Denotasi dan Konotasi
Sebagai terminologi, konsep konotasi (dari bahasa Latin con –“bersama” dan notare “merancang”) dan denotatif menjadi awal didalam proses analisa dari pemisahan antara terminologi yang abstrak dan konkret. Di sini, hanya terminologi abstraklah yang diinterpretasi memiliki makna absolut, menandakan substansi atau kualitas tertentu (seperti “keputihan”, “kemanusiaan”, “kebutaan”). Sedangkan terminologi konkret (seperti “putih”, “manusia” dan “buta”) di sisi lain dapat dikatakan sebagai konotatif.
Mengacu pada Barthes, dia menyebut tatanan Saussure dalam relasi antara penanda dan petanda (signifier dan signified) sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum bahwa makna jelaslah adalah sebuah tanda. Bagi dia, denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota kebudayaan. Maka “buaya” akan berdenotasi konsep tentang suatu binatang ternak yang panjang dan warnanya gelap dengan moncong panjang, bersisik dan ekor yang panjang. Pada tingkat yang kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas; keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi-ideologi sosial tertentu. Makna menjadi permasalahan asosiasi tanda-tanda dengan kode-kode makna kultural lainnya. Dengan demikian, “buaya” bisa saja berkonotasi dengan seorang lelaki atau seorang bapak, tergantung pada subkode-subkode yang sedang bekerja saat itu.
Contoh lain dapat juga dilihat demikian, sebuah foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang diantara bangunan. Namun, bisa saja membuat foto jalan yang sama dengan cara yang secara signifikan berbeda. Bisa menggunakan film berwarna, memilih saat mentari belum tinggi, menggunakan soft focus dan membuat jalanan tampak ceria, hangat, komunitas yang manusiawi untuk anak-anak bermain di sana. Bisa juga menggunakan film hitam putih, hard focus, tidak ramah lingkungan dan lain-lain. Kedua foto tersebut bisa diambil pada waktu yang bersamaan dengan kamera yang lensanya berbeda beberapa sentimeter. Makna denotatif akan selalu sama. Yaitu jalan. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya.
Sedangkan konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju tataran subjektif atau setidaknya intersubjektif: terjadi tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Foto khayalan kita tentang jalan yang sama menghasilkan perbedaan di antara keduanya terkait dengan bentuk, tampilan foto atau dalam penandanya. Barthes menegaskan bahwa setidaknya pada foto, perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap kamera. Sedangkan konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini: ini mencangkup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.
Secara garis besar, cara tanda menyampaikan sebuah makna ini dapat dimasukkan dalam dua bagian yaitu denotasi dan konotasi. Teminologi denotasi dan konotasi ini mengacu pada tingkatan makna pertama dan kedua dalam tanda. Teminologi denotasi mengacu pada makna harafiah dari tanda; untuk apa “secara objektif” hadir dan secara mudah dipahami atau diidentifikasi. Sedangkan terminologi konotasi digunakan mengacu pada makna dimana berada melebihi denotasi tetapi tergantung dengannya
Mengacu pada Eco; tanda denotasi adalah satu dari posisi didalam sistem semantik dimana kode tersebut membuat tanda kendaraan yang dipakai berkoresponden tanpa didahului oleh mediasi. Sedangkan konotasi adalah satu dari posisi dalam sistem semantik dimana tanda kendaraan itu melalui mediasi tertentu dan inilah yang membuat adanya korelasi antara fungsi tanda dan unit baru semantik. Tanda anjing, berdenotasi sebagai seeokor hewan dengan ciri fisik tertentu tetapi juga berkonotasi dengan sesuatu yang lainnya. Sebagai contoh, sebagaimana sebelumnya sudah dikatakan dalam sebuah iklan tissue Paseo yang menggambarkan seeokor bebek. Bebek ditandakan dengan fotografi, “bebek” sebagai hewan (denotasi) berubah dan bergerak menjadi sebuah tanda akan “kelembutan” (konotasi).
Proses ini bekerja dengan baik dalam iklan secara keseluruhan dimana iklan secara jelas adalah tanda yang menandakan sebuah produk (objek), tetapi juga selanjutnya bahwa produk tadi justru menjadi penanda, yang menandakan kualitas tertentu, gambar tertentu dll.
Bahkan, sebagaimana disampaikan Fiske (1982), makna konotasi ini memiliki implikasi lebih lanjut yang masuk juga dalam suara dan bunyi. Nada suara kita, cara berbicara mengkonotasikan perasaan atau nilai tentang apa yang dikatakan: dalam musik merupakan instruksi komposer tentang cara memainkan not, mengenai apa nilai konotatif atau emosional yang disampaikan. Pilihan kata kerap merupakan pilihan konotasi “pertentangan” atau “pemogokan”, “penangkapan” atau “pengamanan”. Ini merupakan contoh-contoh yang menunjukkan konotasi emosional atau subyektif, meski kita beranggapan bahwa orang lain dalam kebudayaan kita pun menggunakan sebagian besar dari kata-kata itu karena kata-kata tadi intersubjektif.
Dalam ranah iklan, hal terakhir ini lebih banyak ditunjukkan dalam iklan di televisi maupun radio, yang tidak bisa dipungkiri memainkan pendengaran dan visual bergerak yang cukup mengagumkan. Seorang Omas dalam sebuah iklan sabun cuci dengan kata-kata khas dan dialek betawi yang bernyanyi sambil berteriak “cuci bersih cuma gopek” memberikan sebuah contoh nyata nilai konotatif yang ditunjukkan dalam suara dan bunyi yang dihadirkan oleh iklan.
