Menurut KV II, GS 36 dan ASG; ada tiga wilayah hidup yang disebut sebagai relative outonom. Disebut otonom karena ketiga-tiganya punya aturan maennya sendiri masing-masing. Disebut relative karena ketiganya harus berinteraksi demi kesejahteraan integral manusia. Ketiganya itu adalah bidang; sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya.
Otonom ini dipertentangkan dengan istilah kolonialisasi yang diperkenalkan oleh Habermas; dalam masyarakat modern ini terjadi kolonialisasi yaitu penjajahan satu bidang oleh bidang lainnya.
Dalam bidang politik, ada ancaman dalam bentuk politik ada komunisme, rasisme dll.
Lalu di bidang religius ada ancaman dari Teokrasi; agama yang mendominasi dan menindas ketiga bidang yang lain demi misalnya demi syariah agama tidak membebaskan sesuatu yang artistik karena semuanya diharamkan cth. tidak boleh melukis, sehingga yang berkembang hanya huruf. Seni lukis dan patung tidak berkembang.
Lalu juga di bidang ekonomi ada ancaman dari neoliberalisme dimana ekonomi menjajah dan mencaplok bidang hidup yang lain. Ancaman global yang terjadi saat ini adalah dominasi ekonomi atas ketiga bidang hidup yang lain. Dan dominasi ini terjadi melalui proses komersialisasi yang menyusup dan merembes ke bidang politik dan kultur. Sehingga ada komersialisasi politik dan komersialisasi kultur.
Komersialisasi politik terungkap di dalam bentuk money politic (politik uang). Yang merebak tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika. Dominasi dari the rich and powerfull, sehingga hanya yang orang kaya saja yang berkuasa. Bentuk dari money politic itu terumuskan dalam “ money to buy power, and power to protect money”.dimana uang menjadi sarana untuk membeli kekuasaan dan kekuasaan politik itu berguna untuk melindungi uang, sehingga ada istilah “lobby-lobby” (pendekatan) satu dengan yang lainnya.
Juga terjadi komersialisasi kultur yang disebut komersialisme. Bentuk dari komersialisasi kultur? Lih. Paus Yohanes Paulus II yang meminjam dan mengacu pada Eric Promp seorang ahli psikososial; bahwa komersialisasi kultur terjadi bila nilai hidup suatu kultur adalah “having”, yang merangsang dan memacu ketamakan, hasrat manusia untuk memiliki. Ingin memiliki terus; “having more”dan more. Dan dominasi dari having more ini dipertentangan dengan nilai lain, yaitu “being more”.
Nilai ini yang oleh Paus, disebut sebagai “being more” atau “becoming more”. Maksudnya adalah, being atau becoming more “human”, yaitu menjadi lebih manusiawi. Insan manusia yang “Humanus”, yang berperi kemanusiaan, pribadi yang manusiawi. Dengan kata lain “Humanisasi”.
Sehingga filsafat kemanusiaan dari Paus biasa disebut sebagai humanisme integral, yang berisikan dua proses humanisasi (proses pemanusiawian) berikut:
1. Memanusiawikan manusia sendiri, melalui character building, pembinaan watak, pembinaan budi pekerti, penanaman kebajikan “virtue”. dan melalui Habit, habitus. Dimana kata habit ini menjadi populer karena dipopulerkan oleh filsuf sosial Prancis Pierre Boeurdeu. Dan oleh Thomas Aquinas mengatakan nilai-nilai itu adalah dalam empat bentuk, yaitu; Arif , Adil, Justice, Keberanian “courage” yang berarti “resoluteness” kekukuhan yang menjadi terkenal karena diperkenalkan juga oleh Heidegger yang pernah menjadi Novis Jesuit, yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai jati diri adalah orang yang memiliki resoluteness, dan bentuk lainnya adalah keugaharian; mampu mengatur dan mengendalikan kehidupannya sendiri, tidak takluk kepada hasratnya.
