu karena kata-kata tadi intersubjektif.
Dalam ranah iklan, hal terakhir ini lebih banyak ditunjukkan dalam iklan di televisi maupun radio, yang tidak bisa dipungkiri memainkan pendengaran dan visual bergerak yang cukup mengagumkan. Seorang Omas dalam sebuah iklan sabun cuci dengan kata-kata khas dan dialek betawi yang bernyanyi sambil berteriak “cuci bersih cuma gopek” memberikan sebuah contoh nyata nilai konotatif yang ditunjukkan dalam suara dan bunyi yang dihadirkan oleh iklan.

Tingkatan Makna
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber penting pemaknaan dalam iklan adalah makna dari produk yang diiklankan itu sendiri . Dalam konsep “pemaknaan” inilah tingkatan yang berbeda dapat dipisahkan dalam struktur ini. Pemahaman model ini adalah adanya relasi yang dibuat di antara atribut produk, konsekuensi konsumen dan nilai-nilai personal yang ada di dalamnya. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat-sifat atau fitur tersebut memimpin sebuah konsekuensi tertentu dan konsekuensi tersebut menentukan nilai-nilai selanjutnya.


Reynolds dan Gutman dalam The Creation of Meaning in Advertising membedakan produksi atribut dengan hal yang kongkret, contohnya adalah pada atribut fisik sebuah iklan ditampilkan dalam bentuk ukuran produk, warna produk, komponen, berat produk dan di lain sisi, atribut abstrak akan tampak seperti “rasa segar” dari soft drink, atau “warna trendy” dari model jeans terbaru.
Selanjutnya, konsekuensi ataupun manfaat bagi konsumer pun dibedakan dengan konsekuensi dari pembelian dan penggunaan produk tersebut ataupun konsumsi. Di sini juga dibedakan antara konsekuensi fungsional dan psiko-sosial. Konsekuensi fungsional dari produk deterjen sebagai contoh dengan slogan “membuat segalanya bersih”, sedangkan produk yang lainnya mengatakan “hemat uang” atau “meningkatkatkan efisiensi”. Sedangkan contoh dari konsekuensi psiko-sosial dari penggunaan produk adalah “mendapatkan lebih banyak teman” atau “menjadi lebih baik bagi orang lain”. Hal ini tampak dalam slogan, “Connecting People” (Nokia) atau bahkan pada iklan-iklan situs pertemanan di internet seperti Friendster, You To Be yang menekankan “pertemanan dengan lebih banyak orang”.
Pada model itu, pembedaan dibuat diantara nilai-nilai instrumental dan nilai terminal. Nilai-nilai instrumental adalah model pengarah yang ditunjukkan dimana terlihat sebagai makna untuk meraih nilai-nilai akhir. Di sini, dibedakan antara nilai personal dan sosial.
Contoh dari nilai instrumen personal yang digunakan dalam iklan adalah pada ungkapan “ambisi menjadi...”(iklan Star Mild), “kontrol diri”, “intelektual”, “imajinasi”, sedangkan contoh dari nilai instrumen sosial adalah pada ungkapan “menjadi orang baik” (iklan Simpati), “memaafkan”, “murah hati” atau “patuh” bagi orang lain. Contoh dari nilai-nilai akhir personal adalah “hidup yang lebih hidup” (L.A.Light), “being happy” (Garda Otto), “inner beauty”, sedangkan contoh dari nilai akhir sosial adalah tentang “kebebasan”, “kedamaian” dan “teman sejati”.
Ide yang ada di sini adalah bahwa konsep-konsep sesungguhnya juga mengandung konsep-konsep lain, memproduksi sebuah jaringan implikasi refleksi ingatan yang berhubungan terus menerus. Sebagai contohnya, ketika seseorang berpikir tentang sebuah produk tertentu seperti sebuah produk pengering rambut (hairdryer), segala fitur dari produk itu akan hadir juga di dalam pikiran, cara bagaimana produk itu membuat rambut kita menjadi lebih indah akan ada dalam benak kita, dan selanjutnya akan terbawa juga pada benak kita akan sebuah ide itu bahwa kita akan mengagumi produk tersebut di depan teman-teman kita.
Ide ini dapat dibandingkan dengan ide “chains of interpretans” atau rantai interpretasi dari Peirce yang memasukkan pemahaman akan proses penandaan yang berkelanjutan dan terus menerus . Sebagaimana definisi tanda dari Peirce sebagai segala sesuatu yang dikaitkan pada sesuatu yang lain (interpretant) untuk menunjuk pada sebuah objek yang kemudian menunjuk pada hal yang lain dengan cara yang sama juga . Di sini, interpretant menjadi tanda lain yang menunjuk pada objek yang sama. Dan sejak pemaknaan dapat di re-interpretasi, setiap intepretant sebuah tanda menimbulkan interpretant yang lain juga.
Di dalam iklan, penekanan dimasukkan di sini, tidak hanya di dalam fitur yang inheren dan di dalam kualitas produknya, tetapi juga dengan cara dimana produk itu bermakna sesuatu bagi konsumer. Contohnya adalah konsekuensi atau kegunaan dari produk tersebut, atau bahkan nilai-nilai dan gaya hidup yang dihasilkan dari penggunaan produk tersebut. Anggap saja bahwa hairdryer atau pengering rambut yang diiklankan pada contoh tadi tidak mengandung sesuatu yang polutif bagi lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan hal ini dapat diterjemahkan dalam terminologi akan produk yang “peduli lingkungan” atau “ramah lingkungan”, di sini, pemakai produk pun akan menjadi pribadi yang “peduli lingkungan” dalam benaknya. Dengan kata lain, dia menjadi seseorang yang memiliki sebuah nilai baik tertentu dalam dirinya. Sebagaimana dipahami oleh Kehret-Ward dan Yalch bahwa salah satu cara agar setiap individu berpikir positif mengenai sebuah produk adalah dengan mengarahkan mereka untuk berpikir mengenai aspek positif dalam dirinya sendiri yang muncul kemudian dengan membeli produk tertentu. Contoh iklan mobil salah satunya yang paling tampak, mobil hybrid dengan bahan bakar gas dan listrik ditampilkan sangat ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi udara (Honda Hybrid) dan menjadi mobil masa depan.
Dari titik ini, dua pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana suatu produk dapat memiliki makna tertentu yang pasti, apakah dengan penjadi penanda? Dan yang kedua adalah bagaimana pemaknaan sebuah produk itu dialihkan dan ditransfer kepada pengguna produk itu sendiri? Hal ini akan dicoba dijawab berkenaan dengan peralihan makna tersebut.

Peralihan Makna
Dalam sebuah iklan sepatu Reebok, iklan yang tampil sangat sederhana: seekor anjing berwarna abu-abu ditampilkan di sini, memakai sepatu olahraga Reebok dan di bagian kanan bawah iklan ditampilkan merek Reebok tersebut. Mengacu pada sebuah pertanyaan sebelumnya: Apa makna dari iklan ini? Kemungkinan jawaban adalah : Iklan ini mengatakan kepada kita bahwa sepatu Reebok adalah sepatu olahraga yang “sangat cepat” untuk berlari. Dengan memakai sepatu ini, kita dapat berlari dengan cepat dan menjadi pribadi yang “sporty”.
Ketika kita mencoba untuk menganalisa iklan ini dalam terminologi semiotika, kita mendapatkan sebuah tanda: iklan tersebut, termasuk didalamnya adalah anjing, memakai sepatu Reebok, menunjuk pada dua objek yang berbeda: sepatu Reebok dan anjing secara aktual (denotasi) dan selanjutnya kita juga mendapatkan sebuah interpretant (konotasi) yaitu sepatu yang “cepat”, menjadi bisa berlari dengan cepat, menjadi “sporty”. Meskipun hal ini tidak secara gamblang dikatakan dalam iklan tersebut, melalui iklan, kesimpulan yang tercipta adalah bahwa sepatu Reebok adalah yang sangat cepat, sebuah sepatu olahraga. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan ini? Pemikiran akan proses yang berbelit inilah yang akan menjadi bahan diskusi selanjutnya.
Melalui semiotika, menjadi bahan pembicaraan bahwa makna dari sebuah iklan tidaklah terapung pada permuakaan yang kemudian diinternalisasi oleh penerima atau pelihat iklan itu begitu saja, tetapi makna itu “built up” diluar cara dari tanda-tanda yang berbeda itu diatur dan berelasi satu dengan yang lain, keduanya itu, baik didalam iklan ataupun melalui referensi eksternal iklan, sepenuhnya ditujukan bagi sistem kepercayaan yang lebih besar dari konsumen .
Dalam proses peralihan makna, tiga tahap akan dipisahkan di sini. Bentuk dan tahapan yang pertama mengandung proses peralihan makna bagi objek tertentu, orang atau sesuatu di dalam sebuah kebudayaan. Tahap yang kedua mengandung proses peralihan makna bagi produk yang diiklankan di dalam iklan tersebut. Dan yang terakhir, mengandung proses peralihan makna bagi konsumer yang menggunakan atau membeli barang yang diiklankan oleh iklan tersebut. Model McCracken itu memfokuskan diri pada peralihan makna para selebritis atau model yang digunakan di dalam iklan. Perhatiannya terutama pada model yang tampil itu dan pada peralihan makna dalam figur iklan secara umum.
Pembedaan besar dengan model dari McCracken ini adalah bahwa di dalam model yang tampil itu, makna dapat dialihkan dengan berbagai cara oleh produk yang diiklankan. Pada awalnya, yang terjadi adalah bahwa makna langsung (direct meaning) dialihkan dari objek atau seseorang (contohnya adalah selebriti, orang terkenal) kepada produk yang diiklankan. Dan lagi, penggunaan figur retoris dengan relasinya antar objek, orang atau situasi bagi produk yang diiklankan menciptakan sebuah “makna baru” di dalam iklan, dan dengan demikian maka dialihkan (di-transfer) pada produk yang diiklankan tersebut.