Tingkatan Makna
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber penting pemaknaan dalam iklan adalah makna dari produk yang diiklankan itu sendiri . Dalam konsep “pemaknaan” inilah tingkatan yang berbeda dapat dipisahkan dalam struktur ini. Pemahaman model ini adalah adanya relasi yang dibuat di antara atribut produk, konsekuensi konsumen dan nilai-nilai personal yang ada di dalamnya. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat-sifat atau fitur tersebut memimpin sebuah konsekuensi tertentu dan konsekuensi tersebut menentukan nilai-nilai selanjutnya.
Reynolds dan Gutman dalam The Creation of Meaning in Advertising membedakan produksi atribut dengan hal yang kongkret, contohnya adalah pada atribut fisik sebuah iklan ditampilkan dalam bentuk ukuran produk, warna produk, komponen, berat produk dan di lain sisi, atribut abstrak akan tampak seperti “rasa segar” dari soft drink, atau “warna trendy” dari model jeans terbaru.
Selanjutnya, konsekuensi ataupun manfaat bagi konsumer pun dibedakan dengan konsekuensi dari pembelian dan penggunaan produk tersebut ataupun konsumsi. Di sini juga dibedakan antara konsekuensi fungsional dan psiko-sosial. Konsekuensi fungsional dari produk deterjen sebagai contoh dengan slogan “membuat segalanya bersih”, sedangkan produk yang lainnya mengatakan “hemat uang” atau “meningkatkatkan efisiensi”. Sedangkan contoh dari konsekuensi psiko-sosial dari penggunaan produk adalah “mendapatkan lebih banyak teman” atau “menjadi lebih baik bagi orang lain”. Hal ini tampak dalam slogan, “Connecting People” (Nokia) atau bahkan pada iklan-iklan situs pertemanan di internet seperti Friendster, You To Be yang menekankan “pertemanan dengan lebih banyak orang”.
Pada model itu, pembedaan dibuat diantara nilai-nilai instrumental dan nilai terminal. Nilai-nilai instrumental adalah model pengarah yang ditunjukkan dimana terlihat sebagai makna untuk meraih nilai-nilai akhir. Di sini, dibedakan antara nilai personal dan sosial.
Contoh dari nilai instrumen personal yang digunakan dalam iklan adalah pada ungkapan “ambisi menjadi...”(iklan Star Mild), “kontrol diri”, “intelektual”, “imajinasi”, sedangkan contoh dari nilai instrumen sosial adalah pada ungkapan “menjadi orang baik” (iklan Simpati), “memaafkan”, “murah hati” atau “patuh” bagi orang lain. Contoh dari nilai-nilai akhir personal adalah “hidup yang lebih hidup” (L.A.Light), “being happy” (Garda Otto), “inner beauty”, sedangkan contoh dari nilai akhir sosial adalah tentang “kebebasan”, “kedamaian” dan “teman sejati”.
Ide yang ada di sini adalah bahwa konsep-konsep sesungguhnya juga mengandung konsep-konsep lain, memproduksi sebuah jaringan implikasi refleksi ingatan yang berhubungan terus menerus. Sebagai contohnya, ketika seseorang berpikir tentang sebuah produk tertentu seperti sebuah produk pengering rambut (hairdryer), segala fitur dari produk itu akan hadir juga di dalam pikiran, cara bagaimana produk itu membuat rambut kita menjadi lebih indah akan ada dalam benak kita, dan selanjutnya akan terbawa juga pada benak kita akan sebuah ide itu bahwa kita akan mengagumi produk tersebut di depan teman-teman kita.
Ide ini dapat dibandingkan dengan ide “chains of interpretans” atau rantai interpretasi dari Peirce yang memasukkan pemahaman akan proses penandaan yang berkelanjutan dan terus menerus . Sebagaimana definisi tanda dari Peirce sebagai segala sesuatu yang dikaitkan pada sesuatu yang lain (interpretant) untuk menunjuk pada sebuah objek yang kemudian menunjuk pada hal yang lain dengan cara yang sama juga . Di sini, interpretant menjadi tanda lain yang menunjuk pada objek yang sama. Dan sejak pemaknaan dapat di re-interpretasi, setiap intepretant sebuah tanda menimbulkan interpretant yang lain juga.
Di dalam iklan, penekanan dimasukkan di sini, tidak hanya di dalam fitur yang inheren dan di dalam kualitas produknya, tetapi juga dengan cara dimana produk itu bermakna sesuatu bagi konsumer. Contohnya adalah konsekuensi atau kegunaan dari produk tersebut, atau bahkan nilai-nilai dan gaya hidup yang dihasilkan dari penggunaan produk tersebut. Anggap saja bahwa hairdryer atau pengering rambut yang diiklankan pada contoh tadi tidak mengandung sesuatu yang polutif bagi lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan hal ini dapat diterjemahkan dalam terminologi akan produk yang “peduli lingkungan” atau “ramah lingkungan”, di sini, pemakai produk pun akan menjadi pribadi yang “peduli lingkungan” dalam benaknya. Dengan kata lain, dia menjadi seseorang yang memiliki sebuah nilai baik tertentu dalam dirinya. Sebagaimana dipahami oleh Kehret-Ward dan Yalch bahwa salah satu cara agar setiap individu berpikir positif mengenai sebuah produk adalah dengan mengarahkan mereka untuk berpikir mengenai aspek positif dalam dirinya sendiri yang muncul kemudian dengan membeli produk tertentu. Contoh iklan mobil salah satunya yang paling tampak, mobil hybrid dengan bahan bakar gas dan listrik ditampilkan sangat ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi udara (Honda Hybrid) dan menjadi mobil masa depan.
