Seorang perempuan Jawa kembali dari studi manajemen di seberang lautan. Modal budaya yang dibawanya dari seberang menjanjikan karir yang cemerlang. Namun, jam biologis terus berdetak. Orang tua pun mengajukan tuntutan: menikah! Sebuah upacara separuh sosial separuh sakral segera dilangsungkan! Upacara yang menggiringnya masuk ke dalam sebuah jerat budaya yang tidak bisa dihindarinya. Jerat dimana kekerasan berlaku simbolik hingga tidak terasa. Ia tetap bisa berkarir di bidangnya. Namun, rambu-rambu budaya mengekangnya. Suami dan domestikasi. Alih-alih berkarir cemerlang, sang perempuan digayuti beban ganda nan menyiksa. Semua karena ia adalah perempuan. Semua adalah karena ia memiliki vagina dalam tubuhnya. Tapi apakah ia dan semua tatanan harus seperti demikian?
Pembahasan kali ini, khususnya akan mencoba menggali lebih dalam akan fenomena yang hidup di dalam masyarakat mengenai perempuan yang bervagina tersebut. Vagina seakan menjadi sebuah citra yang begitu rapuh dan tak berdayanya tetapi juga tidak bisa dilepaskan dan diabaikan begitu saja. Dibandingkan dengan laki-laki yang ber-penis, perempuan dengan vaginanya seakan-akan sudah memiliki tempat tersendiri baginya di dalam tatanan masyarakat dimana ia tidak boleh diusik dan diganggu gugat oleh konsepsi luar dan bahkan oleh pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri akan citranya selama ini yang dirasakan senantiasa mengalami ketimpangan tidak hanya disekitar ranah seksualitas saja tetapi di dalam keseluruhan konstruksi sosial dimana ia hidup dan tinggal di dalamnya.
Pengantar
Dari perspektif psikologi, perilaku seseorang adalah hasil interaksi aktif antara faktor intern dan ekstern. Apa banyak aliran psikologi dimana ada teori psikologi yang lebih menekankan pada pengaruh faktor intern (seperti aliran psikoanalisa Freud, Lacan) atau yang lebih menekankan pada pengaruh faktor ekstern (seperti aliran behaviorism), tetapi ada juga yang menekankan pada pilihan seseorang dalam menentukan pengembangan potensi dirinya (seperti pada humanisme). Contohnya, ciri khas perempuan yang dikelompokkan sebagai feminitas dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang kodrati (intern), sebagai hasil belajar (ekstern), dipilihkan orang lain bagi dirinya ataupun sebagai pilihan si perempuan itu sendiri. Dengan berkembangnya pemahaman baru tentang perempuan pada dunia barat dan secara umum pada keseluruhan peradaban itu sendiri, seperti tentang ciri-ciri khas perempuan dan laki-laki, apa itu manusia perempuan dan laki-laki, di dekonstruksi dan di redefinisi secara kritis. Konsep-konsep dan perkembangan pemahaman-pemahaman baru itu benar-benar telah membuka serta menyumbangkan informasi baru yang sangat berharga, terutama dalam poses pemahaman mengenai seksualitas.
Seksualitas seakan menjadi sesuatu yang sedemikian peliknya dan tidak lagi sesederhana dalam pemahaman yang lama; tidak hanya berkenaan dengan pemahaman laki-laki dan perempuan tetapi juga mengenai identitas lain yaitu berkenaan dengan fenomena hetero dan homo seksualitas. Tidak hanya itu saja, kerumitan seakan menjadi semakin berkembang ketika semua saling mempertanyakan dirinya sendiri, identitas dirinya dan konstruksi yang telah ada di dalam masyarakat mengenai seksualitas.
Di sini, tampak jelas bahwa seksualitas bermula dari pemahaman mengenai hanya perilaku seksual, perilaku feminin dan maskulin, peran gender dan interaksi gender. Tergantung dari alirannya, maka ada teori yang menganggap seksualitas seseorang berkembang dengan dipengaruhi secara kuat oleh mitos dan stereotip yang berlaku dalam masyarakat (eksten), ada pula yang menganggap seksualitas ditentukan oleh struktur anatomi-biologi yang dimiliki seseorang (psikoanalisa). Sementara itu teori yang berkembang berdasarkan aliran psikologi humanistik menekankan bahwa perilaku seksual atau seksualitas seseorang dikembangkan sebagai hasil pilihan orang itu sendiri. Dengan demikian, ciri-ciri feminitas perempuan yaitu tampil cantik, menarik, seksi dan sejenisnya, atau ciri-ciri maskulinitas sebagai perkasa, mandiri, menguasai (perempuan), melindungi menjadi semacam stereotip pasti yang tidak boleh diganggu gugat, bahkan sampai saat ini.
Seksualitas, Konsep dan Makna
Harus disadari bahwa seksual manusia merupakan fenomena yang variatif dan kompleks, baik secara geografis, konteks sosial budaya, kegiatannya dan bahkan dipersepsikan secara berbeda anta individu atau kelompok. Artinya, seksualitas selayaknya tidak dipahami hanya sebagai aktivitas fisik yang terkait dengan aspek biologis (dorongan seksual) dan psikologis individu (pikiran serta pengalaman-pengalaman individual) saja. Karena itu, perlu pemahaman yang komprehensif atas seksualitas dan tidak hanya memfokuskan pembahasannya atau unit analisanya pada tingkat individu. Hal ini mengingat perilaku seksual merupakan fenomena sosial, karena faktor eksternal – baik sosial budaya bahkan ekonomi dan politik – berpengaruh atas perilaku seksual. Dengan demikian, seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial mengingat seksualitas adalah konsep tentang nilai, orientasi dan perilaku yang berkaitan dengan seks. Karenanya, ada kaitan antara struktur sosial dengan bagaimana dan bilamana seks dilakukan dan dengan siapa seks diperbolehkan (diterima) secara sosial, termasuk bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan didefinisikan? Implikasinya, sebagai sebuah realitas sosial yang dikonstruksi, makna seksualitas bisa direkonstruksi bahkan bisa di dekonstruksi. Artinya, bisa berubah-ubah sesuai dengan dinamika masyarakat termasuk perubahan cara pandang masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat mendefinisikan perempuan tidaklah sekadar dari fisik vaginanya saja yang memang berbeda dengan penis yang dimiliki laki-laki, tetapi mendefinisikan perempuan sebagai yang berperan pasif dalam aktivitas seksual, sedangkan laki-laki dianggap normal jika menunjukkan perilaku seksual yang agresif. Pertanyaannya; apakah dorongan seksual yang agresif pada laki-laki dianggap sebagai melekat secara biologis atau lebih karena pembenaran masyarakat saja? Pada konteks yang kedua, jika ada perempuan yang agresif secara seksual, di sebagian masyarakat ada yang menganggapnya sebagai sebuah “penyimpangan”. Anggapan-anggapan yang berkembang di masyarakat menyangkut seksualitas laki-laki dan perempuan, pada pokoknya tidak terlepas dari konsepsi budaya tentang maskulinitas dan feminitas, tentang penis dan vagina yang melekat pada dirinya masing-masing, termasuk menyangkut pilihan pasangan seksual dan bentuk relasi yang terbangun.
Bagi para feminis, pemikiran-pemikiran tersebut dengan caranya sendiri merembes ke dalam seluruh ajaran dan sistem nilai masyrakat di seluruh dunia, melahirkan feodalisme dan kolonialisme, khususnya di dalam cara berpikir. Pemikiran-pemikiran seperti itulah yang menjadi bibit awal yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan atau bahkan terhadap vagina yang dimilikinya menjadi sebagai sesuatu yang tidak aneh. Institusi pun menolerir perlakuan tersebut, kebencian dan ketimpangan terhadap perempuan yang ternyata juga semakin berkembang dan ditemukan mengemuka di dalam bahasa yang digunakan dengan ringannya, mulai dari mereka yang menguasai senjata sampai para pekerja seni dan kemudian diadaptasi menjadi sesuatu yang banal, yang biasa di dalam kehidupan sehari-hari.