Peralihan makna di dalam kebudayaan
Dalam contoh sebelumnya tentang Reebok, pesan iklan tidak disampaikan secara langsung dan gamblang, tetapi menggunakan metafor untuk menyampaikan pesannya. Dengan kata lain, kualitas dan keguanaan dari produk yang diiklankan tidaklah disebutkan di dalam iklan, di sini produk (sepatu Reebok) dihubungkan dengan objek (hewan) dimana makna tertentu di-transfer pada produk yang diiklankan tersebut.
Di dalam proses peralihan untuk menggantikan tempat, objek yang pertama haruslah sudah memiliki sebuah makna untuk dialihkan, bila kita bandingkan dengan gambar di atas, kita sudah mengerti makna “perban” dan “kotak obat” dalam tataran umum, dan makna biji catur berwarna hitam dalam permainan catur. Bagi Williamson, objek-objek dalam iklan merupakan penanda-penanda makna yang kita urai kodenya dalam konteks sistem-sistem kultural yang kita kenal yang mengasosiasikan produk dalam iklan dengan “barang-barang” kultural lainnya. Di sini, tanda memiliki kemampuan untuk dialihkan atau digantikan oleh sesuatu hanya apabila dia telah memiliki makna dalam tempat pertama bagi pembaca atau penerimanya. Dia mengatakan bahwa dalam sistem makna ini, kita melukiskan material-material tertentu untuk melengkapi peralihan sistem ini sebagai sebuah “sistem referensi”.
Material-material ini kemudian membentuk sebuah tubuh sosial dan pengetahuan kultural baik dari pengiklan dan penikmat keduanya melukiskan insprasinya masing-masing. Jadi, apabila objek, orang ataupun situasi tertentu digunakan dalam iklan dalam kerangka pealihan makna tertentu (sebagai contohnya adalah fitur tertentu, kegunaan, kualitas, nilai-nilai tertentu, rasa ataupun emosi tertentu) bagi produk yang diiklankan, mereka sungguh membutuhkan makna tertentu dalam kultur atau kebudayaan tertentu.
 
Peralihan makna bagi produk iklan
Berkenaan dengan fase kedua, di dalam iklan, makna dari satu tanda itu di-transfer bagi yang lainnya. Dalam iklan tissue tadi, bebek yang dilukiskan itu ada untuk memberikan penekanan akan kelembutan tissue toilet tersebut. Selanjutnya, Michael Jordan mengalihkan makna “sporty” bagi sepatu yang memiliki nama yang sama dengannya (Nike Air Jordan) , Kobe Briant (Adidas Kobe) dan bahkan dalam iklan parfume Paris Hilton yang memakai nama seorang artis untuk nama produknya

Dalam contoh iklan Reebok yang dipaparkan sebelumnya, makna dari “anjing abu-abu”, secara tesrpisah yang menandakan seeokor anjing yang dapat berlari cepat, dialihkan untuk suatu produk tertentu. Tidak ada argumen dari hubungan antara anjing dan sepatu olahraga sehingga peralihan makna tergantung dari suatu kemiripan di dalam struktur iklan itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui dalam bab sebelumnya, dengan penggunaan figur retoris, produk dapat dihubungkan dengan identitas, kemiripan, kesamaan ataupun perbedaan, atau kesalahan analogi dengan objek, orang atau situasi tertentu yang memiliki fitur, kualitas, kegunaan tertentu yang jelas bagi pembaca atau penerima iklan tersebut.
Bagaimanapun juga, peralihan makna di dalam iklan ini tidaklah lengkap karena penerima tanda harus membuat sebuah “benang merah” sendiri di dalam dirinya. Hal inilah yang menjadikan relasi antar tanda sungguh bersifat arbiter atau sewenang-wenang saja. Tidak ada dimanapun juga yang mengatakan bahwa “sepatu Reebok” itu seperti “anjing yang berlari cepat”. Makna ini tidaklah akan ada hingga penerima atau pembaca melengkapi peralihan maknanya.
McCracken menjelaskan bahwa iklan haruslah dirancang untuk dapat menawarkan sebuah kesamaan yang mendasar antara selebriti (orang, objek atau situasi tertentu) dengan sebuah produk yang diiklankan sehingga konsumer dapat dimungkinkan untuk mengambil tahap terakhir dalam proses transfer makna tersebut, yaitu konsumsi. Oleh sebab itu, makna tidaklah “diterima” dari sebuah iklan, tetapi “diciptakan” oleh penerima atau pembaca iklan. Winfried Nöth menyebut proses ini sebagai transfer fitur indeksial.

Peralihan makna bagi konsumer
Pada fase ini, peralihan makna dalam kebudayaan dan produk yang diiklankan menjadi lengkap dengan menerima peralihan nilai-nilai tersebut bagi konsumer dengan tindakannya membeli produk atau merek yang diiklankan. Fase sebelumnya mau mengatakan bahwa bisa saja suatu produk yang diiklankan hanya berupa kacang atau sebuah mobil, namun dibuat agar mengonotasikan “alami” atau “keluarga”. Dengan demikian iklan menciptakan seduania perbedaan antar-berbagai produk dan gaya hidup yang kita beli. Di sini, fase konsumsi yang dimaksudkan adalah akan tindakan konsumer menggunakan atau membeli produk atau merek yang diiklankan dalam tataran bahwa konsumer yang membeli barang atau memakainya sekaligus berarti juga membeli citranya , dan dengan begitu turut menyumbangkan sesuatu dalam konstruksi identitas kita lewat konsumsi.

Konteks dan Dasar Pemahaman
Hal penting yang perlu dipahami pada awalnya di sini adalah bahwa cara dimana tanda ditandakan ternyata tergantung dari konteks dan lingkungan dimana ia berada. Sebagai contoh, gambar kepala dan tulang yang disilangkan memiliki makna “bahaya”, tetapi, memungkinkan juga berarti “racun” bila tanda itu ditampilkan pada sebuah botol, atau bisa juga sebagai “bajak laut” bila tanda ini ditampilkan pada sebuah bendera hitam, atau juga “tegangan tinggi” pada sebuah tiang listrik. Dalam iklan, pembedaan dapat terjadi antara tiga tipe konteks dari tanda-tanda. Pertama, kita memiliki konteks sebuah tanda di dalam struktur sintaksis dari sebuah iklan, yaitu relasi antara satu tanda dengan tanda yang lainnya sebagaimana sudah didiskusikan dalam bab sebelumnya.
Kedua adalah konteks dimana iklan secara keseluruhan, sebagai contohnya adalah media dimana iklan itu diletakkan seperti contohnya iklan di televisi, artikel di surat kabar papan iklan di jalanan atau iklan-iklan di majalah dll. Di sini, media memiliki peran yang tidak sederhana, tidak sekadar menjadi tempat dimana iklan itu berada, tetapi sungguh juga bisa menentukan kerangka makna tersendiri yang cukup menentukan.
Dan yang terakhir adalah konteks konsumer sendiri. Sebagaimana makna dikonstruksikan di dalam konteks dan lingkungan yang partikular, menjadi penting untuk menaruh perhatian pada konteks dimana konsumer membentuk dan mendapatkan kembali makna sebuah produk yang diiklankan itu.

Struktur Metaforis Iklan

Mari kita membayangi sesuatu. Bila kita menyatakan bahwa sebuah kapal membelah gelombang, maka kita telah menggunakan sebuah metafora. Kita menggunakan tindakan mata bajak atau sebuah kapak untuk menunjukkan haluan kapal. Apa yang dilakukan di sini adalah mengekspresikan istilah yang tidak biasa , tidak familiar (metafora mengasumsikan bahwa tindakan mata bajak yang “membelah” itu familiar, sedangkan haluan kapal tidaklah demikian). Karakteristik lain yang perlu dicatat adalah bahwa metafora mengeksploitasi kesamaan dan perbedaan secara simultan. Mari kita lihat contoh pada iklan kondom fiesta yang mengeksploitasi kesamaan dan perbedaan secara simultan dengan cara yang tidak biasa tetapi tetap menarik. Sebuah helm dengan sebuah kondom yang sama-sama berfungsi untuk melindungi dan disandingkan dengan buah strawberry sebagai variasi rasa yang ada dalam produknya.
Di sini, metafor menggambarkan sebuah gaya komunikasi tidak langsung (indirect communication) yang memiliki fungsi puitis . Dalam pemahaman inilah, metafor yang dipakai dalam iklan digunakan untuk menjelaskan (secara abstrak) fitur-fitur atau kelebihan-kelebihan dari produk ataupun merek yang diiklankannya melalui cara yang figuratif, dengan metafor. Metafor iklan digunakan dalam slogan, janji-janji dan lain-lain. Contohnya adalah “Rasakanlah kehangatan dunia” (iklan sebuah biro perjalanan), “makanlah matahari pagi setiap hari” (makanan Cornflakes), “Jeruk kok makan jeruk?” (Nutrisari).
Selain itu, di dalam “penambahan”, metafor digunakan juga pada suatu merek, seperti “Jaguar”, “Kijang”, “Kuda” untuk mobil, “Opium”, “Poison”, untuk parfum, “Gillete” untuk cukur jenggot. Nama binatang yang kemudian juga dipakai sebagai bagian nama merek sebuah produk (Toyota Kijang).