Dari titik ini, dua pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana suatu produk dapat memiliki makna tertentu yang pasti, apakah dengan penjadi penanda? Dan yang kedua adalah bagaimana pemaknaan sebuah produk itu dialihkan dan ditransfer kepada pengguna produk itu sendiri? Hal ini akan dicoba dijawab berkenaan dengan peralihan makna tersebut.
Peralihan Makna
Dalam sebuah iklan sepatu Reebok, iklan yang tampil sangat sederhana: seekor anjing berwarna abu-abu ditampilkan di sini, memakai sepatu olahraga Reebok dan di bagian kanan bawah iklan ditampilkan merek Reebok tersebut. Mengacu pada sebuah pertanyaan sebelumnya: Apa makna dari iklan ini? Kemungkinan jawaban adalah : Iklan ini mengatakan kepada kita bahwa sepatu Reebok adalah sepatu olahraga yang “sangat cepat” untuk berlari. Dengan memakai sepatu ini, kita dapat berlari dengan cepat dan menjadi pribadi yang “sporty”.
Ketika kita mencoba untuk menganalisa iklan ini dalam terminologi semiotika, kita mendapatkan sebuah tanda: iklan tersebut, termasuk didalamnya adalah anjing, memakai sepatu Reebok, menunjuk pada dua objek yang berbeda: sepatu Reebok dan anjing secara aktual (denotasi) dan selanjutnya kita juga mendapatkan sebuah interpretant (konotasi) yaitu sepatu yang “cepat”, menjadi bisa berlari dengan cepat, menjadi “sporty”. Meskipun hal ini tidak secara gamblang dikatakan dalam iklan tersebut, melalui iklan, kesimpulan yang tercipta adalah bahwa sepatu Reebok adalah yang sangat cepat, sebuah sepatu olahraga. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan ini? Pemikiran akan proses yang berbelit inilah yang akan menjadi bahan diskusi selanjutnya.
Melalui semiotika, menjadi bahan pembicaraan bahwa makna dari sebuah iklan tidaklah terapung pada permuakaan yang kemudian diinternalisasi oleh penerima atau pelihat iklan itu begitu saja, tetapi makna itu “built up” diluar cara dari tanda-tanda yang berbeda itu diatur dan berelasi satu dengan yang lain, keduanya itu, baik didalam iklan ataupun melalui referensi eksternal iklan, sepenuhnya ditujukan bagi sistem kepercayaan yang lebih besar dari konsumen .
Dalam proses peralihan makna, tiga tahap akan dipisahkan di sini. Bentuk dan tahapan yang pertama mengandung proses peralihan makna bagi objek tertentu, orang atau sesuatu di dalam sebuah kebudayaan. Tahap yang kedua mengandung proses peralihan makna bagi produk yang diiklankan di dalam iklan tersebut. Dan yang terakhir, mengandung proses peralihan makna bagi konsumer yang menggunakan atau membeli barang yang diiklankan oleh iklan tersebut. Model McCracken itu memfokuskan diri pada peralihan makna para selebritis atau model yang digunakan di dalam iklan. Perhatiannya terutama pada model yang tampil itu dan pada peralihan makna dalam figur iklan secara umum.
Pembedaan besar dengan model dari McCracken ini adalah bahwa di dalam model yang tampil itu, makna dapat dialihkan dengan berbagai cara oleh produk yang diiklankan. Pada awalnya, yang terjadi adalah bahwa makna langsung (direct meaning) dialihkan dari objek atau seseorang (contohnya adalah selebriti, orang terkenal) kepada produk yang diiklankan. Dan lagi, penggunaan figur retoris dengan relasinya antar objek, orang atau situasi bagi produk yang diiklankan menciptakan sebuah “makna baru” di dalam iklan, dan dengan demikian maka dialihkan (di-transfer) pada produk yang diiklankan tersebut.
Peralihan makna di dalam kebudayaan
Dalam contoh sebelumnya tentang Reebok, pesan iklan tidak disampaikan secara langsung dan gamblang, tetapi menggunakan metafor untuk menyampaikan pesannya. Dengan kata lain, kualitas dan keguanaan dari produk yang diiklankan tidaklah disebutkan di dalam iklan, di sini produk (sepatu Reebok) dihubungkan dengan objek (hewan) dimana makna tertentu di-transfer pada produk yang diiklankan tersebut.
Di dalam proses peralihan untuk menggantikan tempat, objek yang pertama haruslah sudah memiliki sebuah makna untuk dialihkan, bila kita bandingkan dengan gambar di atas, kita sudah mengerti makna “perban” dan “kotak obat” dalam tataran umum, dan makna biji catur berwarna hitam dalam permainan catur. Bagi Williamson, objek-objek dalam iklan merupakan penanda-penanda makna yang kita urai kodenya dalam konteks sistem-sistem kultural yang kita kenal yang mengasosiasikan produk dalam iklan dengan “barang-barang” kultural lainnya. Di sini, tanda memiliki kemampuan untuk dialihkan atau digantikan oleh sesuatu hanya apabila dia telah memiliki makna dalam tempat pertama bagi pembaca atau penerimanya. Dia mengatakan bahwa dalam sistem makna ini, kita melukiskan material-material tertentu untuk melengkapi peralihan sistem ini sebagai sebuah “sistem referensi”.