Di sini, dominasi (pemikiran) laki-laki melalui wacana lebih berat karena korban, secara sadar atau tidak sadar ikut menyetujui kekerasan dan ketimpangan serta kekerasan simbolis yang menindas dirinya. Tampak juga bagaimana justru perempuan sendirilah yang menempatkan dirinya secara tidak sadar sebagai pihak yang tertindas, bahkan yang harus ditindas. Logika sederhana adalah bahwa tidak mungkin ada penindasan bila tidak ada yang mau ditindas, dan perempuan seakan senantiasa menempatkan dirinya di dalam posisi yang kedua itu. Contoh yang nyata adalah; seorang artis yang akan menikah, misalnya dengan ringan berkata,” Suami saya mengizinkan saya untuk terus menekuni karier sebagai artis” dan sebagian besar pembacanya setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menganggap artis itu hebat. Dan hal bawah sadar seperti inilah yang semakin mendukung kekerasan simbolis tersebut. Di satu sisi mau mengangkat fenomena ketimpangan dan kekerasan simbolis tetapi di sisi lain justru membiarkan diri sendiri untuk menempati tempat sebagai pihak yang tertindas.
Tidaklah heran apabila dalam ranah filsafat sendiri, perempuan berfilsafat dari posisi ketertindasan meski ia akan menjadi lebih peka terhadap realiatas yang lain dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki berfilsafat dari kedudukannya yang dominan sehingga kalau pun ada pendekatan-pendekatan yang khas perempuan, tetapi karena pengalaman-pengalaman kolektif mereka berbeda, mereka menjadi kurang peka.
Phallus dan vagina
Berkenaan dengan itu semua, perlulah kiranya juga dibahas mengenai phallus dan kaitannya dengan pemikiran tentang vagina perempuan itu sendiri. Di sini, saya akan mencoba mengambil sedikit pemikiran dari Freud, terlebih dari Lacan yang dirasa dapat mewakili pola pikir dan paradigma saat itu akan dominasi phallus yang memandang vagina perempuan.
Untuk memahami dengan lebih jelas apa artinya menjadi wanita - menurut Lacan - harus mulai dengan sesuatu yang sederhana: apa artinya menjadi pria dan apa peranan phallus. Memahami phallus merupakan sesuatu yang sentral dalam teori Lacan tentang seksualitas wanita. Menurut Lacan, ada dua jenis seksualitas yaitu berphallus dan tak berphallus. Seksualitas pria berphallus sedangkan seksualitas wanita adalah berphallus maupun tak berphallus atau “feminin”. Dengan demikian, perempuan mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai oleh laki-laki. Akan tetapi, juga ada kategori istimewa menurutnya yaitu orang-orang yang mempunyai seksualitas tak berphallus – mereka ini bisa pria, bisa wanita – yang dapat menerangkan misteri seksualitas perempuan atau feminin.
Lacan melihat bahwa penikmatan feminin adalah pkok misteri perempuan dan mistisisme. Kita dapat berteori tentang misteri dan mistisisme itu dan melihat penikmatan feminin atau idak berphallus dalam konteks ini, tetapi akan selalu mustahil mempelajari penikmatan tidak berphallus. Penikmatan tak berphallus atau feminin itu seperti sebuah kotak yang kita ketahui ada tetapi tidak dapat dibuka. Itu berarti bahwa ada suatu segi seksualitas perempuan yang tidak dapat dipahami. Otulah sebabnya Lacan berkata bahwa perempuan itu tidak ada.
Selain itu, Lacan mengatakan akan mengapa timbul ketidakcocokan antara pria dan wanita. Dia pertama-tama mengacu pda Freud dengan mengambil contoh dalam kehidupan seoorang bayi.
Bagi bayi yang baru saja lahir persoalan utamanya mulai dengan persoalan kebutuhan-kebutuhannya, pengelolaan rasa sakit dan senangnya. Ibu adalah pengelola perasaan si bayi, yang mengendalikan rasa sakit dan sukanya seperti seorang penyiksa yang baik hati; ibu semakin mengurangi kesenangan si bayi dan menyebabkan si bayi menderita, selagi ia memberinya makan dengan kata-kata. Bayi yang tak berdaya itu segera belajar bahwa agar kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi, ia harus belajar apa yang dikehendaki ibunya. Bagaimana si bayi mengetahui apa yang dikehendaki ibu? Dengan belajar berbicara, yakni dengan menerima penanda-penanda ibunya, bahasa ibu ke dalam dirinya.
Hal itu mulai dengan usaha ibu memuaskan kebutuhan-kebutuhan si bayi segera setelah kebutuhan itu muncul, tetapi semakin bayi bertambah umur, semakin ibu mengubah tawarannya. Bayi semakin banyak mendapat kata-kata dan semakin sedikit mendapat pemenuhan kebutuhannya, sampai saat sebagai orang dewasa kita hidup dalam tingkat yang luar biasa di sunia bahasa yang simbolis.
Bagi Lacan, bayi merupakan phallus bagi ibu, cara memperoleh kenikmatan dan anak mengetahui hal ini. Para ibu biasanya sampai tingkat tertentu sadar bahwa mereka memperoleh kenikmatan seksual dari bayi mereka. Beberapa ibu bahkan mengalami orgasme ketika menyusui bayi mereka. Dengan demikian, ibu memperoleh kenikmatan seksual dan bayi memperoleh rasa sakit. Tentu saja ini bukan seluruh cerita, tetapi merupakan bagian yang penting dari masalah gender dan identitas seksual, tetapi yang banyak diabaikan.
Seluruh hubungan anak dengan ibunya mau tak mau didasarkan pada perihal tidak memperoleh apa yang dikehendakinya, pada terbentuknya ketakcocokan atau ketiadaan hubungan. Seksualitas orang dewasa didasarkan atas ketiadaan hubungan antara ibu dan anak. Hubungan ibu-anak merupakan prototipe untuk semua hubungan seksual orang dewasa.
Di sini, Lacan mau mengatakan bahwa hubungan atau relasi tersebut mempunyai sebuah pemaknaan yang sangat dalam akan seksualitas, phallus dan vagina sendiri. Bayi yang semakin dewasa akan mearasakan kenikmatannya berkurang karena keintiman dengan ibu semakin berganti dan terpisahkan dengan bahasa yang semakin ia kuasai. Kenikmatan itu dimetaforkan dengan phallus sebagai kekurangan yang dialami. Sebagai gantinya ia masuk ke alam imajiner dimana ia menjadi asik dengan dirinya.
Terlebih pada bayi perempuan dimana ketika ia menjadi anak perempuan, ia mengalami kehilangan yang begitu besar karena keberbedaanya dan posisinya yang lain dari lelaki. Istilah penis envy muncul di sini. Anak perempuan ketika sadar akan dirinya dan melihat anak lelaki merasakan ada yang kurang di dalam dirinya sehingga kekurangan inilah yang senantiasa menghantuinya sebagai kehilangan terus-menerus. Ia mengalami dirinya sebagai perempuan berkat pemisahan dirinya yang “dipisahkan” dari logika identitas diri lelaki yang ber-penis. Bahkan secara lebih tajam dapat dikatakan bahwa ketika ia melihat bahwa kemaluannya berbeda dengan milik lelaki, bahwa ia memiliki vagina yang kenyataannya tidak ber-phallus seperti laki-laki, maka sepanjang hidupnya ia akan terus menerus mencari dan menutupi kekurangannya itu di dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini akan tampak jelas di dalam fenomena “pasif” perempuan yang tadi dijabarkan pada awal mula tulisan. Perempuan menjadi begitu mindernya kepada laki-laki karena ada satu hal yang ia sendiri tidak mengetahui mengapa ada yang kurang dalam dirinya. Berawal dari sinilah maka vagina memiliki beragam citra dan pemaknaan bahkan bagi perempuan itu sendiri di dalam kerangka dan bingkai global atas pemikiran Lacan tersebut.