Selanjutnya, metafor digunakan juga untuk pembicara-pembicara ataupun presenter sebuah merek, sebagai penjamin atau sebagai pengemas suatu produk. Hal ini dapat dilihat dalam iklan Honda Supra Fit yang menampilkan Butet Kertaradjasa berbicara meyakinkan kepada penerima iklan akan kelebihan-kelebihan motor tersebut dan pengalaman pribadinya yang cukup baik dengan produk itu, atau dalam iklan Marie France Bodyline yang menggambarkan Dian Nitami dengan tulisan kesaksiannya lengkap dengan tanda tangannya sebagai seorang artis bersaksi akan keampuhan program pelangsingan dari produk tersebut.
Di sini, metafor dapat dijelaskan sebagai sebuah pernyataan yang eksplisit maupun implisit bahwa satu konsep itu adalah sekaligus juga konsep yang lainnya. Di dalam pembandingan metafor, relasi antara dua konsep (pokok pembicaraan “topic” dan kendaraan yang dipakai “vehicle” ) ditampilkan melalui kesamaan ataupun analogi. Kesamaan atau kemiripan antara dua tanda muncul ketika keduanya berbagi satu atau lebih denotasi dan konotasi. Sebagai contohnya adalah dalam sebuah iklan parfum yang menampilkan bentuk gaun seorang wanita dilukiskan begitu miripnya dengan bentuk botol parfum (metafor didasarkan pada kesamaan denotatif), selain itu, dalam sebuah iklan rokok Vogue, gambar mutira yang disandingkan dengan rokok ingin mengatakan kesan sebuah kemewahan dan ke-rampingan (gambaran wanita) dari rokok itu sendiri (metafor didasarkan pada kesamaan konotatif).
Sangat jelas bagaimana metafor itu digunakan, sebuah produk pelangsing menampilkan dua buah gantungan baju yang membentuk sebuah tampilan “lekukan” pinggang wanita yang ramping yang mau menekankan keampuhan produknya. Dalam iklan pisau cukur gilette, tampak bagaiamana iklan menampilkan seekor kucing yang tanpa bulu, sebuah metafor yang menggambarkan ketajaman pisau cukurnya.

Di sini, Eco melihat bahwa kesamaan ataupun kemiripan tidaklah perlu memiliki ketersangkutan atau hubungan dengan objek itu sendiri, metafor itu terbuka dan sungguh tidak tertutup . Inti dari metafor adalah di dalam pemahaman dan pengalaman akan sesuatu dalam terminologi yang lain. Sebagai contoh, iklan susu Tide  dengan slogan “Susu. Si mesin putih”. Konsep dari “susu” adalah topic (pokok pembicaraan) atau subjek dari metafor, dimana “si mesin putih” adalah sebagai vehicle (kendaraan yang dipakai metafor) iklan dimana klaim dari pesan itu disampaikan.

Iklan dan semiotika

Struktur Pesan dari Iklan

Mengacu pada Morris, dia mendefinisikan sintaksis ini dalam tiga pemahaman yaitu: 1.Sintaksis sebagai “kesadaran atas tanda-tanda dan kombinasi-kombinasinya sejauh itu semua adalah sebagai subjek bagi “hukum sintaksis”. 2.Sintaksis sebagai studi atas cara-cara dimana tanda-tanda dari keberagaman kelas dikombinasikan bagi bentuk campuran tanda-tanda. 3.Sintaksis sebagai studi atas relasi formal tanda-tanda satu dengan yang lainnya.

Gaya Komunikasi Iklan
Untuk menyampaikan pesannya, iklan menggunakan gaya komunikasi secara langsung “direct communication style” atas produk ataupun keistimewaan suatu merek, macam-macamnya, kelebihan ataupun kegunaannya bagi konsumer. Selain itu, iklan juga menggunakan gaya komunikasi tidak langsung “indirect communication style”. Meskipun beberapa penulis, baik itu dari semiotika dan literatur periklanan, telah medisiskusikan mengenai perbedaan direct-indirect communication, mereka mengunakan terminologi yang berbeda yang mengacu pada konsep yang sama atau menggunakan terminologi yang sama untuk konsep yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 3.1, terminologi direct-indirect ini mengarah pada tingkatan pesan, tuntutan iklan atau pada penarikan kesimpulan dari pesan itu sendiri dari suatu figur iklan.
Pada tingkatan bentuk pesan, mengacu pada iklan televisi, kita dapat membedakan antara bentuk ceramah dan drama di dalamnya. Ceramah sangat tampak terlihat sebagai contoh dari gaya komunikasi langsung ketimbang drama yang tampak sebagai bentuk dari gaya komunikasi tidak langsung. Perlu dicatat disini bahwa bagaimanapun juga ketika iklan menggunakan bentuk ceramah untuk menyampaikan suatu pesan, dia juga tetap mengandung segi-segi figuratif (tidak langsung) dan pesan yang implisit.

Tingkatan pesan Gaya komunikasi iklan
Direct (open teks),
secara langsung Indirect (closed text),
tidak langsung
Bentuk pesan Ceramah Drama
Tuntutan pesan Literal Figuratif
Kesimpulan pesan Eksplisit Implisit


Pada tingkatan tuntutan pesan dalam iklan, perbedaan akan sangat tampak dalam bentuk iklan literal dan iklan figuratif itu sendiri serta penambahan pada keduanya, atau antara iklan perbandingan yang eksplisit dan iklan yang tanpa perbandingan eksplisit menunjukkan sebuah kompetisi produk atau merek tertentu. Selanjutnya, dalam tataran penarikan kesimpulan, tampak ada perbedaan penggambaran sebuah iklan antara kesimpulan yang implisit maupun eksplisit. Demikian juga perbedaan antara iklan yang “hard sell” dan “soft sell” sebanding dengan dikotomi direct dan indirect tadi.
Dari sudut pandang semiotik, Eco (1986) membedakan antara teks “terbuka” dan teks “tertutup”. Teks terbuka berarti “bisa dimengerti sebagaimana yang diharapkan oleh individu-individu suatu kelompok tertentu”. Di lain pihak, teks tertutup yang dimaksud adalah “terbuka pada berbagai macam kemungkinan pengkodean “yang menyimpang”.
Semua itu mau mengatakan bahwa iklan dalam gaya komunikasi yang tidak langsung menggunakan cara semantik yang “closed text”, dimana cakupan kemungkinan interpretasi dapat diduga. Di sisi lain, iklan yang menggunakan gaya komunikasi langsung (direct communication) bekerja pada tingkatan tuntutan suatu pesan yang langsung.

Struktur figur Retoris
Di dalam iklan, bentuk pesan-pesan retoris kerapkali digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Di dalam konteks periklanan ini , figur retoris yang memberikan banyak sekali manfaat; menarik perhatian, mengarahkan pada sebuah mood yang positif, menciptakan simpati dan penghargaan atau penerimaan atas pesan-pesan iklan itu sendiri, atau mengkomunikasikan intisari dari pesan iklan secara cepat dan efektif. Lebih lanjut, figur retoris dalam iklan digunakan untuk mengkomunikasikan karakteristik abstrak dan kelebihan-kelebihan dari suatu produk atau suatu merek bagi konsumen.
Menurut Durand dalam The Creation of Meaning in Advertising, terdapat klasifikasi dari figur retoris ini, yang terbagi dalam dua kriteria yaitu “pengerjaan retoris” dan relasi antara elemen-elemen terkait (relasi antara tanda-tanda di dalam iklan). Dia membedakan empat tipe dari pengerjaan dalam figur retoris ini, yaitu “penambahan”, satu atau beberapa elemen ditambahkan dalam kata, kalimat atau gambar di dalam iklan. Lalu, “supresi” penekanan/penyembunyian satu atau beberapa elemen (seperti pengguna produk, nama merek atau produk itu sendiri) di dalam iklan ditekan, dikeluarkan dan disembunyikan. Yang ketiga, yaitu “subtitusi”, salah satu elemen di dalam iklan disembunyikan lalu digantikan dengan yang lain. Lalu yang terakhir adalah “penukaran” dua elemen timbal balik. Dengan “penukaran” ini, dua atau lebih elemen dalam sebuah kalimat atau gambar akan diubah atau justru pesannya yang akan berubah.

Figur dari penambahan
Di dalam iklan, kata –kata, suara, bunyi atau gambar yang sama kerapkali diproduksi dan diulang beberapa kali (repetisi). Alliteration (pemakaian kata yang sama bunyi) merupakan contoh dari repetisi suara tersebut. Contoh dari aliterasi di dalam iklan adalah pada slogan-slogan seperti “Kerempeng.. mana keren!” (L-men), “Gak ada lu, gak rame” (Sampoerna Hijau), “Sosro.. ahlinya teh” (Sosro), Fruit tea, ngejutin terus, sosro ahlinya teh (Fruit tea), “Kalo gue yang dingin, kenapa lu yang panas?” (A-mild), “seneng liat orang susah, susah liat orang seneng” (A-mild), “Regent, dibenci hama disukai petani” (Regent), “Ibu yang bijak pilih Hit” (Hit anti nyamuk), “Buat anak kok coba-coba” (Minyak kayu putih Caplang.) “Karena rasa adalah segalanya” (kondom Fiesta).

Contoh pengulangan dalam bentuk gambar (pictorial) adalah pada iklan televisi “setelah jam delapan” dimana iklan selalu menampilkan produk yang sama sebanyak beberapa kali di televisi, dengan pengulangan itu, gambar menjadi efektif untuk menandakan frekuensi yang optimal untuk menunjukkan kestabilan kualitas dari sebuah produk. Demikian juga pada papan-papan iklan di pinggir-pinggir jalan yang sedemikian besarnya dalam jangka waktu beberapa minggu tidak berganti. Pengulangan yang terjadi adalah bahwa kita yang melewati jalan itu-lah yang senantiasa mengulang “kesempatan” melihatnya setiap hari. Di sini, selanjutnya, pengulangan juga menyimbolkan keberlimpahan sebuah produk dan perusahaan. Pengulangan produk yang tampil dalam toko-toko atau papan iklan di pinggir jalan itu juga memberi kesan betapa produknya itu sungguh berkualitas dan mapan.
Pemahaman yang lainnya adalah figur penambahan, yaitu dengan menambahkan beberapa elemen yang menyerupainya (komparasi) seperti variasi produk (contohnya adalah rasa yang berbeda, ukuran, warna yang berbeda pada produk yang sama), hal ini terlihat jelas pada beberapa iklan minuman ringan; “rasa strawbery, blueberry, orange, blackcurrant” (iklan Fruit Tea), “rasa apel, rasa strawbery, anggur” (iklan kondom Fiesta) atau juga komparasi situsi penggunaan produk, “hujan ataupun panas” (iklan cat Danapaint), ataupun komparasi para pengguna produk itu sendiri, “pria, wanita, muda, tua, anak-anak semua masuk” (iklan mobil Kia Carrens).
Mari kita lihat juga dalam sebuah iklan cat yang menampilkan beberapa gambar dari orang-orang yang berbeda yang memakai warna yang berbeda tetapi sama merek untuk mengecat rumahnya. Bagaimanapun juga, apabila orang yang berbeda mengunakan produk yang berbeda dengan cara yang bebeda tanpa ada kesamaan relasionalnya yang ditunjukkan bersama (akumulasi), ini bukanlah lagi figur yang menyerupai dan memiliki kesamaan.