2. Humanisasi juga berarti memanusiawikan relasi; relasi antar manusia maupun relasi antar kelompok.
Dan dua norma bagi humanisasi relasi ini adalah:
a. Equality, bila berakar dari persamaan hak dan martabat manusia. cth. Anti perbudakan, anti diskriminasi. bdk. Kitab Suci yang mengatakan tidak ada lagi di anatara kamu budak, Yunani atau Yahudi.
b. Fraternity, Paus sangat menekankan nilai ini, yang tergencet oleh dua nilai lain (liberty dan equality), Nilai persaudaraan ini ditekankan dan diperkenalkan dengan istilah baru yaitu solidaritas. dan kreativitas mengunakan dan menciptakan istilah baru disebut neologisme dengan tujuan agar memberi aksen lebih pada kata yang dimaksudkan, bahwa kata ini memiliki nilai penting.
Bagi Paus, ada dua segi dari solidaritas ini yaitu:
i. Solidaritas dari orang miskin “Solidarity of the poor”, atau dari antara orang miskin sendiri. Dimana semiskin-miskinnya kita, tetap mempunyai tanggung jawab sosial terhadap yang lain. Orang miskin wajib saling menolong satu sama lain.
ii. “Solidarity with the poor”, solidaritas dengan orang miskin. Bahwa seseorang harus dapat menjembatani kesenjangan sosial, gap sosial. Orang yang mempunyai solidaritas adalah orang yang mampu menyeberang ke pihak yang lain. Solidaritas ini bisa juga berarti, “sharing”, “charitas”, kemampuan untuk memberi, berbagi dan membantu.
Kesimpulannya adalah bahwa ASG menekankan pentingnya otonomi dari ketiga bidang hidup, agar satu bidang tidak terkolonialisasi dari bidang hidup yang lainnya. Bidang pertama adalah bidang sosial politik.
1. Bidang Sosial politik. Fokus dari bidang ini adalah kekuasaan “power”, dan kekuasaan ini memiliki dua segi yaitu “power over” dan “power for”.
a. “power over”, kekuasaan atas, atau kemampuan untuk menguasai. Kemampuan ini terungkap di dalam tiga gejala sosial berikut yaitu kemampuan untuk
i. kemampuan untuk memerintah “to order”, memberi aturan, hukum, dan terungkap pertama-tama dalam dan sebagai kemampuan untuk membuat dan memberlakukan peraturan. bdk. ini adalah sebagai dasar dari kemampuan sebuah legislatif. Peraturan tetap ada dan berlalaku meski ia ada atau tidak ada.
ii. kemampuan untuk mengatur, “to govern”, ini bukan hanya pada pemerintah saja, tetapi juga seperti orangtua di dalam keluarga. Mengatur dan menyelenggarakan terjadinya sesuatu. Sesuatu ini adalah “program tertentu” agar terwujud dan terealisasi. dan bahwa kemampuan ini adalah kemampuan milik eksekutf. Meski di Indonesia kurang bagus.
iii. kemampuan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman; “to judge and to punish”. Dan ini menjadi dasar dari yudikatif.
Dari ketiga segi power over harus ada mekanisme, yaitu harus ada mekanisme “check and balance”, yaitu saling mengontrol dan saling membatasi sehingga tidak ada satu lembaga atau sejenisnya yang mendominasi yang lainnya.
Perlu dijelaskan lebih rinci mengenai arti justice terlebih dahulu.
Arti Justice:
1. Fairness (john role), memiliki tiga arti yaitu kejujuran, keseimbangan, keadilan atau kewajaran. Rumusan negatifnya dari fairness adalah ketidakberpihakan, kata lainnya adalah netralitas atau keseimbangan. Orang atau aturan disebut fair apabila orang atau aturan itu tidak berpihak pada kubu atau kelompok tertentu melainkan kesemuanya, kesemua pihak yang terkait dan terlibat. Lawannya adalah un-fairness (keberpihakan), aturan yang berpihak. “Power over” tadi (yang terungkap di dalam tiga kemampuan eksekutif, yudikatif dan legislatif) memang bisa menjadi kekuasaan yang berpihak, kekuasaan yang unfair, yang bisa terungkap di dalam:
i. Bias sosial, yaitu kecenderungan yang tidak sadar untuk menguntungkan orang atau kelompok tertentu. cth. bias ekonomi, yang entah menguntungkan “the poor” atau “the rich”. Menguntungkan “the poor” juga sama bahayanya karena mesti dimengerti dengan baik. Istilah the poor ini harus dimengerti dengan tepat karena bisa “contra productive”.
ii. Favoritisme, kebijakan dengan sadar menganak-emaskan kelompok tertentu. lih. Bakrie dll. yang menguntungkan pihak pribumi. Dengan kata lain, kebijakan itu menjadi unfair apabila mengesahkan aturan-aturan yang diskriminatif.