Perempuan dan Budaya
Tidak dapat dipungkiri, perjuangan demi perjuangan ternyata merupakan satu-satunya upaya yang harus dilakukan oleh perempuan. Terlebih mengingat begitu berakarnya ketimpangan terhadapnya di dalam budaya dimana mereka hidup dan dibesarkan. Sebagaimana Lacan mengatakan bahwa sejak kecil seorang anak bila ingin berfungsi dengan baik di dalam masyarakat harus mengointernalisasikan “aturan simbolis” nya melalui bahasa dan semakin seorang anak menerima aturan bahasa yang dipakai dalam masyarakatnya semakin banyak aturan yang masuk di kepalanya (di bawah sadar). Dengan kata lain, “aturan simbolik” mengatur masyarakatnya melalui aturan-aturan individu selama individu-individu itu memakai bahasa masyarakatnya, serta pula menginternalisasikan peranan jender dan peranan kelasnya.
Bagi Lacan yang meminjam pemahaman Freud, elemen bawah sadar memiliki peranan penting dalam menerima segala “aturan simbolis” masyarakat yang diinternalisasikan lewat bahasa. Bila seorang individu mau masuk dalam aturan tersebut, ia harus menerima apa yang disebut “aturan bapak”. Aturan bapak ini yang diadopsi dalam simbolisme kehidupan bermula dari proses pertumbuhan anak. Menurut Lacan, pendiskriminasian terhadap perempuan terjadi karena ada keterasingan yang dialami perempuan ketika ia tumbuh dewasa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dari sinilah, budaya memainkan peranan yang tidak sederhana dalam proses perkembangan pemahaman bagi seorag perempuan yang bervagina dan tidak per-penis. Terlebih adalah bahwa ideologi phallogosentris tersebut mengeras dalam budaya, sosial dan politik. Konspirasi yang tidak menguntungkan bagi perempuan ini dikemas oleh rasionalitas sistem budaya patriarki yang hingga saat ini masih terus berjalan dengan rapihnya.
Di lain sisi, dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas menjadi semacam energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan. Dan sekali lagi, perempuan dengan vaginanya menjadi sebuah momok yang dapat dengan mudah diputar-putar dan dipermainkan senantiasa. Seksualitas ditabukan sebagai bahan pembicaraan publik bukan semata-mata karena ia membicarakan hal-hal yang sangat pribadi, tetapi terutama karena pembicaraan mengenai seksualitas dapat menyadarkan orang tentang tatanan sosial seksualitas yang diskriminatif, eksploitatif dan oppressis dalam kebudayaan.
Celakanya juga, seksualitas hanya dipahami sebagai isu biologis dan hubungan seks semata; hubungan seks yang dimaksudkan pun direduksi lagi menjadi hanya pada hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, antara penis dan vagina. Padahal, seksualitas jauh lebih luas dari sekadar persoalan biologis, apalagi hanya urusan hubungan badan. Seksualitas mencangkup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan bahkan watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi seksual. Akibat tabu itulah, pemahaman seksualitas mengalami reduksi bahkan distorsi. Bisa dipahami jika wacana seksualitas selama ini tidak pararel dengan perkembangan seksualitas sendiri yang terus berkembang.
Salah satu hal yang juga kerapkali disadari dalam kebudayaan itu sendiri dalam kaitannya dengan perempuan adalah bahwa kesalahan utama yang dilakukan oleh mereka sendiri adalah justru turut mereproduksi struktur patriakal dengan menekankan keteimpangan gender dengan mengedepankan wacana pemberdayaan perempuan, ketegangan perempuan dan perempuan sebagai makhluk lemah.
Citra Vagina
Topik vagina seakan menjadi topik yang jarang dibahas apalagi didiskusikan secara ilmiah. Hal ini tidak mengherankan karena di dalam masyarakat penggunaan kata vagina masih tabu sebagaimana dijelaskan di atas. Vagina kelihatannya menjadi bagian tubuh yang dilupakan begitu saja. Padahal, setiap perempuan pastilah memiliki vagina dan pasti setiap hari senantiasa dibawaa ke mana pun juga. Demikian juga dengan pria, dalam suatu masa pasti akan berurusan dengan vagina. Namun demikian, nasib citra vagina, menjadi bagian tubuh yang masih kurang populer.
Dalam sebuah karya sastra The Vagina Monologues karya Eve Ensler, terdapat wawancara yang begitu menarik yaitu ketika meminta perempuan untuk menyebutkan bagaimana tanggapan dan pengalaman mereka tentang vaginanya. Jawabannya pun beragam-ragam dan tergantung dari pengalaman serta reflektivitas masing-masing perempuan yang menjawabnya. Kesadaran akan pentingnya vagina juga ditanggapi secara berbede-beda. Kebanyakan dari perempuan muda menyadari pentingnya vagina dari peristiwa “hari berdarah”. Ada juga seorang perempuan yang mengatakan lain tentang pentingnya vaginannya tersebut.
Hal menarik lainnya adalah akan pengulasan mengenai pengandaian-pengandaian seputar vagina yang ditujukan kepada perempuan-perempuan yaitu pengandaian apabila sebuah vagina dapat berbicara, apa menurut para perempuan yang akan dikatakan oleh sebuah vagina? “If your vagina could talk, what would it say, in two words?
Sebuah pertanyaan pendek tapi sebenarnya begitu mendalam terlebih ketika ditanyakan kepada mereka (perempuan) yang empunya vagina.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin akan membuat telinga menjadi risih. Namun, harus disadari bahwa pertanyaan-pertanyaan seputar itu perlu ditanyakan. Dari sudut pandang feminisme, pembahasan tubuh perempuan merupakan topik yang sangat lekat dengan perempuan. Di dalam ranah psikoanalisis, secara panjang lebar menguraikan pentingnya perempuan mengungkapkan persoalan-persoalan seksualitas karena kesetaraan terhadap perempuan dianggap hanya dapat dilakukan lewat pembebasan represi seksual. Oleh sebab itu, pembahasan-pembahasan tubuh dan seksualitas perempuan dianggap penting sekali karena seringkali perempuan justru diasingkan dari tubuh dan seksualitasnya.
Namun, di dalam alam pemahaman saat ini, kita juga melihat bahwa eksplorasi wacana-wacana perempuan termasuk mengenai tubuh dan seksualitas harus juga dibahas dari bahasa yang digunakan. Sebagaimana pemahaman bahwa masyarakat hanya dilengkapi oleh bahsa laki-laki karena masyarakat yang kita hidupi ini menggunakan aturan-aturan simbolis phallusentris. Sehingga, bila dalam buku Eve Ensler tadi ditanyakan persepsi perempuan tentang vaginanya dan dicatat dengan cermat pengguanan bahasanya, maka kita paham betul bahwa usaha itu ingin membongkar seluruh seksualitas perempuan dari sudut perempuan dan menciptakan bahasa-bahasa feminin agar dapat merekonstruksi bagaimana perempuan melihat tubuhnya dan lebih jauh dunianya.