Figur lain dari penambahan ini adalah penambahan dua unsur yang berhubungan tetapi justru dalam sebuah relasi yang berlawanan (anti tesis). Contohnya adalah hitam lawan putih, pria-wanita ataupun anak-anak lawan orang dewasa. Beberapa bentuk yang tampil sebagai anti tesis dalam iklan adalah sebauh oposisi antara dua gambar yang dipisahkan dengan garis vertikal dengan tujuan untuk menunjukkan kompetisi produk-produk itu sendiri. contohnya adalah perbandingan antara dua merk dalam perusahaan jasa pengiriman barang (FedEx yang menampilkan sebuah kardus FedEx (Federal Express) yang terbuka dan di dalamnya ada kardus kecil dengan sedikit torehan tulisan DHL (pesaingnya) yang tersamar) seperti ditunjukan dalam gambar 3.4, atau anti tesis berupa dua situasi yang berbeda seperti sebelum dan sesudah produk itu dibeli dalam iklan esia pada gambar 3.4. dan gambar 3.6. Pada contoh ini, dalam Koran Kompas pada hari Rabu – Jumat (14-16 Juni 2006) pada hari Rabu dan Kamisnya, esia menampilkan iklan dengan gaya komunikasi yang kritis. Total ada 4 iklan cetak yang isinya mewakili 4 pribadi di Indonesia yang terhambat untuk berkomunikasi karena mahalnya biaya telepon. Di iklan tersebut juga, esia mencoba berempati dengan menuliskan teks “di esia, seringkali kami bertanya-tanya, harus beginikah nasib orang Indonesia?” Tetapi, pada Kompas edisi Jumat, seluruh pertanyaan itu dijawab oleh esia. Hampir seluruh halaman Kompas pada hari itu dipenuhi dengan iklan esia dalam berbagai ukuran. Mungkin tidak banyak yang sadar, karena tampilan beberapa iklannya pun memang tidak menonjol. Di antara iklan-iklan tersebut, 4 iklan cetak utama menceritakan pribadi-pribadi (yang muncul di iklan hari-hari sebelumnya) yang berbahagia karena telah menemukan solusinya lewat esia. Sekitar 15 iklan lainnya ditulis dengan gaya beragam, dari tulisan di kartu pos, surat cinta, surat bisnis, secarik kertas lecek, SMS, e-mail, dll. Semua seakan-akan adalah testimonial dari para pengguna esia. Isi testimonial-nya tidak jauh berbeda dengan 4 iklan cetak utamanya.

Selain itu, penambahan ini juga menunjukkan dua kategori yang berbeda dari pengguna (seperti iklan Biore dimana mengeluarkan produk pembersih muka untuk beragam jenis kulit yang berbeda juga; kulit berminyak, kulit kering, kulit bersisik dll.)
Beberapa figur dari penambahan ini juga didasarkan pada kesalahan homologi dimana berisi bentuk yang berlawanan dari koresponden yang identik (paradoks). Contohnya adalah dalam sebuah iklan shampo pewarna rambut, pemoles muka dan semacamnya dimana produk ini hadir bagi wanita yang menerima makna perbedaan yang “paradoks” untuk berani menjadi wanita lain, dengan rambut yang pirang dan berwarna-warni, muka berwarna warni ketimbang warna rambut atau wajah aslinya seperti ditampilkan oleh iklan Pixy.

Figur dari supresi
Tipe lain dari figur retoris adalah figur supresi. Tipe ini merupakan tipe yang sangat jarang ditemui di dalam iklan dan lebih sulit dibandingkan dengan figur penambahan. Ketika figur supresi ini digunakan di dalam sebuah iklan, penerima, pelihat atau pendengar dari iklan tersebut harus memahami bahwa ada sesuatu yang hilang di dalam pesan tersebut dan sekaligus justru ia memberikan dan mengisi kekurangan tersebut di dalam dirinya. Contoh dari gambar supresi adalah iklan dimana (beberapa bagian dari) produknya, pemakai produk ataupun merek yang semuanya itu dihilangkan atau dihapuskan. Pemakai produk, sebagai contoh, akan terkejut ketika mengetahui iklan itu dari perusahaan mana atau merek dagang apa. Contohnya adalah sebuah iklan penyedia layanan komunikasi seluler (iklan tri) dengan satu lembar penuh di surat kabar hanya menuliskan sebuah tulisan “mau cari yang murah? Tunggu aja” tanpa ada penjelasan lain iklan ini mau mengiklankan produk apa dan merek apa. Hanya bisa diketahui pada edisi surat kabar beberapa hari kemudian setelahnya.

Beberapa tipe lain dari gambar supresi ini juga terkadang ditampilkan oleh iklan dimana beberapa bagian dari gambarnya dilukiskan dalam bentuk garis titik-titik sebagai contohnya diilustrasikan dalam iklan sebuah alat permainanan (Lego), dimana didalamnya seorang anak kecil digambarkan sedang membangun rumah dengan Lego, dan kemudian Lego berbentuk kincir angin digambarkan oleh garis titik-titik yang disandingkan dengan tulisan “pikirkan, apa yang bisa kamu buat dengan lebih banyak lagi Lego?”.

Beberapa hal lainnya adalah dengan membuat “suspense” yaitu dengan menahan beberapa pesan. Dalam iklan komersial untuk televisi menjadi sesuatu yang berbeda lagi dimana dibagi dalam dua bagian, bagian yang pertama muncul di saat awal dari “commercial break” atau jeda iklan, dan yang kedua muncul setelah seri dari iklan komersial lainnya muncul. Lebih lanjut, sebuah kemungkinan untuk meletakkan dua elemen yang bertolak belakang yaitu untuk mengekang satu elemen yang berlainan. Contohnya adalah dalam iklan Sonny dimana produk-produk dari Sony dibandingkan dengan produk kompetitornya, dimana produk kompetitornya itu disupresi. Atau dalam iklan detergen baju Attack, yang menampilkan sebuah percobaan pembandingan dengan sabun cuci lainnya di depan ibu-ibu rumah tangga, lalu menampilkan bawa Attack “mencuci” dengan lebih baik ketimbang kompetitornya.

Figur dari subtitusi
Figur dari subtitusi ini khususnya adalah dalam bentuk metafor dan metonimi dimana kerapkali digunakan dalam iklan. Tipe dari figur retoris ini adalah sebuah kerangka prinsipil bagi iklan untuk mengkomunikasikan dan menyampaikan pesan-pesannya dalam bentuk yang orisinil dan cara yang puitis.
Contoh yang paling sederhana dari subtitusi ini adalah ketika satu elemen disubtitusikan (diubah) oleh elemen itu sendiri. Kesulitan dari figur ini adalah bagaimanapun juga subtitusi ini harus dirasakan meskipun faktanya elemen yang disubtitusi itu masih identik. Secara umum, pada akhirnya ada tingkatan perubahan dalam unsur tersebut dalam penggunaan hiperbola atau hal lain yang dilebih-lebihkan, penekanan ataupun bahkan keterangan yang justru mengecilkan persoalan. Kata-kata yang hiperbola sangat sering muncul dalam iklan. Contohnya adalah pada kata-kata seperti “besar”, “lebih besar”, “fantastic”, “super”. “heboh”, “luar biasa”, dan “terbesar”, yang muncul dalam judul-judul sebuah iklan. Bandingkan dengan iklan “Untung Beliung” pada iklan Bank BRI, “Gebyar BCA” pada Bank BCA. Selain tulisan dan kata-kata, gambar yang hiperbola pun tampil dalam objek yang dibesar-besarkan, contohnya adalah membesar-besarkan tampilan dan pelukisan sebuah produk seperti botol minuman ringan yang dipegang kemudian membesar (iklan Fanta). Atau orang yang kakinya bisa menjadi sedemikian panjangnya (iklan Nikon).

Dalam metafor, relasi antara dua konsep (pokok pembicaraan “topic”dan kendaraan yang dipakai “vehicle”) dapat dipahami dalam kesamaannya dengan analogi. Di dalam pesan iklan, metafor kerapkali digunakan untuk menekankan sebuah kualitas tertentu dari produk (pokok pembicaraan) dengan representasi dari tanda ikonik ataupun simbolik (kendaraan yang dipakai) yang memiliki kualitas yang sama. Sebagai contoh dari gambar metafor adalah dalam iklan tissue (Paseo) dimana seekor bebek yang dilukiskan disana digunakan untuk menekankan kelembutan dari tissue tersebut. Bahkan, dalam iklan Axe, metafor pemakaian bentuk ulir mur yang mendekati mur yang berdiri tegak ternyata sangat efektif dalam menggambarkan keadaan pria yang memakai pewangi badan Axe dan wanita-wanita yang mendekatinya, bahkan dalam metafor di ruang pengakuan dosa dengan banyaknya wanita yang mengantri untuk mengaku dosa, mau menunjukkan betapa dahsyatnya pengaruh pemakaian Axe terhadap perempuan di sekitarnya yang kemudian mengantri menghampiri.