Tetapi, harus disadari juga bahwa masyarakat modern mau tidak mau adalah masyarakat yang berjenjang, dimana ada perbedaan kelas, perbedaan kemampuan dan pernbedaan tanggung jawab dll. Yaitu masyarakat akan dengan sendirinya akan “meritocracy” merit=kemampuan, yaitu dengan sendirinya terbedakan dari perbedaan tugas, perbedaan kemampuan dan perbedaan imbalannya, perbedaan keistimewaan. Apakah meritocracy ini bisa dibilang dan dianggap fair?
Meritocracy ini bisa fair kalau memenuhi dua kondisi atau persyaratan:
a. Openess, setiap perbedaan status, level, sosial dll menjadi fair apabila terbuka bagi “all”, bagi semua berdasarkan satu kriteria yaitu kompetensi. Prinsip “the right man in the right place” menjadi sangat tampak di sini. Semua ini adalah tugas-tugas sosial yang harus open. Sebuah Social Office.
b. Semua tugas sosial ini hanya fair apabila hirarki sosial itu menguntungkan kelompok yang paling lemah dalam masyarakat. Menguntungkan mereka yang tidak beruntung. Meski ada sedikit bias di sini atas “the poor”, tetapi ada dorongan juga “insentif” untuk berkembang dimana orang bisa naik dan mengalami mobilitas sosial, yaitu peluang untuk menyalurkan insentif, untuk maju dan meningkat, peluang untuk memperkembangkan kompetensi.
Pada kenyataannya, kita hidup dalam mayarakat yang majemuk, yang ditandai oleh “conflict of interest”, yaitu pertentangan kepentingan-kepentingan satu dengan yang lainnya. Fairness yang ketiga ini juga berarti keterbukaan pada konsensus dan kompromi di antara berbagai kelompok yang memiliki berbagai kepentingan itu sendiri. Mayarakat itu fair bila mendorong konsensus dan kompromi. Perbedaan konsensus dan kompromi; Konsensus; berusaha menyelesaikan permasalahan melaui dialog sehingga terbentuklah kesepakatan bersama, dan konsensus ini terjadi bila ada “kesediaan” untuk melakukan kompromi yang diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk dapat menyesuaikan tuntutan yang satu dengan tuntutan yang lainnya. cth di Indonesia, konsensus kompromi tampak dalam pembuatan UUD, dimana kelompok Islam mau melepaskan klaim atas piagam Jakarta demi hidup bersama dan menjaga kesatuan.
2. Equality, yaitu “material justice” . Keadilan ini dipertentangan dengan kemauan dari banyak pihak. Arti justice sebagai material dalam kaitannya dalam equality (kesetaraan) memiliki arti:
a. equality beneath the law, yaitu kesamaan, kesetraan yang sama di depan hukum, ada kepastian hukum sehingga tidak ada yang dikecualikan dalam hukum sehingga lambang hukum itu adalah timbangan yang besar, hukum itu harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah.
b. equality of opportunity, kesamaan dalam kesempatan, peluang untuk maju. Peluang untuk mewujudkan diri, untuk mobilitas sosial, kemajuan sosial. Sehingga orang tidak dipenjarakan dan hidup pada status yang sama. Bahwa yang di bawah ada kesempatan untuk naik ke atas
c. equality in distribution, pemerataan yang sama dan setara. Arti yang terealisasi saat ini adalah bahwa distribusi tidak bisa diartikan sama rasa dan sama rata seperti demikian tetapi sesuai dengan kebutuhan. Dan arti inilah yang paling dapat tercapai dan terealisasikan. Tetapi di dalam politik, tuntutan ini berguna untuk mereduksi gap ekonomi antara manusia yang satu dengan yang lainnya, kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Perbedaan kelas yang makin jauh berarti tidak adil.