Material-material ini kemudian membentuk sebuah tubuh sosial dan pengetahuan kultural baik dari pengiklan dan penikmat keduanya melukiskan insprasinya masing-masing. Jadi, apabila objek, orang ataupun situasi tertentu digunakan dalam iklan dalam kerangka pealihan makna tertentu (sebagai contohnya adalah fitur tertentu, kegunaan, kualitas, nilai-nilai tertentu, rasa ataupun emosi tertentu) bagi produk yang diiklankan, mereka sungguh membutuhkan makna tertentu dalam kultur atau kebudayaan tertentu.
Peralihan makna bagi produk iklan
Berkenaan dengan fase kedua, di dalam iklan, makna dari satu tanda itu di-transfer bagi yang lainnya. Dalam iklan tissue tadi, bebek yang dilukiskan itu ada untuk memberikan penekanan akan kelembutan tissue toilet tersebut. Selanjutnya, Michael Jordan mengalihkan makna “sporty” bagi sepatu yang memiliki nama yang sama dengannya (Nike Air Jordan) , Kobe Briant (Adidas Kobe) dan bahkan dalam iklan parfume Paris Hilton yang memakai nama seorang artis untuk nama produknya
Dalam contoh iklan Reebok yang dipaparkan sebelumnya, makna dari “anjing abu-abu”, secara tesrpisah yang menandakan seeokor anjing yang dapat berlari cepat, dialihkan untuk suatu produk tertentu. Tidak ada argumen dari hubungan antara anjing dan sepatu olahraga sehingga peralihan makna tergantung dari suatu kemiripan di dalam struktur iklan itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui dalam bab sebelumnya, dengan penggunaan figur retoris, produk dapat dihubungkan dengan identitas, kemiripan, kesamaan ataupun perbedaan, atau kesalahan analogi dengan objek, orang atau situasi tertentu yang memiliki fitur, kualitas, kegunaan tertentu yang jelas bagi pembaca atau penerima iklan tersebut.
Bagaimanapun juga, peralihan makna di dalam iklan ini tidaklah lengkap karena penerima tanda harus membuat sebuah “benang merah” sendiri di dalam dirinya. Hal inilah yang menjadikan relasi antar tanda sungguh bersifat arbiter atau sewenang-wenang saja. Tidak ada dimanapun juga yang mengatakan bahwa “sepatu Reebok” itu seperti “anjing yang berlari cepat”. Makna ini tidaklah akan ada hingga penerima atau pembaca melengkapi peralihan maknanya.
McCracken menjelaskan bahwa iklan haruslah dirancang untuk dapat menawarkan sebuah kesamaan yang mendasar antara selebriti (orang, objek atau situasi tertentu) dengan sebuah produk yang diiklankan sehingga konsumer dapat dimungkinkan untuk mengambil tahap terakhir dalam proses transfer makna tersebut, yaitu konsumsi. Oleh sebab itu, makna tidaklah “diterima” dari sebuah iklan, tetapi “diciptakan” oleh penerima atau pembaca iklan. Winfried Nöth menyebut proses ini sebagai transfer fitur indeksial.
Peralihan makna bagi konsumer
Pada fase ini, peralihan makna dalam kebudayaan dan produk yang diiklankan menjadi lengkap dengan menerima peralihan nilai-nilai tersebut bagi konsumer dengan tindakannya membeli produk atau merek yang diiklankan. Fase sebelumnya mau mengatakan bahwa bisa saja suatu produk yang diiklankan hanya berupa kacang atau sebuah mobil, namun dibuat agar mengonotasikan “alami” atau “keluarga”. Dengan demikian iklan menciptakan seduania perbedaan antar-berbagai produk dan gaya hidup yang kita beli. Di sini, fase konsumsi yang dimaksudkan adalah akan tindakan konsumer menggunakan atau membeli produk atau merek yang diiklankan dalam tataran bahwa konsumer yang membeli barang atau memakainya sekaligus berarti juga membeli citranya , dan dengan begitu turut menyumbangkan sesuatu dalam konstruksi identitas kita lewat konsumsi.
Konteks dan Dasar Pemahaman
Hal penting yang perlu dipahami pada awalnya di sini adalah bahwa cara dimana tanda ditandakan ternyata tergantung dari konteks dan lingkungan dimana ia berada. Sebagai contoh, gambar kepala dan tulang yang disilangkan memiliki makna “bahaya”, tetapi, memungkinkan juga berarti “racun” bila tanda itu ditampilkan pada sebuah botol, atau bisa juga sebagai “bajak laut” bila tanda ini ditampilkan pada sebuah bendera hitam, atau juga “tegangan tinggi” pada sebuah tiang listrik. Dalam iklan, pembedaan dapat terjadi antara tiga tipe konteks dari tanda-tanda. Pertama, kita memiliki konteks sebuah tanda di dalam struktur sintaksis dari sebuah iklan, yaitu relasi antara satu tanda dengan tanda yang lainnya sebagaimana sudah didiskusikan dalam bab sebelumnya.
Kedua adalah konteks dimana iklan secara keseluruhan, sebagai contohnya adalah media dimana iklan itu diletakkan seperti contohnya iklan di televisi, artikel di surat kabar papan iklan di jalanan atau iklan-iklan di majalah dll. Di sini, media memiliki peran yang tidak sederhana, tidak sekadar menjadi tempat dimana iklan itu berada, tetapi sungguh juga bisa menentukan kerangka makna tersendiri yang cukup menentukan.
Dan yang terakhir adalah konteks konsumer sendiri. Sebagaimana makna dikonstruksikan di dalam konteks dan lingkungan yang partikular, menjadi penting untuk menaruh perhatian pada konteks dimana konsumer membentuk dan mendapatkan kembali makna sebuah produk yang diiklankan itu.