Modernitas dan seksualitas perempuan
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam memehami seksualitas pada jaman sekarang adalah dengan pendekatan pemahaman bahwa seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang adasejak lahir. Seksualitas dipengaruhi oleh suatu proses pembentukkan sosial budaya yang melampaui aspek-aspek pembentukkan lain dari perilaku manusia. Pendekatan ini beranggapan bahwa seksualitas adalah hasil bentukkan (konstruksi) sosial budaya. Definisi normal dan abnormal merupakan pendefinisian sosial, dan demikian juga dengan penis dan vagina yang semuanya itu merupakan mekanisme kontrol semata saja yang kemudian justru menjadi semacam citra inheren di dalam diri setiap manusia.
Di dalam setiap budaya, seksualitas manusia diarahkan dan bahkan diberi struktur yang sangat kaku dan bahkan begitu diskriminatifnya. Kultus keperawanan, konsep aurat, perkawinan, paham-paham kepantasan pergaulan laki-laki dan perempuan, larangan terhadap seks di luar nikah, icest dan homoseksualitas semuanya merupakan regulasi seksualitas.
Di dalam tatanan masyarakat kita yang patriarkis ini, konstruksi sosial budaya atas seksualitas digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan tak lebih sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki di satu sisi dan alat untuk melanjutkan keturunan di sisi lain. Perempuan seolah-olah tidaklah memiliki kedaulatan bahkan terhadap seksualitasnya sendiri.
Ironisnya, perkembangan modernitas ternyata tidak banyak membantu mengembalikan otonomi seksualitas perempuan. Jika sebelumnya pengaturan dan pengekangan seksualitas perempuan dilakukan oleh kekuaan simbolik seperti norma-norma sosial, budaya dan agama serta kekuatan represif (negara), maka dalam negara modern, perempuan dengan vaginanya “ditundukkan” oleh modernitas itu sendiri melalui kapitalisme sebagai kaki tangannya. Contoh nyatanya adalah akan bagaimana citra seksualitas perempuan di media massa, bagaimana bukan saja dijadikan alat oleh industri media dan pemilik modal untuk memasarkan beragam produknya, tetapi bahkan tidak jarang justru dilecehkan dalam proses-proses itu sendiri. Dalam sisi ini perempuan justru yang mengambil keputusan untuk terjun dan masuk ke dalamnya.
Akhir dari papaer ini saya justru melihat bahwa sebenarnya tidaklah ada ketimpangan serta diskriminasi terhadap perempuan, entah itu dari sudut bawah sadar maupun konstruksi budaya dimana kita hidup. Berkenaan dengan hal terakhir ini tampak bahwa sebenarnya semua hanyalah sebuah lingkaran statis dimana di dalamnya hanya perempuan yang terus berkutat sedemikian rupa tetapi terus menerus mengulanginya dan tidak akan pernah bisa lepas dari itu semua karena ia adalah pelaku dan sekaligus merasakan sebagai korban juga.
Penjelasan akhir ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan tubuh dan media yang tadi sudah diutarakan dengan seingkat.
Tubuh tidak dapat dipungkiri dapat dilihat sebagai alat pertukaran di dalam masyarakat modern (konsumsi), sebab dalam realitas masyarakat konsumsi, tubuh merupakan sesuatu yang patut dimanjakan. Tubuh dierotiskan untuk menunjukkan daya tariknya sehingga menjadi kendaraan iklan. Bermula dari sinilah akan lebih terbuka pemahaman perempuan di dalam tataran kemodernan yang sesungguhnya.
Menjadi pertanyaan, mengapa misalnya seorang perempuan begitu resahnya dengan bentuk tubuhnya? Tentu dilatarbelakangi oleh tuntutan budaya yang sebagian besar dibentuk oleh media, bahwa kecantikkan seorang perempuan hanya ditemukan pada tubuh yang berkulit putih, halus, langsing dan beberapa bagian tubuh sengaja ditonjolkan. Sampai bagian ini, saya masih belum melihat keterlibatan laki-laki yang pada mula paper ini tampak begitu dominannya menguasai alam pikir dan ranah tatanan sosial masyarakat. Semua masih dalam lingkup.. hanya perempuan.
Di sini, sikap pemujaan terhadap tubuh sebagaimana ditunjukkan tadi sebenarnya adalah pemujaan terhadap seksualitas itu sendiri, sebab seksualitas ditemukan dalam tubuh yang dierotiskan dimana energi libido itu dirangsang karena memang memiliki potensi untuk terangsang. Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa perempuan dalam budaya media ternyata memegang otoritas penting. Diklaim bahwa terjadi upaya feminisasi media melalui objektifikasi tubuh perempuan. Mengapa mesti perempuan? Sebab perempuan adalah kekuatan produksi sekaligus konsumen aktif yang selalu resah oleh kekurangan identitas diri atau citra diri. Sederhana dapat dilihat di dalam film arisan yang beberapa waktu lampau kita tonton.
Seksualitas, keresahan demi keresahan dalam diri perempuan oleh perasaan kekurangan identitas diri itu menjadi sebuah kunci dari masyarakat konsumtif. Produk yang dicitrakan melalui media dominaan melalui kendaraan seksualitas sehingga lambat laun kemungkinan masyarakat akan terjangkit budaya seks. Di mana-mana seks menjadi tema utama mulai dari iklan produk sabun mandi sampai produk otomotif.
Tubuh merupakan sebuah media tempat segala hal aksesoris melekat. Tubuh dibentuk, dimanipulasi oleh tuntutan budaya media. Media menjadi cermin identitas perempuan, tempat dimana wanita merasakan dirinya sebagai subjek, bagian dari kultur global. Sikap pemujaan terhadap tubuh bisa dilacak sampai kisah Narcissus dalam dongeng Yunani kuno yang begitu cinta pada gambaran dirinya sendiri.
Demikian hemat saya, seperti Narcissus begitulah perempuan terlibat di dalam perilaku neurotik dimana kecintaan berlebihan terhadap tubuhnya begitu hebatnya. Memaksa kita untuk bertanya, mengapa seksualitas perempuan ditonjolkan di dalam budaya media?
Mengacu pada awal paper ini dalam menjawab pertanyaan itu....
Apakah ini disebabkan oleh relasi yang timpang (ketidakadilan gender) antara laki-laki danperempuan? Saya bahkan berfikir bahwa ini disebabkan oleh ide cinta diri (narcisme) di mana wanita memuja tubuhnya sendiri dan ingin dipuja dalam tampilan media dan keseluruhan hidup. Jangan-jangan sebenarnya semua pembahasan tadi serta keadaan budaya saat ini yang tampak begitu menghimpit dan mendiskriminasikan perempuan justru merupakan kehendak bebeas perempuan itu sendiri dalam upaya mencintai tubuhnya dan bersedia mengambil resiko apapun agar tubuhnya itu tetap indah dan terus juga dapat dipuji tidak hanya oleh dirinya tetapi juga oleh orang lain di luar dirinya (laki-laki).
Dalam hal ini, saya justru melihat suatu kebalikan dari itu semua bahwa justru laki-laki lah yang sebenarnya harus meredefinisi dirinya sendiri karena tampak jelas dengan begitu sebenarnya perempuanlah yang membentuk pola pikir laki-laki yang sedemikian adanya hingga saat ini. Dan itu berawal dari kehendak perempuan saja yang begitu ingin menampilkan dirinya. Konstruksi sosial budaya justru semakin dipertanyakan sebagaimana jangan-jangan budaya patriakal yang hidup pada jaman modern ini hanyalah sekadar bentukkan dan efek samping saja dari kerangka besar berpikir perempuan akan dirinya tersebut.