Otonom ini dipertentangkan dengan istilah kolonialisasi yang diperkenalkan oleh Habermas; dalam masyarakat modern ini terjadi kolonialisasi yaitu penjajahan satu bidang oleh bidang lainnya.
Dalam bidang politik, ada ancaman dalam bentuk politik ada komunisme, rasisme dll.
Lalu di bidang religius ada ancaman dari Teokrasi; agama yang mendominasi dan menindas ketiga bidang yang lain demi misalnya demi syariah agama tidak membebaskan sesuatu yang artistik karena semuanya diharamkan cth. tidak boleh melukis, sehingga yang berkembang hanya huruf. Seni lukis dan patung tidak berkembang.
Lalu juga di bidang ekonomi ada ancaman dari neoliberalisme dimana ekonomi menjajah dan mencaplok bidang hidup yang lain. Ancaman global yang terjadi saat ini adalah dominasi ekonomi atas ketiga bidang hidup yang lain. Dan dominasi ini terjadi melalui proses komersialisasi yang menyusup dan merembes ke bidang politik dan kultur. Sehingga ada komersialisasi politik dan komersialisasi kultur.
Komersialisasi politik terungkap di dalam bentuk money politic (politik uang). Yang merebak tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika. Dominasi dari the rich and powerfull, sehingga hanya yang orang kaya saja yang berkuasa. Bentuk dari money politic itu terumuskan dalam “ money to buy power, and power to protect money”.dimana uang menjadi sarana untuk membeli kekuasaan dan kekuasaan politik itu berguna untuk melindungi uang, sehingga ada istilah “lobby-lobby” (pendekatan) satu dengan yang lainnya.
Juga terjadi komersialisasi kultur yang disebut komersialisme. Bentuk dari komersialisasi kultur? Lih. Paus Yohanes Paulus II yang meminjam dan mengacu pada Eric Promp seorang ahli psikososial; bahwa komersialisasi kultur terjadi bila nilai hidup suatu kultur adalah “having”, yang merangsang dan memacu ketamakan, hasrat manusia untuk memiliki. Ingin memiliki terus; “having more”dan more. Dan dominasi dari having more ini dipertentangan dengan nilai lain, yaitu “being more”.
Nilai ini yang oleh Paus, disebut sebagai “being more” atau “becoming more”. Maksudnya adalah, being atau becoming more “human”, yaitu menjadi lebih manusiawi. Insan manusia yang “Humanus”, yang berperi kemanusiaan, pribadi yang manusiawi. Dengan kata lain “Humanisasi”.
Sehingga filsafat kemanusiaan dari Paus biasa disebut sebagai humanisme integral, yang berisikan dua proses humanisasi (proses pemanusiawian) berikut:
1. Memanusiawikan manusia sendiri, melalui character building, pembinaan watak, pembinaan budi pekerti, penanaman kebajikan “virtue”. dan melalui Habit, habitus. Dimana kata habit ini menjadi populer karena dipopulerkan oleh filsuf sosial Prancis Pierre Boeurdeu. Dan oleh Thomas Aquinas mengatakan nilai-nilai itu adalah dalam empat bentuk, yaitu; Arif , Adil, Justice, Keberanian “courage” yang berarti “resoluteness” kekukuhan yang menjadi terkenal karena diperkenalkan juga oleh Heidegger yang pernah menjadi Novis Jesuit, yang mengatakan bahwa orang yang mempunyai jati diri adalah orang yang memiliki resoluteness, dan bentuk lainnya adalah keugaharian; mampu mengatur dan mengendalikan kehidupannya sendiri, tidak takluk kepada hasratnya.