Sebagai terminologi, konsep konotasi (dari bahasa Latin con –“bersama” dan notare “merancang”) dan denotatif menjadi awal didalam proses analisa dari pemisahan antara terminologi yang abstrak dan konkret. Di sini, hanya terminologi abstraklah yang diinterpretasi memiliki makna absolut, menandakan substansi atau kualitas tertentu (seperti “keputihan”, “kemanusiaan”, “kebutaan”). Sedangkan terminologi konkret (seperti “putih”, “manusia” dan “buta”) di sisi lain dapat dikatakan sebagai konotatif.
Mengacu pada Barthes, dia menyebut tatanan Saussure dalam relasi antara penanda dan petanda (signifier dan signified) sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum bahwa makna jelaslah adalah sebuah tanda. Bagi dia, denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota kebudayaan. Maka “buaya” akan berdenotasi konsep tentang suatu binatang ternak yang panjang dan warnanya gelap dengan moncong panjang, bersisik dan ekor yang panjang. Pada tingkat yang kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas; keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi-ideologi sosial tertentu. Makna menjadi permasalahan asosiasi tanda-tanda dengan kode-kode makna kultural lainnya. Dengan demikian, “buaya” bisa saja berkonotasi dengan seorang lelaki atau seorang bapak, tergantung pada subkode-subkode yang sedang bekerja saat itu.
Contoh lain dapat juga dilihat demikian, sebuah foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang diantara bangunan. Namun, bisa saja membuat foto jalan yang sama dengan cara yang secara signifikan berbeda. Bisa menggunakan film berwarna, memilih saat mentari belum tinggi, menggunakan soft focus dan membuat jalanan tampak ceria, hangat, komunitas yang manusiawi untuk anak-anak bermain di sana. Bisa juga menggunakan film hitam putih, hard focus, tidak ramah lingkungan dan lain-lain. Kedua foto tersebut bisa diambil pada waktu yang bersamaan dengan kamera yang lensanya berbeda beberapa sentimeter. Makna denotatif akan selalu sama. Yaitu jalan. Perbedaannya akan ada dalam konotasinya.
Sedangkan konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya serta nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju tataran subjektif atau setidaknya intersubjektif: terjadi tatkala interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Foto khayalan kita tentang jalan yang sama menghasilkan perbedaan di antara keduanya terkait dengan bentuk, tampilan foto atau dalam penandanya. Barthes menegaskan bahwa setidaknya pada foto, perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap kamera. Sedangkan konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini: ini mencangkup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.
Secara garis besar, cara tanda menyampaikan sebuah makna ini dapat dimasukkan dalam dua bagian yaitu denotasi dan konotasi. Teminologi denotasi dan konotasi ini mengacu pada tingkatan makna pertama dan kedua dalam tanda. Teminologi denotasi mengacu pada makna harafiah dari tanda; untuk apa “secara objektif” hadir dan secara mudah dipahami atau diidentifikasi. Sedangkan terminologi konotasi digunakan mengacu pada makna dimana berada melebihi denotasi tetapi tergantung dengannya
Mengacu pada Eco; tanda denotasi adalah satu dari posisi didalam sistem semantik dimana kode tersebut membuat tanda kendaraan yang dipakai berkoresponden tanpa didahului oleh mediasi. Sedangkan konotasi adalah satu dari posisi dalam sistem semantik dimana tanda kendaraan itu melalui mediasi tertentu dan inilah yang membuat adanya korelasi antara fungsi tanda dan unit baru semantik. Tanda anjing, berdenotasi sebagai seeokor hewan dengan ciri fisik tertentu tetapi juga berkonotasi dengan sesuatu yang lainnya. Sebagai contoh, sebagaimana sebelumnya sudah dikatakan dalam sebuah iklan tissue Paseo yang menggambarkan seeokor bebek. Bebek ditandakan dengan fotografi, “bebek” sebagai hewan (denotasi) berubah dan bergerak menjadi sebuah tanda akan “kelembutan” (konotasi).
Proses ini bekerja dengan baik dalam iklan secara keseluruhan dimana iklan secara jelas adalah tanda yang menandakan sebuah produk (objek), tetapi juga selanjutnya bahwa produk tadi justru menjadi penanda, yang menandakan kualitas tertentu, gambar tertentu dll.
Bahkan, sebagaimana disampaikan Fiske (1982), makna konotasi ini memiliki implikasi lebih lanjut yang masuk juga dalam suara dan bunyi. Nada suara kita, cara berbicara mengkonotasikan perasaan atau nilai tentang apa yang dikatakan: dalam musik merupakan instruksi komposer tentang cara memainkan not, mengenai apa nilai konotatif atau emosional yang disampaikan. Pilihan kata kerap merupakan pilihan konotasi “pertentangan” atau “pemogokan”, “penangkapan” atau “pengamanan”. Ini merupakan contoh-contoh yang menunjukkan konotasi emosional atau subyektif, meski kita beranggapan bahwa orang lain dalam kebudayaan kita pun menggunakan sebagian besar dari kata-kata itu karena kata-kata tadi intersubjektif.
Dalam ranah iklan, hal terakhir ini lebih banyak ditunjukkan dalam iklan di televisi maupun radio, yang tidak bisa dipungkiri memainkan pendengaran dan visual bergerak yang cukup mengagumkan. Seorang Omas dalam sebuah iklan sabun cuci dengan kata-kata khas dan dialek betawi yang bernyanyi sambil berteriak “cuci bersih cuma gopek” memberikan sebuah contoh nyata nilai konotatif yang ditunjukkan dalam suara dan bunyi yang dihadirkan oleh iklan.