Bila metafor berjalan melaui sifat-sifat transposisi dari satu bidang realitas ke bidang realitas yang lain, maka metonimi bekerja dengan mengasosiasikan makna ke dalam bidang yang sama. Definisi dasarnya adalah membuat bagian hal yang partikulir menjadi keseluruhan. Representasi realitas pastilah menggunakan metonimi: kita memilih satu bagian “realitas” untuk menunjukkan keseluruhan realitas. Latar perkotaan dalam serial kriminal di televisi adalah metonimi, di sini, gambar jalan tidaklah dimaksudkan untuk menunjukkan jalan itu sendiri melainkan sebagai metonimi untuk jenis tertentu kehidupan kota yaitu kumuhnya pusat kota, indahnya daerah pinggiran kota atau canggihnya pusat kota. Umberto Eco melihat metonimi ini dalam dua tipe, yaitu sebagai atribut atau kualitas yang berdiri sebagai entitas bagi sesuatu dimana ia berada dan yang kedua adalah sebagai entitas yang berdiri untuk atribut atau kualitasnya sendiri secara keseluruhan (seluruh bagian-bagiannya).
Contoh tipe pertama dari metonimi dalam iklan adalah iklan dari The Singapore National Tourism Board dengan gambar bangunannya yang khas di Singapore, atau Belanda dengan gambar kincir angin, Australia dengan Gedung Opera-nya, Paris dengan menara Eifel-nya, dan Malaysia dengan Petronas-nya, ataupun juga metonomi ini tampil pada merek yang berdiri untuk sebuah produk tertentu, sebagai contohnya slogan “my first Sony (walkman Sony), “Peugeot? Sure!” (mobil Peugeot). “Yamaha, touching in your heart” (motor), “Nokia, connecting people” (handphone), “Philips terang philips terang terus” (lampu Philips).
Selain itu, dalam tataran metonimi ini, wanita seringkali direpresentasikan juga di dalam sebuah iklan dengan beberapa bagian dari tubuhnya seperti mata, tangan, bibir atau kuku-kukunya. Seperti ditampilkan oleh iklan lipstik dengan gambar bibir wanita dan lipstiknya. Demikian juga pada kemasan sebuah produk pun bisa menunjukkan keseluruhan produk yang dimaksud, sebagai contohnya adalah kemasan pada sebuah laptop Ferrari yang berwarna merah dengan lambang kudanya di tengah laptop, di sini, laptop ini menyinggung sebuah tim balap mobil yaitu Ferrari.
Tipe kedua dari metonimi ini adalah produk yang ditempatkan di lingkungan, kegiatan dan situasi yang pasti. Melalui pengasosiasian dengan situasi ini, konsumer memiliki anggapan akan kualitas yang pasti juga (atau gambar yang pasti dan personalitas yang pasti) dari produk tersebut. Tipe metonimi ini seringkali digunakan dalam iklan rokok, kosmetik, makanan ataupun minuman dan lainnya. Contohnya adalah dalam iklan Pepsi, anak muda yang tersenyum dan bergaya sporty ditampilkan bersama dengan gambar produk pepsi, pelukisan ini digunakan untuk menciptakan gambaran kesehatan dari produknya yang diminum oleh anak muda, bahwa pepsi layak untuk dikonsumsi oleh anak muda yang “gaul” dan sporty. Atau dalam iklan Marlboro, yang menampilkan penunggang kuda dan situasi petualangnya mau menggambarkan juga nuansa petualangan dari merek rokok dari produk tersebut. Dan rokok Sampoerna A-mild dengan suasana latar sebuah grup band dengan personilnya beranggotakan adalah artis-artis yang dikenal anak muda saat ini mau menghadirkan nuansa itu dari mereknya.

Selain itu, elemen di dalam iklan juga dapat disubsitusikan dengan menghubungkannya dengan elemen yang lain melalui relasi yang berlawanan (sebuah antitesis yang implisit). Untuk mengekspresikan kehebatan sebuah perusahaan yang menawarkan produk bisnisnya, antitesis antara situasi sebelum dan sesudah penggunaan produknya sering ditampilkan, meski kerapkali hanya menunjukkan terminologi yang pertama dari antitesis tersebut. Contoh lain dari antitesis yang implisit ini ditunjukkan juga oleh iklan kampanye sebuah minuman berenergi seperti Kratingdaeng, yang menunjukkan hanya situasi yang buruk saja dari orang-orang yang tidak membeli produknya, atau pada iklan sebuah Factory Outlet yang menggambarkan betapa orang yang tidak pernah ke tempatnya itu menjadi terasing dan kurang pergaulan dengan dunia saat ini. Atau juga ditunjukkan dalam figur yang paradoks dimana sebuah iklan menyampaikan ide makna yang berkebalikan. Contohnya adalah pelukisan sebuah kotak besi yang hancur seperti botol yang pecah sesungguhnya mau mendemonstrasikan kekuatan dari kotak besi yang ditawarkannya.
Figur dari pertukaran.
Figur dari pertukaran ini memodifikasi relasi antara beberapa elemen dari proposisi. Figur ini lebih sulit untuk dianalisa dari figur retoris lainnya. Dengan pembalikkan sebagai contohnya, elemen dalam iklan tetap sama, tetapi pesan dan kapasitasnya telah berubah. Sebagai contoh, sebuah produk akan ditampilkan justru kebalikannya atau ukuran relatif manusia dan produk diubah menjadi kebalikannya. Contohnya, orang yang kecil dilukiskan justru untuk produk yang besar. Selanjutnya, kemiripan bentuk antara dua elemen (abstrak dan kongkret) diciptakan di sini. Di dalam iklan, kesamaan formal sangat mungkin dibentuk diantara objek yang kongkret dan idea yang abstrak. Contohnya adalah dalam iklan layanan masyarakat yang menggambarkan bohlam lampu yang menyala dengan ajakan hemat energi. Di sini, konsep abstrak (hemat) dilukiskan melalui gambar bohlam lampu.
Contoh dari pertukaran antara elemen-elemen yang berlawanan adalah seperti pelukisan ayah dan anak balitanya yang saling bertukar majalah, atau anak kecil yang memakai pakaian dan sepatu orang dewasa (iklan softener SoKlin). Demikian juga pertukaran dalam hubungan yang paradoks, antara dua elemen yang bertolak belakang dimana dua hal yang tidak tepat justru dikombinasikan dalam sebuah slogan untuk produk iklan itu sendiri. Seperti pada iklan dengan slogan “The Giant Suzuki” yang sesungguhnya adalah “Giant” mobil kecil dari Suzuki Swift.

The limit of the state

 Menurut KV II, GS 36 dan ASG; ada tiga wilayah hidup yang disebut sebagai relative outonom. Disebut otonom karena ketiga-tiganya punya aturan maennya sendiri masing-masing. Disebut relative karena ketiganya harus berinteraksi demi kesejahteraan integral manusia. Ketiganya itu adalah bidang; sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya.
Otonom ini dipertentangkan dengan istilah kolonialisasi yang diperkenalkan oleh Habermas; dalam masyarakat modern ini terjadi kolonialisasi yaitu penjajahan satu bidang oleh bidang lainnya.
Dalam bidang politik, ada ancaman dalam bentuk politik ada komunisme, rasisme dll.
Lalu di bidang religius ada ancaman dari Teokrasi; agama yang mendominasi dan menindas ketiga bidang yang lain demi misalnya demi syariah agama tidak membebaskan sesuatu yang artistik karena semuanya diharamkan cth. tidak boleh melukis, sehingga yang berkembang hanya huruf. Seni lukis dan patung tidak berkembang.
Lalu juga di bidang ekonomi ada ancaman dari neoliberalisme dimana ekonomi menjajah dan mencaplok bidang hidup yang lain. Ancaman global yang terjadi saat ini adalah dominasi ekonomi atas ketiga bidang hidup yang lain. Dan dominasi ini terjadi melalui proses komersialisasi yang menyusup dan merembes ke bidang politik dan kultur. Sehingga ada komersialisasi politik dan komersialisasi kultur.

Komersialisasi politik terungkap di dalam bentuk money politic (politik uang). Yang merebak tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika. Dominasi dari the rich and powerfull, sehingga hanya yang orang kaya saja yang berkuasa. Bentuk dari money politic itu terumuskan dalam “ money to buy power, and power to protect money”.dimana uang menjadi sarana untuk membeli kekuasaan dan kekuasaan politik itu berguna untuk melindungi uang, sehingga ada istilah “lobby-lobby” (pendekatan) satu dengan yang lainnya.
Juga terjadi komersialisasi kultur yang disebut komersialisme. Bentuk dari komersialisasi kultur? Lih. Paus Yohanes Paulus II yang meminjam dan mengacu pada Eric Promp seorang ahli psikososial; bahwa komersialisasi kultur terjadi bila nilai hidup suatu kultur adalah “having”, yang merangsang dan memacu ketamakan, hasrat manusia untuk memiliki. Ingin memiliki terus; “having more”dan more. Dan dominasi dari having more ini dipertentangan dengan nilai lain, yaitu “being more”.
Nilai ini yang oleh Paus, disebut sebagai “being more” atau “becoming more”. Maksudnya adalah, being atau becoming more “human”, yaitu menjadi lebih manusiawi. Insan manusia yang “Humanus”, yang berperi kemanusiaan, pribadi yang manusiawi. Dengan kata lain “Humanisasi”.

Sehingga filsafat kemanusiaan dari Paus biasa disebut sebagai humanisme integral, yang berisikan dua proses humanisasi (proses pemanusiawian) berikut:
1. Memanusiawikan manusia sendiri, melalui character building, pembinaan watak, pembinaan budi pekerti, penanaman kebajikan “virtue”. dan melalui Habit, habitus. Dimana kata habit ini menjadi populer karena dipopulerkan oleh filsuf sosial Prancis Pierre Boeurdeu. Dan oleh Thomas Aquinas mengatakan nilai-nilai itu adalah dalam empat bentuk, yaitu; Arif , Adil, Justice, Keberanian “courage” yang berarti “resoluteness” kekukuhan yang menjadi terkenal karena diperkenalkan juga oleh Heidegger yang pernah menjadi Novis Jesuit, yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai jati diri adalah orang yang memiliki resoluteness, dan bentuk lainnya adalah keugaharian; mampu mengatur dan mengendalikan kehidupannya sendiri, tidak takluk kepada hasratnya.
2. Humanisasi juga berarti memanusiawikan relasi; relasi antar manusia maupun relasi antar kelompok.