2. Humanisasi juga berarti memanusiawikan relasi; relasi antar manusia maupun relasi antar kelompok.
Dan dua norma bagi humanisasi relasi ini adalah:
a. Equality, bila berakar dari persamaan hak dan martabat manusia. cth. Anti perbudakan, anti diskriminasi. bdk. Kitab Suci yang mengatakan tidak ada lagi di anatara kamu budak, Yunani atau Yahudi.
b. Fraternity, Paus sangat menekankan nilai ini, yang tergencet oleh dua nilai lain (liberty dan equality), Nilai persaudaraan ini ditekankan dan diperkenalkan dengan istilah baru yaitu solidaritas. dan kreativitas mengunakan dan menciptakan istilah baru disebut neologisme dengan tujuan agar memberi aksen lebih pada kata yang dimaksudkan, bahwa kata ini memiliki nilai penting.
Bagi Paus, ada dua segi dari solidaritas ini yaitu:
i. Solidaritas dari orang miskin “Solidarity of the poor”, atau dari antara orang miskin sendiri. Dimana semiskin-miskinnya kita, tetap mempunyai tanggung jawab sosial terhadap yang lain. Orang miskin wajib saling menolong satu sama lain.
ii. “Solidarity with the poor”, solidaritas dengan orang miskin. Bahwa seseorang harus dapat menjembatani kesenjangan sosial, gap sosial. Orang yang mempunyai solidaritas adalah orang yang mampu menyeberang ke pihak yang lain. Solidaritas ini bisa juga berarti, “sharing”, “charitas”, kemampuan untuk memberi, berbagi dan membantu.
Kesimpulannya adalah bahwa ASG menekankan pentingnya otonomi dari ketiga bidang hidup, agar satu bidang tidak terkolonialisasi dari bidang hidup yang lainnya. Bidang pertama adalah bidang sosial politik.
1. Bidang Sosial politik. Fokus dari bidang ini adalah kekuasaan “power”, dan kekuasaan ini memiliki dua segi yaitu “power over” dan “power for”.
a. “power over”, kekuasaan atas, atau kemampuan untuk menguasai. Kemampuan ini terungkap di dalam tiga gejala sosial berikut yaitu kemampuan untuk
i. kemampuan untuk memerintah “to order”, memberi aturan, hukum, dan terungkap pertama-tama dalam dan sebagai kemampuan untuk membuat dan memberlakukan peraturan. bdk. ini adalah sebagai dasar dari kemampuan sebuah legislatif. Peraturan tetap ada dan berlalaku meski ia ada atau tidak ada.
ii. kemampuan untuk mengatur, “to govern”, ini bukan hanya pada pemerintah saja, tetapi juga seperti orangtua di dalam keluarga. Mengatur dan menyelenggarakan terjadinya sesuatu. Sesuatu ini adalah “program tertentu” agar terwujud dan terealisasi. dan bahwa kemampuan ini adalah kemampuan milik eksekutf. Meski di Indonesia kurang bagus.
iii. kemampuan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman; “to judge and to punish”. Dan ini menjadi dasar dari yudikatif.
Dari ketiga segi power over harus ada mekanisme, yaitu harus ada mekanisme “check and balance”, yaitu saling mengontrol dan saling membatasi sehingga tidak ada satu lembaga atau sejenisnya yang mendominasi yang lainnya.
Perlu dijelaskan lebih rinci mengenai arti justice terlebih dahulu.
Arti Justice:
1. Fairness (john role), memiliki tiga arti yaitu kejujuran, keseimbangan, keadilan atau kewajaran. Rumusan negatifnya dari fairness adalah ketidakberpihakan, kata lainnya adalah netralitas atau keseimbangan. Orang atau aturan disebut fair apabila orang atau aturan itu tidak berpihak pada kubu atau kelompok tertentu melainkan kesemuanya, kesemua pihak yang terkait dan terlibat. Lawannya adalah un-fairness (keberpihakan), aturan yang berpihak. “Power over” tadi (yang terungkap di dalam tiga kemampuan eksekutif, yudikatif dan legislatif) memang bisa menjadi kekuasaan yang berpihak, kekuasaan yang unfair, yang bisa terungkap di dalam:
i. Bias sosial, yaitu kecenderungan yang tidak sadar untuk menguntungkan orang atau kelompok tertentu. cth. bias ekonomi, yang entah menguntungkan “the poor” atau “the rich”. Menguntungkan “the poor” juga sama bahayanya karena mesti dimengerti dengan baik. Istilah the poor ini harus dimengerti dengan tepat karena bisa “contra productive”.
ii. Favoritisme, kebijakan dengan sadar menganak-emaskan kelompok tertentu. lih. Bakrie dll. yang menguntungkan pihak pribumi. Dengan kata lain, kebijakan itu menjadi unfair apabila mengesahkan aturan-aturan yang diskriminatif.