Tingkatan Makna
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber penting pemaknaan dalam iklan adalah makna dari produk yang diiklankan itu sendiri . Dalam konsep “pemaknaan” inilah tingkatan yang berbeda dapat dipisahkan dalam struktur ini. Pemahaman model ini adalah adanya relasi yang dibuat di antara atribut produk, konsekuensi konsumen dan nilai-nilai personal yang ada di dalamnya. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat-sifat atau fitur tersebut memimpin sebuah konsekuensi tertentu dan konsekuensi tersebut menentukan nilai-nilai selanjutnya.
Reynolds dan Gutman dalam The Creation of Meaning in Advertising membedakan produksi atribut dengan hal yang kongkret, contohnya adalah pada atribut fisik sebuah iklan ditampilkan dalam bentuk ukuran produk, warna produk, komponen, berat produk dan di lain sisi, atribut abstrak akan tampak seperti “rasa segar” dari soft drink, atau “warna trendy” dari model jeans terbaru.
Selanjutnya, konsekuensi ataupun manfaat bagi konsumer pun dibedakan dengan konsekuensi dari pembelian dan penggunaan produk tersebut ataupun konsumsi. Di sini juga dibedakan antara konsekuensi fungsional dan psiko-sosial. Konsekuensi fungsional dari produk deterjen sebagai contoh dengan slogan “membuat segalanya bersih”, sedangkan produk yang lainnya mengatakan “hemat uang” atau “meningkatkatkan efisiensi”. Sedangkan contoh dari konsekuensi psiko-sosial dari penggunaan produk adalah “mendapatkan lebih banyak teman” atau “menjadi lebih baik bagi orang lain”. Hal ini tampak dalam slogan, “Connecting People” (Nokia) atau bahkan pada iklan-iklan situs pertemanan di internet seperti Friendster, You To Be yang menekankan “pertemanan dengan lebih banyak orang”.
Pada model itu, pembedaan dibuat diantara nilai-nilai instrumental dan nilai terminal. Nilai-nilai instrumental adalah model pengarah yang ditunjukkan dimana terlihat sebagai makna untuk meraih nilai-nilai akhir. Di sini, dibedakan antara nilai personal dan sosial.
Contoh dari nilai instrumen personal yang digunakan dalam iklan adalah pada ungkapan “ambisi menjadi...”(iklan Star Mild), “kontrol diri”, “intelektual”, “imajinasi”, sedangkan contoh dari nilai instrumen sosial adalah pada ungkapan “menjadi orang baik” (iklan Simpati), “memaafkan”, “murah hati” atau “patuh” bagi orang lain. Contoh dari nilai-nilai akhir personal adalah “hidup yang lebih hidup” (L.A.Light), “being happy” (Garda Otto), “inner beauty”, sedangkan contoh dari nilai akhir sosial adalah tentang “kebebasan”, “kedamaian” dan “teman sejati”.
Ide yang ada di sini adalah bahwa konsep-konsep sesungguhnya juga mengandung konsep-konsep lain, memproduksi sebuah jaringan implikasi refleksi ingatan yang berhubungan terus menerus. Sebagai contohnya, ketika seseorang berpikir tentang sebuah produk tertentu seperti sebuah produk pengering rambut (hairdryer), segala fitur dari produk itu akan hadir juga di dalam pikiran, cara bagaimana produk itu membuat rambut kita menjadi lebih indah akan ada dalam benak kita, dan selanjutnya akan terbawa juga pada benak kita akan sebuah ide itu bahwa kita akan mengagumi produk tersebut di depan teman-teman kita.
Ide ini dapat dibandingkan dengan ide “chains of interpretans” atau rantai interpretasi dari Peirce yang memasukkan pemahaman akan proses penandaan yang berkelanjutan dan terus menerus . Sebagaimana definisi tanda dari Peirce sebagai segala sesuatu yang dikaitkan pada sesuatu yang lain (interpretant) untuk menunjuk pada sebuah objek yang kemudian menunjuk pada hal yang lain dengan cara yang sama juga . Di sini, interpretant menjadi tanda lain yang menunjuk pada objek yang sama. Dan sejak pemaknaan dapat di re-interpretasi, setiap intepretant sebuah tanda menimbulkan interpretant yang lain juga.
Di dalam iklan, penekanan dimasukkan di sini, tidak hanya di dalam fitur yang inheren dan di dalam kualitas produknya, tetapi juga dengan cara dimana produk itu bermakna sesuatu bagi konsumer. Contohnya adalah konsekuensi atau kegunaan dari produk tersebut, atau bahkan nilai-nilai dan gaya hidup yang dihasilkan dari penggunaan produk tersebut. Anggap saja bahwa hairdryer atau pengering rambut yang diiklankan pada contoh tadi tidak mengandung sesuatu yang polutif bagi lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan hal ini dapat diterjemahkan dalam terminologi akan produk yang “peduli lingkungan” atau “ramah lingkungan”, di sini, pemakai produk pun akan menjadi pribadi yang “peduli lingkungan” dalam benaknya. Dengan kata lain, dia menjadi seseorang yang memiliki sebuah nilai baik tertentu dalam dirinya. Sebagaimana dipahami oleh Kehret-Ward dan Yalch bahwa salah satu cara agar setiap individu berpikir positif mengenai sebuah produk adalah dengan mengarahkan mereka untuk berpikir mengenai aspek positif dalam dirinya sendiri yang muncul kemudian dengan membeli produk tertentu. Contoh iklan mobil salah satunya yang paling tampak, mobil hybrid dengan bahan bakar gas dan listrik ditampilkan sangat ramah lingkungan karena tidak menimbulkan polusi udara (Honda Hybrid) dan menjadi mobil masa depan.