Pada akhirnya, saya memilih metode yang dipaparkan oleh wittgenstein akan permaian bahasa. Bahwa antara laki-laki dan perempuan itu hanya memiliki permainan bahasa dan rasionalitas yang berbeda saja. Tidak bisa di subordinasikan antara satu dengan yang lainnya dan akan terus berkembang dalam proses hidup manusia itu sendiri.
Pembahasan kali ini, khususnya akan mencoba menggali lebih dalam akan fenomena yang hidup di dalam masyarakat mengenai perempuan yang bervagina tersebut. Vagina seakan menjadi sebuah citra yang begitu rapuh dan tak berdayanya tetapi juga tidak bisa dilepaskan dan diabaikan begitu saja. Dibandingkan dengan laki-laki yang ber-penis, perempuan dengan vaginanya seakan-akan sudah memiliki tempat tersendiri baginya di dalam tatanan masyarakat dimana ia tidak boleh diusik dan diganggu gugat oleh konsepsi luar dan bahkan oleh pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri akan citranya selama ini yang dirasakan senantiasa mengalami ketimpangan tidak hanya disekitar ranah seksualitas saja tetapi di dalam keseluruhan konstruksi sosial dimana ia hidup dan tinggal di dalamnya.
Pengantar
Dari perspektif psikologi, perilaku seseorang adalah hasil interaksi aktif antara faktor intern dan ekstern. Apa banyak aliran psikologi dimana ada teori psikologi yang lebih menekankan pada pengaruh faktor intern (seperti aliran psikoanalisa Freud, Lacan) atau yang lebih menekankan pada pengaruh faktor ekstern (seperti aliran behaviorism), tetapi ada juga yang menekankan pada pilihan seseorang dalam menentukan pengembangan potensi dirinya (seperti pada humanisme). Contohnya, ciri khas perempuan yang dikelompokkan sebagai feminitas dapat dijelaskan sebagai sesuatu yang kodrati (intern), sebagai hasil belajar (ekstern), dipilihkan orang lain bagi dirinya ataupun sebagai pilihan si perempuan itu sendiri. Dengan berkembangnya pemahaman baru tentang perempuan pada dunia barat dan secara umum pada keseluruhan peradaban itu sendiri, seperti tentang ciri-ciri khas perempuan dan laki-laki, apa itu manusia perempuan dan laki-laki, di dekonstruksi dan di redefinisi secara kritis. Konsep-konsep dan perkembangan pemahaman-pemahaman baru itu benar-benar telah membuka serta menyumbangkan informasi baru yang sangat berharga, terutama dalam poses pemahaman mengenai seksualitas.
Seksualitas seakan menjadi sesuatu yang sedemikian peliknya dan tidak lagi sesederhana dalam pemahaman yang lama; tidak hanya berkenaan dengan pemahaman laki-laki dan perempuan tetapi juga mengenai identitas lain yaitu berkenaan dengan fenomena hetero dan homo seksualitas. Tidak hanya itu saja, kerumitan seakan menjadi semakin berkembang ketika semua saling mempertanyakan dirinya sendiri, identitas dirinya dan konstruksi yang telah ada di dalam masyarakat mengenai seksualitas.
Di sini, tampak jelas bahwa seksualitas bermula dari pemahaman mengenai hanya perilaku seksual, perilaku feminin dan maskulin, peran gender dan interaksi gender. Tergantung dari alirannya, maka ada teori yang menganggap seksualitas seseorang berkembang dengan dipengaruhi secara kuat oleh mitos dan stereotip yang berlaku dalam masyarakat (eksten), ada pula yang menganggap seksualitas ditentukan oleh struktur anatomi-biologi yang dimiliki seseorang (psikoanalisa). Sementara itu teori yang berkembang berdasarkan aliran psikologi humanistik menekankan bahwa perilaku seksual atau seksualitas seseorang dikembangkan sebagai hasil pilihan orang itu sendiri. Dengan demikian, ciri-ciri feminitas perempuan yaitu tampil cantik, menarik, seksi dan sejenisnya, atau ciri-ciri maskulinitas sebagai perkasa, mandiri, menguasai (perempuan), melindungi menjadi semacam stereotip pasti yang tidak boleh diganggu gugat, bahkan sampai saat ini.
Seksualitas, Konsep dan Makna
Harus disadari bahwa seksual manusia merupakan fenomena yang variatif dan kompleks, baik secara geografis, konteks sosial budaya, kegiatannya dan bahkan dipersepsikan secara berbeda anta individu atau kelompok. Artinya, seksualitas selayaknya tidak dipahami hanya sebagai aktivitas fisik yang terkait dengan aspek biologis (dorongan seksual) dan psikologis individu (pikiran serta pengalaman-pengalaman individual) saja. Karena itu, perlu pemahaman yang komprehensif atas seksualitas dan tidak hanya memfokuskan pembahasannya atau unit analisanya pada tingkat individu. Hal ini mengingat perilaku seksual merupakan fenomena sosial, karena faktor eksternal – baik sosial budaya bahkan ekonomi dan politik – berpengaruh atas perilaku seksual. Dengan demikian, seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial mengingat seksualitas adalah konsep tentang nilai, orientasi dan perilaku yang berkaitan dengan seks. Karenanya, ada kaitan antara struktur sosial dengan bagaimana dan bilamana seks dilakukan dan dengan siapa seks diperbolehkan (diterima) secara sosial, termasuk bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan didefinisikan? Implikasinya, sebagai sebuah realitas sosial yang dikonstruksi, makna seksualitas bisa direkonstruksi bahkan bisa di dekonstruksi. Artinya, bisa berubah-ubah sesuai dengan dinamika masyarakat termasuk perubahan cara pandang masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat mendefinisikan perempuan tidaklah sekadar dari fisik vaginanya saja yang memang berbeda dengan penis yang dimiliki laki-laki, tetapi mendefinisikan perempuan sebagai yang berperan pasif dalam aktivitas seksual, sedangkan laki-laki dianggap normal jika menunjukkan perilaku seksual yang agresif. Pertanyaannya; apakah dorongan seksual yang agresif pada laki-laki dianggap sebagai melekat secara biologis atau lebih karena pembenaran masyarakat saja? Pada konteks yang kedua, jika ada perempuan yang agresif secara seksual, di sebagian masyarakat ada yang menganggapnya sebagai sebuah “penyimpangan”. Anggapan-anggapan yang berkembang di masyarakat menyangkut seksualitas laki-laki dan perempuan, pada pokoknya tidak terlepas dari konsepsi budaya tentang maskulinitas dan feminitas, tentang penis dan vagina yang melekat pada dirinya masing-masing, termasuk menyangkut pilihan pasangan seksual dan bentuk relasi yang terbangun.
Bagi para feminis, pemikiran-pemikiran tersebut dengan caranya sendiri merembes ke dalam seluruh ajaran dan sistem nilai masyrakat di seluruh dunia, melahirkan feodalisme dan kolonialisme, khususnya di dalam cara berpikir. Pemikiran-pemikiran seperti itulah yang menjadi bibit awal yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan atau bahkan terhadap vagina yang dimilikinya menjadi sebagai sesuatu yang tidak aneh. Institusi pun menolerir perlakuan tersebut, kebencian dan ketimpangan terhadap perempuan yang ternyata juga semakin berkembang dan ditemukan mengemuka di dalam bahasa yang digunakan dengan ringannya, mulai dari mereka yang menguasai senjata sampai para pekerja seni dan kemudian diadaptasi menjadi sesuatu yang banal, yang biasa di dalam kehidupan sehari-hari.