Tetapi, harus disadari juga bahwa masyarakat modern mau tidak mau adalah masyarakat yang berjenjang, dimana ada perbedaan kelas, perbedaan kemampuan dan pernbedaan tanggung jawab dll. Yaitu masyarakat akan dengan sendirinya akan “meritocracy” merit=kemampuan, yaitu dengan sendirinya terbedakan dari perbedaan tugas, perbedaan kemampuan dan perbedaan imbalannya, perbedaan keistimewaan. Apakah meritocracy ini bisa dibilang dan dianggap fair?
Meritocracy ini bisa fair kalau memenuhi dua kondisi atau persyaratan:
a. Openess, setiap perbedaan status, level, sosial dll menjadi fair apabila terbuka bagi “all”, bagi semua berdasarkan satu kriteria yaitu kompetensi. Prinsip “the right man in the right place” menjadi sangat tampak di sini. Semua ini adalah tugas-tugas sosial yang harus open. Sebuah Social Office.
b. Semua tugas sosial ini hanya fair apabila hirarki sosial itu menguntungkan kelompok yang paling lemah dalam masyarakat. Menguntungkan mereka yang tidak beruntung. Meski ada sedikit bias di sini atas “the poor”, tetapi ada dorongan juga “insentif” untuk berkembang dimana orang bisa naik dan mengalami mobilitas sosial, yaitu peluang untuk menyalurkan insentif, untuk maju dan meningkat, peluang untuk memperkembangkan kompetensi.
Pada kenyataannya, kita hidup dalam mayarakat yang majemuk, yang ditandai oleh “conflict of interest”, yaitu pertentangan kepentingan-kepentingan satu dengan yang lainnya. Fairness yang ketiga ini juga berarti keterbukaan pada konsensus dan kompromi di antara berbagai kelompok yang memiliki berbagai kepentingan itu sendiri. Mayarakat itu fair bila mendorong konsensus dan kompromi. Perbedaan konsensus dan kompromi; Konsensus; berusaha menyelesaikan permasalahan melaui dialog sehingga terbentuklah kesepakatan bersama, dan konsensus ini terjadi bila ada “kesediaan” untuk melakukan kompromi yang diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk dapat menyesuaikan tuntutan yang satu dengan tuntutan yang lainnya. cth di Indonesia, konsensus kompromi tampak dalam pembuatan UUD, dimana kelompok Islam mau melepaskan klaim atas piagam Jakarta demi hidup bersama dan menjaga kesatuan.
2. Equality, yaitu “material justice” . Keadilan ini dipertentangan dengan kemauan dari banyak pihak. Arti justice sebagai material dalam kaitannya dalam equality (kesetaraan) memiliki arti:
a. equality beneath the law, yaitu kesamaan, kesetraan yang sama di depan hukum, ada kepastian hukum sehingga tidak ada yang dikecualikan dalam hukum sehingga lambang hukum itu adalah timbangan yang besar, hukum itu harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah.
b. equality of opportunity, kesamaan dalam kesempatan, peluang untuk maju. Peluang untuk mewujudkan diri, untuk mobilitas sosial, kemajuan sosial. Sehingga orang tidak dipenjarakan dan hidup pada status yang sama. Bahwa yang di bawah ada kesempatan untuk naik ke atas
c. equality in distribution, pemerataan yang sama dan setara. Arti yang terealisasi saat ini adalah bahwa distribusi tidak bisa diartikan sama rasa dan sama rata seperti demikian tetapi sesuai dengan kebutuhan. Dan arti inilah yang paling dapat tercapai dan terealisasikan. Tetapi di dalam politik, tuntutan ini berguna untuk mereduksi gap ekonomi antara manusia yang satu dengan yang lainnya, kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Perbedaan kelas yang makin jauh berarti tidak adil.
No comments:
Post a Comment