Dari titik ini, dua pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana suatu produk dapat memiliki makna tertentu yang pasti, apakah dengan penjadi penanda? Dan yang kedua adalah bagaimana pemaknaan sebuah produk itu dialihkan dan ditransfer kepada pengguna produk itu sendiri? Hal ini akan dicoba dijawab berkenaan dengan peralihan makna tersebut.
Peralihan Makna
Dalam sebuah iklan sepatu Reebok, iklan yang tampil sangat sederhana: seekor anjing berwarna abu-abu ditampilkan di sini, memakai sepatu olahraga Reebok dan di bagian kanan bawah iklan ditampilkan merek Reebok tersebut. Mengacu pada sebuah pertanyaan sebelumnya: Apa makna dari iklan ini? Kemungkinan jawaban adalah : Iklan ini mengatakan kepada kita bahwa sepatu Reebok adalah sepatu olahraga yang “sangat cepat” untuk berlari. Dengan memakai sepatu ini, kita dapat berlari dengan cepat dan menjadi pribadi yang “sporty”.
Ketika kita mencoba untuk menganalisa iklan ini dalam terminologi semiotika, kita mendapatkan sebuah tanda: iklan tersebut, termasuk didalamnya adalah anjing, memakai sepatu Reebok, menunjuk pada dua objek yang berbeda: sepatu Reebok dan anjing secara aktual (denotasi) dan selanjutnya kita juga mendapatkan sebuah interpretant (konotasi) yaitu sepatu yang “cepat”, menjadi bisa berlari dengan cepat, menjadi “sporty”. Meskipun hal ini tidak secara gamblang dikatakan dalam iklan tersebut, melalui iklan, kesimpulan yang tercipta adalah bahwa sepatu Reebok adalah yang sangat cepat, sebuah sepatu olahraga. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan ini? Pemikiran akan proses yang berbelit inilah yang akan menjadi bahan diskusi selanjutnya.
Melalui semiotika, menjadi bahan pembicaraan bahwa makna dari sebuah iklan tidaklah terapung pada permuakaan yang kemudian diinternalisasi oleh penerima atau pelihat iklan itu begitu saja, tetapi makna itu “built up” diluar cara dari tanda-tanda yang berbeda itu diatur dan berelasi satu dengan yang lain, keduanya itu, baik didalam iklan ataupun melalui referensi eksternal iklan, sepenuhnya ditujukan bagi sistem kepercayaan yang lebih besar dari konsumen .
Dalam proses peralihan makna, tiga tahap akan dipisahkan di sini. Bentuk dan tahapan yang pertama mengandung proses peralihan makna bagi objek tertentu, orang atau sesuatu di dalam sebuah kebudayaan. Tahap yang kedua mengandung proses peralihan makna bagi produk yang diiklankan di dalam iklan tersebut. Dan yang terakhir, mengandung proses peralihan makna bagi konsumer yang menggunakan atau membeli barang yang diiklankan oleh iklan tersebut. Model McCracken itu memfokuskan diri pada peralihan makna para selebritis atau model yang digunakan di dalam iklan. Perhatiannya terutama pada model yang tampil itu dan pada peralihan makna dalam figur iklan secara umum.
Pembedaan besar dengan model dari McCracken ini adalah bahwa di dalam model yang tampil itu, makna dapat dialihkan dengan berbagai cara oleh produk yang diiklankan. Pada awalnya, yang terjadi adalah bahwa makna langsung (direct meaning) dialihkan dari objek atau seseorang (contohnya adalah selebriti, orang terkenal) kepada produk yang diiklankan. Dan lagi, penggunaan figur retoris dengan relasinya antar objek, orang atau situasi bagi produk yang diiklankan menciptakan sebuah “makna baru” di dalam iklan, dan dengan demikian maka dialihkan (di-transfer) pada produk yang diiklankan tersebut.
Peralihan makna di dalam kebudayaan
Dalam contoh sebelumnya tentang Reebok, pesan iklan tidak disampaikan secara langsung dan gamblang, tetapi menggunakan metafor untuk menyampaikan pesannya. Dengan kata lain, kualitas dan keguanaan dari produk yang diiklankan tidaklah disebutkan di dalam iklan, di sini produk (sepatu Reebok) dihubungkan dengan objek (hewan) dimana makna tertentu di-transfer pada produk yang diiklankan tersebut.
Di dalam proses peralihan untuk menggantikan tempat, objek yang pertama haruslah sudah memiliki sebuah makna untuk dialihkan, bila kita bandingkan dengan gambar di atas, kita sudah mengerti makna “perban” dan “kotak obat” dalam tataran umum, dan makna biji catur berwarna hitam dalam permainan catur. Bagi Williamson, objek-objek dalam iklan merupakan penanda-penanda makna yang kita urai kodenya dalam konteks sistem-sistem kultural yang kita kenal yang mengasosiasikan produk dalam iklan dengan “barang-barang” kultural lainnya. Di sini, tanda memiliki kemampuan untuk dialihkan atau digantikan oleh sesuatu hanya apabila dia telah memiliki makna dalam tempat pertama bagi pembaca atau penerimanya. Dia mengatakan bahwa dalam sistem makna ini, kita melukiskan material-material tertentu untuk melengkapi peralihan sistem ini sebagai sebuah “sistem referensi”.