Di sini, dominasi (pemikiran) laki-laki melalui wacana lebih berat karena korban, secara sadar atau tidak sadar ikut menyetujui kekerasan dan ketimpangan serta kekerasan simbolis yang menindas dirinya. Tampak juga bagaimana justru perempuan sendirilah yang menempatkan dirinya secara tidak sadar sebagai pihak yang tertindas, bahkan yang harus ditindas. Logika sederhana adalah bahwa tidak mungkin ada penindasan bila tidak ada yang mau ditindas, dan perempuan seakan senantiasa menempatkan dirinya di dalam posisi yang kedua itu. Contoh yang nyata adalah; seorang artis yang akan menikah, misalnya dengan ringan berkata,” Suami saya mengizinkan saya untuk terus menekuni karier sebagai artis” dan sebagian besar pembacanya setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menganggap artis itu hebat. Dan hal bawah sadar seperti inilah yang semakin mendukung kekerasan simbolis tersebut. Di satu sisi mau mengangkat fenomena ketimpangan dan kekerasan simbolis tetapi di sisi lain justru membiarkan diri sendiri untuk menempati tempat sebagai pihak yang tertindas.
Tidaklah heran apabila dalam ranah filsafat sendiri, perempuan berfilsafat dari posisi ketertindasan meski ia akan menjadi lebih peka terhadap realiatas yang lain dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki berfilsafat dari kedudukannya yang dominan sehingga kalau pun ada pendekatan-pendekatan yang khas perempuan, tetapi karena pengalaman-pengalaman kolektif mereka berbeda, mereka menjadi kurang peka.
Phallus dan vagina
Berkenaan dengan itu semua, perlulah kiranya juga dibahas mengenai phallus dan kaitannya dengan pemikiran tentang vagina perempuan itu sendiri. Di sini, saya akan mencoba mengambil sedikit pemikiran dari Freud, terlebih dari Lacan yang dirasa dapat mewakili pola pikir dan paradigma saat itu akan dominasi phallus yang memandang vagina perempuan.
Untuk memahami dengan lebih jelas apa artinya menjadi wanita - menurut Lacan - harus mulai dengan sesuatu yang sederhana: apa artinya menjadi pria dan apa peranan phallus. Memahami phallus merupakan sesuatu yang sentral dalam teori Lacan tentang seksualitas wanita. Menurut Lacan, ada dua jenis seksualitas yaitu berphallus dan tak berphallus. Seksualitas pria berphallus sedangkan seksualitas wanita adalah berphallus maupun tak berphallus atau “feminin”. Dengan demikian, perempuan mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai oleh laki-laki. Akan tetapi, juga ada kategori istimewa menurutnya yaitu orang-orang yang mempunyai seksualitas tak berphallus – mereka ini bisa pria, bisa wanita – yang dapat menerangkan misteri seksualitas perempuan atau feminin.
Lacan melihat bahwa penikmatan feminin adalah pkok misteri perempuan dan mistisisme. Kita dapat berteori tentang misteri dan mistisisme itu dan melihat penikmatan feminin atau idak berphallus dalam konteks ini, tetapi akan selalu mustahil mempelajari penikmatan tidak berphallus. Penikmatan tak berphallus atau feminin itu seperti sebuah kotak yang kita ketahui ada tetapi tidak dapat dibuka. Itu berarti bahwa ada suatu segi seksualitas perempuan yang tidak dapat dipahami. Otulah sebabnya Lacan berkata bahwa perempuan itu tidak ada.
Selain itu, Lacan mengatakan akan mengapa timbul ketidakcocokan antara pria dan wanita. Dia pertama-tama mengacu pda Freud dengan mengambil contoh dalam kehidupan seoorang bayi.
Bagi bayi yang baru saja lahir persoalan utamanya mulai dengan persoalan kebutuhan-kebutuhannya, pengelolaan rasa sakit dan senangnya. Ibu adalah pengelola perasaan si bayi, yang mengendalikan rasa sakit dan sukanya seperti seorang penyiksa yang baik hati; ibu semakin mengurangi kesenangan si bayi dan menyebabkan si bayi menderita, selagi ia memberinya makan dengan kata-kata. Bayi yang tak berdaya itu segera belajar bahwa agar kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi, ia harus belajar apa yang dikehendaki ibunya. Bagaimana si bayi mengetahui apa yang dikehendaki ibu? Dengan belajar berbicara, yakni dengan menerima penanda-penanda ibunya, bahasa ibu ke dalam dirinya.
Hal itu mulai dengan usaha ibu memuaskan kebutuhan-kebutuhan si bayi segera setelah kebutuhan itu muncul, tetapi semakin bayi bertambah umur, semakin ibu mengubah tawarannya. Bayi semakin banyak mendapat kata-kata dan semakin sedikit mendapat pemenuhan kebutuhannya, sampai saat sebagai orang dewasa kita hidup dalam tingkat yang luar biasa di sunia bahasa yang simbolis.
Bagi Lacan, bayi merupakan phallus bagi ibu, cara memperoleh kenikmatan dan anak mengetahui hal ini. Para ibu biasanya sampai tingkat tertentu sadar bahwa mereka memperoleh kenikmatan seksual dari bayi mereka. Beberapa ibu bahkan mengalami orgasme ketika menyusui bayi mereka. Dengan demikian, ibu memperoleh kenikmatan seksual dan bayi memperoleh rasa sakit. Tentu saja ini bukan seluruh cerita, tetapi merupakan bagian yang penting dari masalah gender dan identitas seksual, tetapi yang banyak diabaikan.
Seluruh hubungan anak dengan ibunya mau tak mau didasarkan pada perihal tidak memperoleh apa yang dikehendakinya, pada terbentuknya ketakcocokan atau ketiadaan hubungan. Seksualitas orang dewasa didasarkan atas ketiadaan hubungan antara ibu dan anak. Hubungan ibu-anak merupakan prototipe untuk semua hubungan seksual orang dewasa.
Di sini, Lacan mau mengatakan bahwa hubungan atau relasi tersebut mempunyai sebuah pemaknaan yang sangat dalam akan seksualitas, phallus dan vagina sendiri. Bayi yang semakin dewasa akan mearasakan kenikmatannya berkurang karena keintiman dengan ibu semakin berganti dan terpisahkan dengan bahasa yang semakin ia kuasai. Kenikmatan itu dimetaforkan dengan phallus sebagai kekurangan yang dialami. Sebagai gantinya ia masuk ke alam imajiner dimana ia menjadi asik dengan dirinya.
Terlebih pada bayi perempuan dimana ketika ia menjadi anak perempuan, ia mengalami kehilangan yang begitu besar karena keberbedaanya dan posisinya yang lain dari lelaki. Istilah penis envy muncul di sini. Anak perempuan ketika sadar akan dirinya dan melihat anak lelaki merasakan ada yang kurang di dalam dirinya sehingga kekurangan inilah yang senantiasa menghantuinya sebagai kehilangan terus-menerus. Ia mengalami dirinya sebagai perempuan berkat pemisahan dirinya yang “dipisahkan” dari logika identitas diri lelaki yang ber-penis. Bahkan secara lebih tajam dapat dikatakan bahwa ketika ia melihat bahwa kemaluannya berbeda dengan milik lelaki, bahwa ia memiliki vagina yang kenyataannya tidak ber-phallus seperti laki-laki, maka sepanjang hidupnya ia akan terus menerus mencari dan menutupi kekurangannya itu di dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini akan tampak jelas di dalam fenomena “pasif” perempuan yang tadi dijabarkan pada awal mula tulisan. Perempuan menjadi begitu mindernya kepada laki-laki karena ada satu hal yang ia sendiri tidak mengetahui mengapa ada yang kurang dalam dirinya. Berawal dari sinilah maka vagina memiliki beragam citra dan pemaknaan bahkan bagi perempuan itu sendiri di dalam kerangka dan bingkai global atas pemikiran Lacan tersebut.