Dan dua norma bagi humanisasi relasi ini adalah:
a. Equality, bila berakar dari persamaan hak dan martabat manusia. cth. Anti perbudakan, anti diskriminasi. bdk. Kitab Suci yang mengatakan tidak ada lagi di anatara kamu budak, Yunani atau Yahudi.
b. Fraternity, Paus sangat menekankan nilai ini, yang tergencet oleh dua nilai lain (liberty dan equality), Nilai persaudaraan ini ditekankan dan diperkenalkan dengan istilah baru yaitu solidaritas. dan kreativitas mengunakan dan menciptakan istilah baru disebut neologisme dengan tujuan agar memberi aksen lebih pada kata yang dimaksudkan, bahwa kata ini memiliki nilai penting.

Bagi Paus, ada dua segi dari solidaritas ini yaitu:
i. Solidaritas dari orang miskin “Solidarity of the poor”, atau dari antara orang miskin sendiri. Dimana semiskin-miskinnya kita, tetap mempunyai tanggung jawab sosial terhadap yang lain. Orang miskin wajib saling menolong satu sama lain.
ii. “Solidarity with the poor”, solidaritas dengan orang miskin. Bahwa seseorang harus dapat menjembatani kesenjangan sosial, gap sosial. Orang yang mempunyai solidaritas adalah orang yang mampu menyeberang ke pihak yang lain. Solidaritas ini bisa juga berarti, “sharing”, “charitas”, kemampuan untuk memberi, berbagi dan membantu.

Kesimpulannya adalah bahwa ASG menekankan pentingnya otonomi dari ketiga bidang hidup, agar satu bidang tidak terkolonialisasi dari bidang hidup yang lainnya. Bidang pertama adalah bidang sosial politik.

1. Bidang Sosial politik. Fokus dari bidang ini adalah kekuasaan “power”, dan kekuasaan ini memiliki dua segi yaitu “power over” dan “power for”.
a. “power over”, kekuasaan atas, atau kemampuan untuk menguasai. Kemampuan ini terungkap di dalam tiga gejala sosial berikut yaitu kemampuan untuk
i. kemampuan untuk memerintah “to order”, memberi aturan, hukum, dan terungkap pertama-tama dalam dan sebagai kemampuan untuk membuat dan memberlakukan peraturan. bdk. ini adalah sebagai dasar dari kemampuan sebuah legislatif. Peraturan tetap ada dan berlalaku meski ia ada atau tidak ada.
ii. kemampuan untuk mengatur, “to govern”, ini bukan hanya pada pemerintah saja, tetapi juga seperti orangtua di dalam keluarga. Mengatur dan menyelenggarakan terjadinya sesuatu. Sesuatu ini adalah “program tertentu” agar terwujud dan terealisasi. dan bahwa kemampuan ini adalah kemampuan milik eksekutf. Meski di Indonesia kurang bagus.
iii. kemampuan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman; “to judge and to punish”. Dan ini menjadi dasar dari yudikatif.

Dari ketiga segi power over harus ada mekanisme, yaitu harus ada mekanisme “check and balance”, yaitu saling mengontrol dan saling membatasi sehingga tidak ada satu lembaga atau sejenisnya yang mendominasi yang lainnya.

Perlu dijelaskan lebih rinci mengenai arti justice terlebih dahulu.
Arti Justice:
1. Fairness (john role), memiliki tiga arti yaitu kejujuran, keseimbangan, keadilan atau kewajaran. Rumusan negatifnya dari fairness adalah ketidakberpihakan, kata lainnya adalah netralitas atau keseimbangan. Orang atau aturan disebut fair apabila orang atau aturan itu tidak berpihak pada kubu atau kelompok tertentu melainkan kesemuanya, kesemua pihak yang terkait dan terlibat. Lawannya adalah un-fairness (keberpihakan), aturan yang berpihak. “Power over” tadi (yang terungkap di dalam tiga kemampuan eksekutif, yudikatif dan legislatif) memang bisa menjadi kekuasaan yang berpihak, kekuasaan yang unfair, yang bisa terungkap di dalam:
i. Bias sosial, yaitu kecenderungan yang tidak sadar untuk menguntungkan orang atau kelompok tertentu. cth. bias ekonomi, yang entah menguntungkan “the poor” atau “the rich”. Menguntungkan “the poor” juga sama bahayanya karena mesti dimengerti dengan baik. Istilah the poor ini harus dimengerti dengan tepat karena bisa “contra productive”.
ii. Favoritisme, kebijakan dengan sadar menganak-emaskan kelompok tertentu. lih. Bakrie dll. yang menguntungkan pihak pribumi. Dengan kata lain, kebijakan itu menjadi unfair apabila mengesahkan aturan-aturan yang diskriminatif.

Tetapi, harus disadari juga bahwa masyarakat modern mau tidak mau adalah masyarakat yang berjenjang, dimana ada perbedaan kelas, perbedaan kemampuan dan pernbedaan tanggung jawab dll. Yaitu masyarakat akan dengan sendirinya akan “meritocracy” merit=kemampuan, yaitu dengan sendirinya terbedakan dari perbedaan tugas, perbedaan kemampuan dan perbedaan imbalannya, perbedaan keistimewaan. Apakah meritocracy ini bisa dibilang dan dianggap fair?
Meritocracy ini bisa fair kalau memenuhi dua kondisi atau persyaratan:
a. Openess, setiap perbedaan status, level, sosial dll menjadi fair apabila terbuka bagi “all”, bagi semua berdasarkan satu kriteria yaitu kompetensi. Prinsip “the right man in the right place” menjadi sangat tampak di sini. Semua ini adalah tugas-tugas sosial yang harus open. Sebuah Social Office.
b. Semua tugas sosial ini hanya fair apabila hirarki sosial itu menguntungkan kelompok yang paling lemah dalam masyarakat. Menguntungkan mereka yang tidak beruntung. Meski ada sedikit bias di sini atas “the poor”, tetapi ada dorongan juga “insentif” untuk berkembang dimana orang bisa naik dan mengalami mobilitas sosial, yaitu peluang untuk menyalurkan insentif, untuk maju dan meningkat, peluang untuk memperkembangkan kompetensi.
Pada kenyataannya, kita hidup dalam mayarakat yang majemuk, yang ditandai oleh “conflict of interest”, yaitu pertentangan kepentingan-kepentingan satu dengan yang lainnya. Fairness yang ketiga ini juga berarti keterbukaan pada konsensus dan kompromi di antara berbagai kelompok yang memiliki berbagai kepentingan itu sendiri. Mayarakat itu fair bila mendorong konsensus dan kompromi. Perbedaan konsensus dan kompromi; Konsensus; berusaha menyelesaikan permasalahan melaui dialog sehingga terbentuklah kesepakatan bersama, dan konsensus ini terjadi bila ada “kesediaan” untuk melakukan kompromi yang diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk dapat menyesuaikan tuntutan yang satu dengan tuntutan yang lainnya. cth di Indonesia, konsensus kompromi tampak dalam pembuatan UUD, dimana kelompok Islam mau melepaskan klaim atas piagam Jakarta demi hidup bersama dan menjaga kesatuan.

2. Equality, yaitu “material justice” . Keadilan ini dipertentangan dengan kemauan dari banyak pihak. Arti justice sebagai material dalam kaitannya dalam equality (kesetaraan) memiliki arti:
a. equality beneath the law, yaitu kesamaan, kesetraan yang sama di depan hukum, ada kepastian hukum sehingga tidak ada yang dikecualikan dalam hukum sehingga lambang hukum itu adalah timbangan yang besar, hukum itu harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah.
b. equality of opportunity, kesamaan dalam kesempatan, peluang untuk maju. Peluang untuk mewujudkan diri, untuk mobilitas sosial, kemajuan sosial. Sehingga orang tidak dipenjarakan dan hidup pada status yang sama. Bahwa yang di bawah ada kesempatan untuk naik ke atas
c. equality in distribution, pemerataan yang sama dan setara. Arti yang terealisasi saat ini adalah bahwa distribusi tidak bisa diartikan sama rasa dan sama rata seperti demikian tetapi sesuai dengan kebutuhan. Dan arti inilah yang paling dapat tercapai dan terealisasikan. Tetapi di dalam politik, tuntutan ini berguna untuk mereduksi gap ekonomi antara manusia yang satu dengan yang lainnya, kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Perbedaan kelas yang makin jauh berarti tidak adil.