Material-material ini kemudian membentuk sebuah tubuh sosial dan pengetahuan kultural baik dari pengiklan dan penikmat keduanya melukiskan insprasinya masing-masing. Jadi, apabila objek, orang ataupun situasi tertentu digunakan dalam iklan dalam kerangka pealihan makna tertentu (sebagai contohnya adalah fitur tertentu, kegunaan, kualitas, nilai-nilai tertentu, rasa ataupun emosi tertentu) bagi produk yang diiklankan, mereka sungguh membutuhkan makna tertentu dalam kultur atau kebudayaan tertentu.
Peralihan makna bagi produk iklan
Berkenaan dengan fase kedua, di dalam iklan, makna dari satu tanda itu di-transfer bagi yang lainnya. Dalam iklan tissue tadi, bebek yang dilukiskan itu ada untuk memberikan penekanan akan kelembutan tissue toilet tersebut. Selanjutnya, Michael Jordan mengalihkan makna “sporty” bagi sepatu yang memiliki nama yang sama dengannya (Nike Air Jordan) , Kobe Briant (Adidas Kobe) dan bahkan dalam iklan parfume Paris Hilton yang memakai nama seorang artis untuk nama produknya
Dalam contoh iklan Reebok yang dipaparkan sebelumnya, makna dari “anjing abu-abu”, secara tesrpisah yang menandakan seeokor anjing yang dapat berlari cepat, dialihkan untuk suatu produk tertentu. Tidak ada argumen dari hubungan antara anjing dan sepatu olahraga sehingga peralihan makna tergantung dari suatu kemiripan di dalam struktur iklan itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui dalam bab sebelumnya, dengan penggunaan figur retoris, produk dapat dihubungkan dengan identitas, kemiripan, kesamaan ataupun perbedaan, atau kesalahan analogi dengan objek, orang atau situasi tertentu yang memiliki fitur, kualitas, kegunaan tertentu yang jelas bagi pembaca atau penerima iklan tersebut.
Bagaimanapun juga, peralihan makna di dalam iklan ini tidaklah lengkap karena penerima tanda harus membuat sebuah “benang merah” sendiri di dalam dirinya. Hal inilah yang menjadikan relasi antar tanda sungguh bersifat arbiter atau sewenang-wenang saja. Tidak ada dimanapun juga yang mengatakan bahwa “sepatu Reebok” itu seperti “anjing yang berlari cepat”. Makna ini tidaklah akan ada hingga penerima atau pembaca melengkapi peralihan maknanya.
McCracken menjelaskan bahwa iklan haruslah dirancang untuk dapat menawarkan sebuah kesamaan yang mendasar antara selebriti (orang, objek atau situasi tertentu) dengan sebuah produk yang diiklankan sehingga konsumer dapat dimungkinkan untuk mengambil tahap terakhir dalam proses transfer makna tersebut, yaitu konsumsi. Oleh sebab itu, makna tidaklah “diterima” dari sebuah iklan, tetapi “diciptakan” oleh penerima atau pembaca iklan. Winfried Nöth menyebut proses ini sebagai transfer fitur indeksial.
Peralihan makna bagi konsumer
Pada fase ini, peralihan makna dalam kebudayaan dan produk yang diiklankan menjadi lengkap dengan menerima peralihan nilai-nilai tersebut bagi konsumer dengan tindakannya membeli produk atau merek yang diiklankan. Fase sebelumnya mau mengatakan bahwa bisa saja suatu produk yang diiklankan hanya berupa kacang atau sebuah mobil, namun dibuat agar mengonotasikan “alami” atau “keluarga”. Dengan demikian iklan menciptakan seduania perbedaan antar-berbagai produk dan gaya hidup yang kita beli. Di sini, fase konsumsi yang dimaksudkan adalah akan tindakan konsumer menggunakan atau membeli produk atau merek yang diiklankan dalam tataran bahwa konsumer yang membeli barang atau memakainya sekaligus berarti juga membeli citranya , dan dengan begitu turut menyumbangkan sesuatu dalam konstruksi identitas kita lewat konsumsi.
Konteks dan Dasar Pemahaman
Hal penting yang perlu dipahami pada awalnya di sini adalah bahwa cara dimana tanda ditandakan ternyata tergantung dari konteks dan lingkungan dimana ia berada. Sebagai contoh, gambar kepala dan tulang yang disilangkan memiliki makna “bahaya”, tetapi, memungkinkan juga berarti “racun” bila tanda itu ditampilkan pada sebuah botol, atau bisa juga sebagai “bajak laut” bila tanda ini ditampilkan pada sebuah bendera hitam, atau juga “tegangan tinggi” pada sebuah tiang listrik. Dalam iklan, pembedaan dapat terjadi antara tiga tipe konteks dari tanda-tanda. Pertama, kita memiliki konteks sebuah tanda di dalam struktur sintaksis dari sebuah iklan, yaitu relasi antara satu tanda dengan tanda yang lainnya sebagaimana sudah didiskusikan dalam bab sebelumnya.
Kedua adalah konteks dimana iklan secara keseluruhan, sebagai contohnya adalah media dimana iklan itu diletakkan seperti contohnya iklan di televisi, artikel di surat kabar papan iklan di jalanan atau iklan-iklan di majalah dll. Di sini, media memiliki peran yang tidak sederhana, tidak sekadar menjadi tempat dimana iklan itu berada, tetapi sungguh juga bisa menentukan kerangka makna tersendiri yang cukup menentukan.
Dan yang terakhir adalah konteks konsumer sendiri. Sebagaimana makna dikonstruksikan di dalam konteks dan lingkungan yang partikular, menjadi penting untuk menaruh perhatian pada konteks dimana konsumer membentuk dan mendapatkan kembali makna sebuah produk yang diiklankan itu.
No comments:
Post a Comment