Perempuan dan Budaya
Tidak dapat dipungkiri, perjuangan demi perjuangan ternyata merupakan satu-satunya upaya yang harus dilakukan oleh perempuan. Terlebih mengingat begitu berakarnya ketimpangan terhadapnya di dalam budaya dimana mereka hidup dan dibesarkan. Sebagaimana Lacan mengatakan bahwa sejak kecil seorang anak bila ingin berfungsi dengan baik di dalam masyarakat harus mengointernalisasikan “aturan simbolis” nya melalui bahasa dan semakin seorang anak menerima aturan bahasa yang dipakai dalam masyarakatnya semakin banyak aturan yang masuk di kepalanya (di bawah sadar). Dengan kata lain, “aturan simbolik” mengatur masyarakatnya melalui aturan-aturan individu selama individu-individu itu memakai bahasa masyarakatnya, serta pula menginternalisasikan peranan jender dan peranan kelasnya.
Bagi Lacan yang meminjam pemahaman Freud, elemen bawah sadar memiliki peranan penting dalam menerima segala “aturan simbolis” masyarakat yang diinternalisasikan lewat bahasa. Bila seorang individu mau masuk dalam aturan tersebut, ia harus menerima apa yang disebut “aturan bapak”. Aturan bapak ini yang diadopsi dalam simbolisme kehidupan bermula dari proses pertumbuhan anak. Menurut Lacan, pendiskriminasian terhadap perempuan terjadi karena ada keterasingan yang dialami perempuan ketika ia tumbuh dewasa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dari sinilah, budaya memainkan peranan yang tidak sederhana dalam proses perkembangan pemahaman bagi seorag perempuan yang bervagina dan tidak per-penis. Terlebih adalah bahwa ideologi phallogosentris tersebut mengeras dalam budaya, sosial dan politik. Konspirasi yang tidak menguntungkan bagi perempuan ini dikemas oleh rasionalitas sistem budaya patriarki yang hingga saat ini masih terus berjalan dengan rapihnya.
Di lain sisi, dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas menjadi semacam energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan. Dan sekali lagi, perempuan dengan vaginanya menjadi sebuah momok yang dapat dengan mudah diputar-putar dan dipermainkan senantiasa. Seksualitas ditabukan sebagai bahan pembicaraan publik bukan semata-mata karena ia membicarakan hal-hal yang sangat pribadi, tetapi terutama karena pembicaraan mengenai seksualitas dapat menyadarkan orang tentang tatanan sosial seksualitas yang diskriminatif, eksploitatif dan oppressis dalam kebudayaan.
Celakanya juga, seksualitas hanya dipahami sebagai isu biologis dan hubungan seks semata; hubungan seks yang dimaksudkan pun direduksi lagi menjadi hanya pada hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, antara penis dan vagina. Padahal, seksualitas jauh lebih luas dari sekadar persoalan biologis, apalagi hanya urusan hubungan badan. Seksualitas mencangkup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan bahkan watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi seksual. Akibat tabu itulah, pemahaman seksualitas mengalami reduksi bahkan distorsi. Bisa dipahami jika wacana seksualitas selama ini tidak pararel dengan perkembangan seksualitas sendiri yang terus berkembang.
Salah satu hal yang juga kerapkali disadari dalam kebudayaan itu sendiri dalam kaitannya dengan perempuan adalah bahwa kesalahan utama yang dilakukan oleh mereka sendiri adalah justru turut mereproduksi struktur patriakal dengan menekankan keteimpangan gender dengan mengedepankan wacana pemberdayaan perempuan, ketegangan perempuan dan perempuan sebagai makhluk lemah.
Citra Vagina
Topik vagina seakan menjadi topik yang jarang dibahas apalagi didiskusikan secara ilmiah. Hal ini tidak mengherankan karena di dalam masyarakat penggunaan kata vagina masih tabu sebagaimana dijelaskan di atas. Vagina kelihatannya menjadi bagian tubuh yang dilupakan begitu saja. Padahal, setiap perempuan pastilah memiliki vagina dan pasti setiap hari senantiasa dibawaa ke mana pun juga. Demikian juga dengan pria, dalam suatu masa pasti akan berurusan dengan vagina. Namun demikian, nasib citra vagina, menjadi bagian tubuh yang masih kurang populer.
Dalam sebuah karya sastra The Vagina Monologues karya Eve Ensler, terdapat wawancara yang begitu menarik yaitu ketika meminta perempuan untuk menyebutkan bagaimana tanggapan dan pengalaman mereka tentang vaginanya. Jawabannya pun beragam-ragam dan tergantung dari pengalaman serta reflektivitas masing-masing perempuan yang menjawabnya. Kesadaran akan pentingnya vagina juga ditanggapi secara berbede-beda. Kebanyakan dari perempuan muda menyadari pentingnya vagina dari peristiwa “hari berdarah”. Ada juga seorang perempuan yang mengatakan lain tentang pentingnya vaginannya tersebut.
Hal menarik lainnya adalah akan pengulasan mengenai pengandaian-pengandaian seputar vagina yang ditujukan kepada perempuan-perempuan yaitu pengandaian apabila sebuah vagina dapat berbicara, apa menurut para perempuan yang akan dikatakan oleh sebuah vagina? “If your vagina could talk, what would it say, in two words?
Sebuah pertanyaan pendek tapi sebenarnya begitu mendalam terlebih ketika ditanyakan kepada mereka (perempuan) yang empunya vagina.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mungkin akan membuat telinga menjadi risih. Namun, harus disadari bahwa pertanyaan-pertanyaan seputar itu perlu ditanyakan. Dari sudut pandang feminisme, pembahasan tubuh perempuan merupakan topik yang sangat lekat dengan perempuan. Di dalam ranah psikoanalisis, secara panjang lebar menguraikan pentingnya perempuan mengungkapkan persoalan-persoalan seksualitas karena kesetaraan terhadap perempuan dianggap hanya dapat dilakukan lewat pembebasan represi seksual. Oleh sebab itu, pembahasan-pembahasan tubuh dan seksualitas perempuan dianggap penting sekali karena seringkali perempuan justru diasingkan dari tubuh dan seksualitasnya.
Namun, di dalam alam pemahaman saat ini, kita juga melihat bahwa eksplorasi wacana-wacana perempuan termasuk mengenai tubuh dan seksualitas harus juga dibahas dari bahasa yang digunakan. Sebagaimana pemahaman bahwa masyarakat hanya dilengkapi oleh bahsa laki-laki karena masyarakat yang kita hidupi ini menggunakan aturan-aturan simbolis phallusentris. Sehingga, bila dalam buku Eve Ensler tadi ditanyakan persepsi perempuan tentang vaginanya dan dicatat dengan cermat pengguanan bahasanya, maka kita paham betul bahwa usaha itu ingin membongkar seluruh seksualitas perempuan dari sudut perempuan dan menciptakan bahasa-bahasa feminin agar dapat merekonstruksi bagaimana perempuan melihat tubuhnya dan lebih jauh dunianya.
Modernitas dan seksualitas perempuan
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam memehami seksualitas pada jaman sekarang adalah dengan pendekatan pemahaman bahwa seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang adasejak lahir. Seksualitas dipengaruhi oleh suatu proses pembentukkan sosial budaya yang melampaui aspek-aspek pembentukkan lain dari perilaku manusia. Pendekatan ini beranggapan bahwa seksualitas adalah hasil bentukkan (konstruksi) sosial budaya. Definisi normal dan abnormal merupakan pendefinisian sosial, dan demikian juga dengan penis dan vagina yang semuanya itu merupakan mekanisme kontrol semata saja yang kemudian justru menjadi semacam citra inheren di dalam diri setiap manusia.