FENG SHUI : harmonis dengan alam

Fengshui dan Rasionalitas
Ada yang berpendapat bahwa sesuatu dianggap “normal” jika dapat dipahami dengan intelegensi manusia. Masuk akal, make sense. Orang melihat dan merasakan hujan dan kita semua dapat menjelaskan dengan gamblang bagaimana proses alam itu terjadi. Berbeda dengan itu, paranormal, dianggap sebagai sesuatu yang “diluar” normal. Apa itu - adalah hal- hal yang tidak dimengerti oleh akal manusia. Karena diluar kemampuan pemikiran manusia, maka manusia mulai berkhayal untuk mencari solusi terhadap masalah yang tak dapat dimengerti itu. Inikah paranormal? Bagaimana jika gejala-gejala alam lain yang sulit dimengerti oleh orang normal ternyata dapat dimengerti oleh mereka yang disebut paranormal? Adilkah jika kemudian dicap sebagai pengkhayal?
Ada yang berpendapat bahwa perbedaan kemampuan dalam melihat phenomena alam disebabkan karena paranormal mengembangkan cara berpikir yang berbeda dari orang normal. Mereka lebih menggunakan otak kanan yang memiliki kemampuan intuitif, pattern thinking dan mampu melihat masalah secara holistik. Berbeda dengan itu manusia normal lebih menggunakan otak kiri yaitu berpikir rasional.
Sepertinya sederhana, namun perbedaannya besar sekali. Mari kita adakan eksperimen kecil dengan melihat susunan huruf berikut : IAPDLUUBMUNINMUGIIT. Berapa dari kita yang dalam waktu tiga detik mampu mengerti dan dapat mengingat susunan huruf tersebut secara tepat dan cepat? Jika kita tidak dapat menjelaskan arti huruf-huruf tersebut berarti kita manusia normal. Namun dalam beberapa detik saya akan membuat kita seketika menjadi “paranormal”. Mari kita mencari pola dari susunan yang kacau tersebut. misalnya menjadi ALUMNI UI ITB UGM UNDIP. Berapa detik yang kita butuhkan untuk mengerti dan mengingat susunan huruf tersebut?
Dengan kekuatan otak kanan, pelaut tradisional menyusun prakiraan cuaca berdasarkan pengamatan atas pola pergerakan awan, angin, temperatur, dll. Cara yang hampir sama dilakukan oleh para ahli Fengshui. Mereka melihat bahwa keberuntungan bersifat random, tidak akan dapat dimengerti oleh otak kiri - sama seperti ketika kita tidak mengerti arti susunan huruf yang acak. Namun dengan otak kanan yang terlatih mereka mampu menarik benang merah. Ternyata keberuntungan dan ketidakberuntungan ada polanya. Ketika pola menjadi jelas maka solusi masalah menjadi lebih mudah. Dibuatlah aturan-aturan atau formula yang dapat menjadi pemicu keberhasilan perjuangan manusia dalam hidup.
Nah.. metafor tadi dapat dijadikan sebuah awalan yang mau mengajak kita untuk memasuki alam serta paradigma berpikir Feng Shui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana keruwetan, ketidak-teraraturan, ketidak-harmonisan menjadi pemikiran besar dalam feng shui itu sendiri dalam kerangka upaya serta usaha praktis menyeleraskannya agar tercipta sebuah harmoni yang berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Di sini, alur serta ranah pemahaman logika dalam Feng Shui haruslah dijadikan sebagai sebuah patokan awal dalam memahami Feng Shui secara keseluruhan, yang memang akan sangat berbeda dengan ranah pemahaman logika Barat dengan logika dikotomi atau pemisah-pisahannya itu.


Sejarah dan latar belakang: hidup selaras dengan Alam
Feng Shui telah dipraktekkan di Cina sekurang-kurangnya sejak Dinasti Tang. Ahli seni yang paling kuno adalah Yan Yung Sang, yang secara umum diakui sebagai penemu Feng Shui. Master Yang meninggalkan warisan klasik yang terus menerus dipelajari sampai sekarang. Ia adalah penasehat utama Istana Kaisar Hi Tsang (888SM); bukunya tentang Feng Shui menjadi naskah utama yang selama beberapa generasi menjadi dasar seni ini.
Master Yang memberi tekanan pada bentuk gunung, arah aliran air dan yang paling penting, penentuan lokasi dan pemahaman pengaruh Naga, makhluk langit yang paling dipuja oleh orang Cina. Ajaranya dituangkan dalam tida karya klasik yang terkenal yang menggambarkan praktik Feng Shui sehubungan dengan metafor naga, dan ternyata dari tida karya ini kita dapat semakin memahami kerangka berpikir orang Cina did alam kehidupan praktis mereka sehari-harinya.
Karya yang pertama adalah “Han Lung Ching” yang berisi “Seni Membangkitkan Naga”, yang kedua adalah “Ching Nang Ao Chih”, yang berisi metode menentukan letak gua Naga, sedangkan yang ketiga adalah “I Lung Ching” yang diterjemahkan sebagai “Prinsip Mendekati Naga”. Buku ini menyajikan metode dan teknik bagaimana menemukan Naga di tempat yang Naganya tidak nampak.
Nah, dari ketiga dasar karya klasik inilah maka tampak secara jelas akan latar belakang pemahaman serta logika berpikir dalam Feng Shui sendiri, yaitu keselarasan, keharmonisan dengan alam sendiri yang memang lebih banyak dituangkan dan direpresentasikan di dalam bentuk fisis bangunan maupun struktur-struktur penunjang lainnya. Lihat tiga karya klasik tadi; “Membangkitkan Naga” itu memiliki pemahaman bahwa Feng Shui mau mencoba menemukan dan membangkitkan potensi-potensi positif dalam diri manusia yang selama ini “tertidur” oleh karena tidak ditunjang oleh keadaan maupun lingkungan sekitar hidupnya yang bisa dikatakan “ruwet” dan tidak harmonis sehingga potensi-potensi positif itu hanyalah diam saja. Bdk. Dengan cerita Talenta dalam Kitab Suci, sebagaimana hamba yang menguburkan talenta potensinya ke dalam tanah sehingga tidak berguna, maka Feng Shui mencoba untuk membongkar tanah tadi dan mengeluarkan potensi itu sehingga dapat semakin berkembang dan berguna secara praktis bagi kehidupan manusia itu sendiri.
“Menentukan letak gua Naga” yang dimaksudkan adalah melakukan pelbagai perbaikan-perbaikan nyata pada segi-segi tertentu dimana potensi-potensi itu dapat menghampiri kita. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk upaya penyelarasan dan pengharmonisan pada segi-segi yang dianggap menutupi “gua Naga” sehingga sang Naga tidak dapat keluar. Upaya ini juga harus dilihat dalam ranah pemahaman praktis yaitu dengan meletakkkan benda-benda yang dapat menetralkannya atau melakukan upaya-upaya pengharmonisan lain. Dan, demikian juga dengan karya ketiga, menemukan Naga di tempat yang Naganya tidak nampak pun menjadi sebuah upaya nyata akan pola pemahaman serta cara berpikir Cina tersebut akan dimana ia tinggal, apa yang ada di dalam lingkungan alam tempat tinggalnya dan kira-kira potensi-potensi positif apa yang bisa diupayakan di sana.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kabut mistik mengelilingi praktik Feng Shui. Di sini, kita mulai menembus daerah yang gelap dari simbol, kepercayaan dan astrologi Cina; yang meliputi seluruh spektrum ketertarikan orang Cina terhadap hubungan antara manusia dan Alam Semesta; suatu praktik yang menekankan kebutuhan mendesak akan keseimbangan dan keselarasan.
Feng Shui adalah seni hidup dalam keharmonisan dengan alam, sehingga seorang mendapatkan paling banyak keuntungan, ketenangan dan kemakmuran dari keseimbangan yang sempurna dengan Alam.
Feng Shui tidak dapat dipandang secara sempit,baik sebagai ilmu pengetahuan dengan rumus “magis” maupun sebagai seni yang secara menyeluruh berdasarkan naluri. Feng Shui adalah gabungan yang fleksibel dari unsur-unsur alam, dan untuk mempraktekkannya secara efektif, digunakan dasar konsep yang berasal dari pedoman klasik kuno yang sesuai dengan pemikiran intuisi manusia dan pertimbangan pribadinya.
Untuk lebih menyempurnakan praktek ini, ada juga unsur kepercayaan takhyul yang melekat pada seluruh prinsip Feng Shui (dalam pemikiran logika Barat, meski di dalam paradigma berpikir Cina, semua hal ini adalah sangat-sangat logis). Hal ini tidak dapat diabaikan atau dilupakan.
Untuk memahami Feng Shui, dibutuhkan pengetahuan mengenai prinsip filsafat yang membentuk dasar kepercayaan Cina dan budaya Cina. Hal ini termasuk teori keseimbangan dan keselarasan, Yin dan Yang, I Ching dan Pa-Kua; lima unsur alam, dan mungkin yang paling penting juga adalah memahami Ch’i, nafas kosmis yang penting dari Naga Langit.

Prinsip Harmoni
Satu hal lagi yang perlu diingatkan di dalam Feng Shui adalah prinsip harmoni yang juga merupakan salah satu bagian penting di dalam ranah berpikir Cina. Harmoni di dalam filsafat Cina Kuno lebih dipahami sebagai produksi dari segala sesuatu, dimana harmoni ini dibedakan dari identitas. Sangat menarik bila kita memahami dari yang dikatakan oleh Fung Yu Lan bahwa “ when the one equalize the other there comes what is called harmony, so that then there can be a iuxurius growth in which new things are produced. But, if identitiy is added identity, all that is new is finished”
Kata equalize ini tidak dapat dipungkiri bahwa kata ini di dalamnya mengandung makna keserasian, keseimbangan, keterpaduan dan sekaligus juga di dalmnya adalah ada pembedaan dan perbedaan diantara unsur-unsur yang membentuk harmoni itu sendiri. Dengan kata lain, prinsip harmoni ini menunjukkan sesuatu yang baru yang muncul dari unsur-unsur harmoni itu sendiri.
Di dalam Feng Shui, hal ini dapat ditunjukkan secara nyata khususnya berkaitan dengan penggunaan serta pemakaian pemahaman lima unsur alam, yaitu; kayu, api, logam, tanah dan air. Termasuk nanti juga adalah unsur-unsur lainnya seperti waktu, tahun, tanggal lahir yang pada kesempatan ini tidak dipaparkan. Kelima unsur alam tadi dapat diasosiasikan dengan warna, musim, arah mata angin dan planet. Sebagai contoh:
• API berwarna merah, suatu warna yang menguntungkan yang juga berarti musim panas dan Selatan.
• AIR diwakili oleh warna hitam yang beratri Utara dan musim dingin
• KAYU adalah Timur, diwakili oleh warna hijau
• LOGAM berwarna putih atau kadang keemasan, melambangkan Barat
• TANAH adalah kuning yang merupakan pusat

Semua pemaparan tadi merupakan bagian dari unsur-unsur alam yang nantinya ketika dipadukan akan mempunyai suatu daya tersendiri yang mengarahkan pada terjadinya suatu keharmonisan. Dalam pemahaman Feng Shui terdapat siklus-siklus dari elemen-elemen ini yang harus diperhatikan, yaitu siklus produktif dan siklus destruktif.

Pemahaman ini mau menunjukkan pola pikir Cina Kuno akan alam dan keharmonisan bahwa seperti yang telah kita ketahui, alam memiliki lima jenis energi yang direprentasikan dengan lambang fire, earth, metal, water dan wood. Jika umumnya lima elemen dipikirkan sebagai sebuah mekanisme dan sistem energi, dapat dipahami dengan melihat lima elemen ini sebagai "pencuri kehidupan". Dalam scripts Taoist kuno, "Classic on Yin Convergence"-dikatakan: "Nature has five robbers, those who see them thrive". Apa maksudnya ini? Scripts ini menekankan jika kita sebagai manusia dapat lolos dari pencuri ini maka akan berhasil. Untuk mengerti hal ini pertama kali kita perlu mengidentifikasi siapa pencuri itu? Sesuai dengan aturan lima unsur, bagi metal api adalah pencuri, bagi kayu metal adalah pencuri, bagi api air adalah pencuri, dst. Bagaimana aplikasi teori ini dalam kehidupan?
Selain perlu merencanakan kehidupan sesuai dengan kekuatan elemen, Kita juga perlu merencanakan tindakan dan pikiran yang sejalan dengan ciri utama dari elemen. Jika energi fokus atau konsentrasi dapat direpresentasikan dengan metal maka pikiran yang bercabang adalah pencurinya. Jika Kita dengan karakteristik strong metal maka secara naluri kita memiliki kemampuan "mengumpulkan". Oleh karena itu pikiran yang tidak focus adalah pencurinya karena kemampuan pengumpulan akan sejalan dengan pikiran yang fokus. Sekitainya Kita tahu kapan dan dimana pikiran Kita bercabang maka Kita telah menangkap robber. Setelah robber ditangkap Kita dapat berkarya secara maksimum sesuai dengan bakat alami Kita.
Demikian di dalam Feng Shui yang diaplikasikan di dalam bentuk-bentuk fisis seperti rumah, tata letak, bangunan, taman, tanaman dan lain-lainnya mencoba untuk mensinergiskannya sehingga dengan keharmonian yang tercipta akan menghasilkan sesuatu yang baru, sebuah daya yang begitu baiknya bagi manusia itu sendiri. Baik di sini juga harus diingat dalam pemahaman Yin Yang, bahwa bukan berarti tidak ada yang buruk, melainkan anata Yin dan Yang itu tetap ada dan seimbang.

Penerapan Harmoni dalam Feng Shui
Ternyata salah satu kelebihan Feng Shui adalah bagaimana Feng Shui dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari, pada kesempatan ini, saya akan mencoba mengambil contoh berkenaan dengan penempatan serta bentuk rumah, untuk hal yang lainnya seperti taman, kolam dll tidak dibahas detail pada kesempatan kali ini.
Di dalam rumah, ternyata unsur-unsur alam yaitu kali ini berkaitan dengan arah mata angin sungguh mewarnai pemahaman filsafat Cina Kuno akan keselarasan, akan keharmonisan. Yang secara nyata di terapkan di dalam ilmu-ilmu modern saat ini berkenaan dengan arsitektur bangunan serta desain interior sebuah rumah itu sendiri dimana di dalamnya terdapat sebuah “kehidupan” keluarga yang sudah memiliki keragaman chi.ya masing-masing. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh Feng Shui dalam upaya menyelaraskan dan harmoni itu sendiri berkenaan dengan arah mata angin?
Di dalam arah mata angin, pedoman umum yang dipakai di dalam penempatan ruagan ataupun apa yang ada di dalamnya juga mengacu pada alam

Delapan macam energi ini akan dijadikan patokan dalam delapan sudut ruang penempatan di dalam rumah. Di dalam pemahaman Cina Kuno, ke delapan energi ini disebut sebagai delapan arah mata angin. Mari kita coba pahami satu persatu dalam upaya memahami keharmonisan itu sendiri:
Energi yang menguntungkan:
- Sheng Qi yang berarti Semangat
- Tian Yi yang berarti Perawatan selamanya
- Yan Nian yang berarti Umur Panjang
- Fu Wei yang berarti Stabilitas
Empat energi yang merugikan:
- Jue Ming yang berarti Kematian
- Wu Gui yang berarti Lima Hantu
- Liu Sha yang berarti Enam Iblis
- Huo Hai yang berarti Kecelakaan

Di dalam Feng Shui, keharmonisan yang sangat baik adalah bila kita memperhatikan ke semuanya itu.
Sangat jelas bagaimana upaya-upaya manusia untuk menjadikan kehidupan, bahkan di dalam kehidupan keluarga berkenaan dengan keadaan fisik bangunannya dengan mempertimbangkan unsur-unsur alam dimana kita menjadi bagian di dalamnnya, yaitu arah mata angin. Lihat bagaimana di dalam Feng Shui, sebagian isi bangunan yang memiliki energi merugikan sangat baik digunakan sebagai toilet, gudang, tempat penyimpanan. Dan sebagian ruangan di dalam rumah yang dipenuhi dengan energi yang menguntungkan sangat baik dipergunakan untuk ruang keluarga, ruang makan, tempat tidur dan ruang tamu.
Tetapi, bukan sekadar dalam tataran praktis saja kita akan membahasnya, tetapi marilah kita mencoba memahami kerangka serta paradigma berpikir masyarakat Cina Kuno itu sendiri yang mungkin dalam tataran filsafat barat akan sangat sulit untuk dimengerti pelbagai upaya dan usaha-usaha ini, yang mungkin tidak salah bila kita anggap sebagai sekadar omong kosong saja.
Semua ini sekali lagi mau menunjukkanbagaimana upaya dan usaha manusiawi untuk mensinergiskan apa yang ada di alam semesta, dimana di dalamnya manusia adalah bagian dari alam itu sendiri. Identitas-identitas yang tadi ditampakkan, dalam rupa arah mata angin, bangunan, tempat dan ruangan-ruangan itu dipahami sekadar sebagai pelengkap saja pada hal-hal baru yang sudah diproduksi karena prinsip harmoni. Maksudnya adalah bahwa produksi hal-hal baru berkaitan dengan memadukan elem-elemen yang berbeda-beda itu sehingga hal baru tersebut mengahsilakn sebuah kesatupaduan, kesatu-terpaduan. Satu kualitas inheren sebagai hasil dari prinsip harmoni itu sendiri.
Perlu dicatat bahwa kata “satu” ini tidaklah sama dengan prinsip dalam epistemologi barat yang mengatakan satu itu bukan dua, satu itu tidak bisa sekaligus dua dll, disini prinsip dikotomi barat harap ditanggalkan terlebih dahulu karena kata satu ini dalam pemikiran Cina adalah juga bisa dua atau bahkan satu itu adalah satu dan sekaligus dua.
Hal utama yang mau dijelaskan adalah bahwa yang satu terpadu atau harmoni ini tetap mengandung perbedaan antara satu dengan yang lain, sebagaimana antara unsur asin dengan asam. Kombinasi unsur asin-asam inilah yang dimaksudkan sebagai kesatuan kualitas. Ini terjadi karena asin mengafirmasi asam dan sebaliknya. Sedangkan identitas tidak menghasilkan suatu yang baru.
Dalam arti lain, masih berkenaan dengan keharmonisan di dalam Feng Shui adalah bahwa harus didasari Filsafat Cina Kuno selalu menempatkan dua unsur biner di dalam sebuah keterpaduan. Sebagaimana Yin dan Yang senantiasa ada dan tidak boleh yang satu mendominasi yang satu dan sebaliknya. Lihat bagaimana di sebuh rumah dalam tabel tadi, energi yang menguntungkan disandingkan dengan energi yang tidak menguntungkan, dalam arti lain bahwa energi yang menguntungkan tidak begitu saja diupayakan mati-matian untuk menghilangkan energi yangtidak menguntungkan, Tidak! Justru ketika energi yang tidak menguntungkan itu ada maka terjadilah harmoni. Dalam tataran kehidupan, yang jahat haruslah tetap ada dan janganlah digantikan dengan yang baik, atau yang baik jangan sampai menhilangkan yang jahat karena akan menimbulkan ketidakharmonisan alam. Karena di dalam yang jahat ada yang baik dan did alam yang baik ada yang jahat dan keduanya haruslah senantiasa selaras dan harmoni.
Penempatan dua unsur biner dalam kepaduan ini mau menunjukkan perbedaan yang mengandaikan kontras yang tidak menghapus satu sama lain, tetapi saling menguatkan kehadiran satu sama lain. Dan justru kepaduan inilah yang menhasilkan sesuatu yang baru.
Pada akhir penutup ini, saya hanya mau mengajak untuk memahami pola pikir serta paradigma berpikir masyarakat Cina khususnya saat ini melalui Feng Shui sendiri, yang tidak dapat dipungkiri bahwa bahkan di dalam ilmu-ilmu barat mutakhir saat ini seperti arsitektural, ternyata Feng Shui menjadi salah satu mata kuliah yang senantiasa ada di mana-mana dan senatiasa menjadi bahan rujukan yang tidak bisa diabaikan begitu saja di dalam kehidupan dan ranah berpikir saat ini.
Identitas dipandang tidak memadai sebagai prinsip untuk memahami realitas. Ibarat membunyikan nada secara berulang-ulang, prinsip identitas terbatas dalam memaknai realitas yang ada pada dirinya sendiri yang mana mengandung kepaduan beragam unsur pembentuknya. Dengan demikian, kesatuan dalam filsafat Cina tidaklah berarti kesamaan, karena kesamaan tidaklah menghasilkan realitas yang baru, tetapi justru perbedaanyang terpadulah yang menghasilkan realitas baru, kualitas baru . Dan semua ini dapat dengan jelas dipahami melalui Feng Shui.