Di dalam setiap budaya, seksualitas manusia diarahkan dan bahkan diberi struktur yang sangat kaku dan bahkan begitu diskriminatifnya. Kultus keperawanan, konsep aurat, perkawinan, paham-paham kepantasan pergaulan laki-laki dan perempuan, larangan terhadap seks di luar nikah, icest dan homoseksualitas semuanya merupakan regulasi seksualitas.
Di dalam tatanan masyarakat kita yang patriarkis ini, konstruksi sosial budaya atas seksualitas digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan tak lebih sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki di satu sisi dan alat untuk melanjutkan keturunan di sisi lain. Perempuan seolah-olah tidaklah memiliki kedaulatan bahkan terhadap seksualitasnya sendiri.
Ironisnya, perkembangan modernitas ternyata tidak banyak membantu mengembalikan otonomi seksualitas perempuan. Jika sebelumnya pengaturan dan pengekangan seksualitas perempuan dilakukan oleh kekuaan simbolik seperti norma-norma sosial, budaya dan agama serta kekuatan represif (negara), maka dalam negara modern, perempuan dengan vaginanya “ditundukkan” oleh modernitas itu sendiri melalui kapitalisme sebagai kaki tangannya. Contoh nyatanya adalah akan bagaimana citra seksualitas perempuan di media massa, bagaimana bukan saja dijadikan alat oleh industri media dan pemilik modal untuk memasarkan beragam produknya, tetapi bahkan tidak jarang justru dilecehkan dalam proses-proses itu sendiri. Dalam sisi ini perempuan justru yang mengambil keputusan untuk terjun dan masuk ke dalamnya.
Akhir dari papaer ini saya justru melihat bahwa sebenarnya tidaklah ada ketimpangan serta diskriminasi terhadap perempuan, entah itu dari sudut bawah sadar maupun konstruksi budaya dimana kita hidup. Berkenaan dengan hal terakhir ini tampak bahwa sebenarnya semua hanyalah sebuah lingkaran statis dimana di dalamnya hanya perempuan yang terus berkutat sedemikian rupa tetapi terus menerus mengulanginya dan tidak akan pernah bisa lepas dari itu semua karena ia adalah pelaku dan sekaligus merasakan sebagai korban juga.
Penjelasan akhir ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan tubuh dan media yang tadi sudah diutarakan dengan seingkat.
Tubuh tidak dapat dipungkiri dapat dilihat sebagai alat pertukaran di dalam masyarakat modern (konsumsi), sebab dalam realitas masyarakat konsumsi, tubuh merupakan sesuatu yang patut dimanjakan. Tubuh dierotiskan untuk menunjukkan daya tariknya sehingga menjadi kendaraan iklan. Bermula dari sinilah akan lebih terbuka pemahaman perempuan di dalam tataran kemodernan yang sesungguhnya.
Menjadi pertanyaan, mengapa misalnya seorang perempuan begitu resahnya dengan bentuk tubuhnya? Tentu dilatarbelakangi oleh tuntutan budaya yang sebagian besar dibentuk oleh media, bahwa kecantikkan seorang perempuan hanya ditemukan pada tubuh yang berkulit putih, halus, langsing dan beberapa bagian tubuh sengaja ditonjolkan. Sampai bagian ini, saya masih belum melihat keterlibatan laki-laki yang pada mula paper ini tampak begitu dominannya menguasai alam pikir dan ranah tatanan sosial masyarakat. Semua masih dalam lingkup.. hanya perempuan.
Di sini, sikap pemujaan terhadap tubuh sebagaimana ditunjukkan tadi sebenarnya adalah pemujaan terhadap seksualitas itu sendiri, sebab seksualitas ditemukan dalam tubuh yang dierotiskan dimana energi libido itu dirangsang karena memang memiliki potensi untuk terangsang. Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa perempuan dalam budaya media ternyata memegang otoritas penting. Diklaim bahwa terjadi upaya feminisasi media melalui objektifikasi tubuh perempuan. Mengapa mesti perempuan? Sebab perempuan adalah kekuatan produksi sekaligus konsumen aktif yang selalu resah oleh kekurangan identitas diri atau citra diri. Sederhana dapat dilihat di dalam film arisan yang beberapa waktu lampau kita tonton.
Seksualitas, keresahan demi keresahan dalam diri perempuan oleh perasaan kekurangan identitas diri itu menjadi sebuah kunci dari masyarakat konsumtif. Produk yang dicitrakan melalui media dominaan melalui kendaraan seksualitas sehingga lambat laun kemungkinan masyarakat akan terjangkit budaya seks. Di mana-mana seks menjadi tema utama mulai dari iklan produk sabun mandi sampai produk otomotif.
Tubuh merupakan sebuah media tempat segala hal aksesoris melekat. Tubuh dibentuk, dimanipulasi oleh tuntutan budaya media. Media menjadi cermin identitas perempuan, tempat dimana wanita merasakan dirinya sebagai subjek, bagian dari kultur global. Sikap pemujaan terhadap tubuh bisa dilacak sampai kisah Narcissus dalam dongeng Yunani kuno yang begitu cinta pada gambaran dirinya sendiri.
Demikian hemat saya, seperti Narcissus begitulah perempuan terlibat di dalam perilaku neurotik dimana kecintaan berlebihan terhadap tubuhnya begitu hebatnya. Memaksa kita untuk bertanya, mengapa seksualitas perempuan ditonjolkan di dalam budaya media?
Mengacu pada awal paper ini dalam menjawab pertanyaan itu....
Apakah ini disebabkan oleh relasi yang timpang (ketidakadilan gender) antara laki-laki danperempuan? Saya bahkan berfikir bahwa ini disebabkan oleh ide cinta diri (narcisme) di mana wanita memuja tubuhnya sendiri dan ingin dipuja dalam tampilan media dan keseluruhan hidup. Jangan-jangan sebenarnya semua pembahasan tadi serta keadaan budaya saat ini yang tampak begitu menghimpit dan mendiskriminasikan perempuan justru merupakan kehendak bebeas perempuan itu sendiri dalam upaya mencintai tubuhnya dan bersedia mengambil resiko apapun agar tubuhnya itu tetap indah dan terus juga dapat dipuji tidak hanya oleh dirinya tetapi juga oleh orang lain di luar dirinya (laki-laki).
Dalam hal ini, saya justru melihat suatu kebalikan dari itu semua bahwa justru laki-laki lah yang sebenarnya harus meredefinisi dirinya sendiri karena tampak jelas dengan begitu sebenarnya perempuanlah yang membentuk pola pikir laki-laki yang sedemikian adanya hingga saat ini. Dan itu berawal dari kehendak perempuan saja yang begitu ingin menampilkan dirinya. Konstruksi sosial budaya justru semakin dipertanyakan sebagaimana jangan-jangan budaya patriakal yang hidup pada jaman modern ini hanyalah sekadar bentukkan dan efek samping saja dari kerangka besar berpikir perempuan akan dirinya tersebut.
Pada akhirnya, saya memilih metode yang dipaparkan oleh wittgenstein akan permaian bahasa. Bahwa antara laki-laki dan perempuan itu hanya memiliki permainan bahasa dan rasionalitas yang berbeda saja. Tidak bisa di subordinasikan antara satu dengan yang lainnya dan akan terus berkembang dalam proses hidup manusia itu sendiri.
No comments:
Post a Comment