Dalam memulai pembahasan khususnya mengenai homoseksualitas, maka haruslah juga disadari akan pentingnya pemahaman seks, seksualitas, gender serta pandangan dari segi biologi manusia itu sendiri. Dengan mengawali dari sisi tersebut maka menjadi landasan yang sangat kuat ketika kita mencoba untuk memamahaminya lebih luas dalam tataran praktis yang terjadi di dalam masyarakat. Fenomena homoseksualitas; gay dan lesbian, fenomena transgender dllnya sebenarnya sangat erat dan sangat dekat di dalam kehidupan sosial kita, tidak saja di luar Indonesia melainkan di Indonesia sendiri.
SEKS
Seks secara harafiah berarti jenis kelamin; jantan atau betina. Seseorang dilahirkan dengan jenis kelamin tertentu. Pengertian ini mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan alat kelamin (genitalia). Kata seks berasal dari kata sexus (Lat) yang berarti jenis kelamin. Kata sexus ini berasal dari kata kerja secare, yang berarti memotong, membagi atau memisahkan.
Dengan demikian, menurut pengertian kata, seks berarti hal-hal yang membagi makhluk hidup ke dalam dua kelompok atau jenis. Jenis yang satu disebut laki-laki (man) atau pria (male) sedangkan yang lain disebut perempuan (woman) atau wanita (female). Dalam dunia binatang pembagian ini disebut betina dan jantan.
Dari pengertian biologis ini seks sering dikonotasikan dengan persetubuhan. Termasuk di dalamnya adalah sex acts. Berdasarkan tujuannya, sex acts dibedakan menjadi tiga:
1. sex as procreasional
2. sex as recreational
3. sex as relational
Sedangkan untuk hal-hal yang lebih umum seperti berpakaian seronok, gerakan erotis, membaca majalah porno, menonton film dllnya lebih bersifat psikologis yang biasa disebut sexual behavior (perilaku seksual), yang berbeda pengertiannya dengan sex acts (tindakan seksual).
Seks sebagai keadaan anatomis dan biologis ini sebenarnya hanya merupakan pengertian sempit dari apa yang disebut dengan seksualitas. Seks mendefinisikan pertama kali keberadaan kita sebagai manusia: perempuan, laki-laki dan kedewasaan. Aspek ini mempengaruhi setiap orang sepanjang hidupnya, bahkan ia cenderung didorong melihat diri dari segi seks mereka.
SEKSUALITAS
Perkembangan hidup maniusia secara pribadi maupun peranannya dalam kehidupan sosial memunculkan istilah seksualitas. Seksualitas berarti seluruh kepribadian manusia sebagai pria atau wanita atau segala hal yang menentukan atau berhubungan dengan ciri-ciri kepriaan atau kewanitaan seorang manusia. Yang dimaksud adalah suatu cara berada; cara memanifestasikan diri; cara mengkomunikasikan diri (menjalin relasi) dengan yang lain, cara merasakan dan mengekspresikan cinta manusiawinya yang hidup.
Dalam bidang seksualitas ini dikenal konsep maskulin (kelekakian) dan feminim (keperempuanan atau kewanitaan) yang lebih bersifat abstrak dan menunjukkan pada sifat0sifat yang dimiliki semua manusia, apakan itu manusia yang berkelamin jantan atau betina. Ada asumsi bahwa sifat-sifat tertentu diasosiasikan dengan feminitas dan yang lain dengan maskulinitas.
Contoh; yang digolongkan dengan feminim misalnya kesabaran, lemah lembut, ketekunan, irrasionalitas, kesetiaan, mengalah dll. Sedanglan maskulin misalnya keberanian, rasionalitas, kekuatan dll.
Semua sifat ini sebenarnya ada dalam setiap manusia. Hanya saja, sering terjadi bahwa feminim diasosiasikan “hanya” ada pada wanita dan maskulin “hanya “ ada pada pria. Di sini, stereotip akan pria dan wanita menjadi sangat terasa. Padahal, keutuhan harmoni kepribadian seseorang merupakan perimbangan sifat maskulin dan feminim yang ada pada dirinya.
GENDER
Gender dan seksualitas mempunyai basis biologis pada seks dan kesuanya merupakan konstruksi sosial yaitu keduanya sama-sama dibentuk dan ditumbuhkembangkan oleh situasi sosial. Akan tetapi keduanya bukan merupakan hal yang sama karena terbentuk dari basis sosial yang berbeda. Pemahaman seksualitas dikaitkan dengan kegiatan yang menyangkut genitalia dan organ seks sekunder lainnya. Sedangkan yang dimasud dengan gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan yang dibuat oleh masyarakat (social constructions of men dan women) yang ciri-cirinya dapat diubah sesuai dan tergantung waktu dan tempat.
Gender ini tidak bersifat universal seperti halnya seksualitas, artinya dari tempat ke tempat dari waktu ke waktu berbeda. Biasanya gender dikaitkan dengan kedudukan dan peran seseorang dalam masyarakat, sedangkanseksualitas menyangkut ciri dan watak seseorang. Contoh; menurut pandangan gender, wanita adalah sorang ibu rumah tangga, kerja di rumah, mengasuh anak dll, pria sebagai pencari nafkah keluarga, pemimpin rumah tangga dll. Dari sudut seksualitas ada konsep maskulin dan feminim seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya.
FAKTOR SEKSUALITAS MANUSIA
Ada beberapa faktor yang menentukan seksualitas manusia:
1. Faktor Kromosom
Kromosom yang menentukan jenis seks adalah kromosom XX dan XY. Kromosom kelamin ovum adalaha X dan sperma adalah Y. Bila kromosom ini berpadu dan menghasilkan XX dalam sel, individu yang akan lahir adalah permpuan, bila XY maka laki-laki. Kelebihan dan kekurangan kromosom dalam inti sel akan menghasilkan individu yang abnormal.
Yaitu:
- Syndrome Turner Klinefelter
i. Individu dengan 47 kromosom. Mempunyai ciri perawakan tinggi, alat kelamin pria tidak tumbh semestinya: buah zakar kecil dan keras, tumbuh payudara pada waktu pubertas yang terlambat, akal budi kurang berkembang
- Syndrome Turner
i. Dengan 45 kromosom karena hanya punya satu kromosom X. Cirinya; kerdil, cacat tubuh, kelamin perempuan dysplastis (pertumbuhan yang menyimpang), heteroseksual dan libido lemah.
- Trisomi
i. Punya kromosom XXX yaitu alay kelamin perempuan tidak tumbuh sempurna, idiot
- Anomali
i. Punya kromosom XYY, cirinya berperawakan tinggi, agresif, cenderung melakukan perbuatan kriminal, juga dalam bidang seks
2. Faktor Gonad
Yaitu faktor yang menentukan jenis kelamin individu. Bila individu mempunyai testis, ia disebut laki-laki dan bila mempunya ovuarium, ia disebut wanita.
3. Faktor Hormon
Hormon yang menentukan jenis seks adalah hormon hasil pertemuan testis dan ovarium yang mempunyai peranan dalam mengembangkan badan laki-laki atau perempuan selama sebelum lahir dan selama masa puber. Hormon pada laki-laki disebut testoteron dan wanita estrogen. Selain dua hormon itu masih ada hormon lain yang mempengaruhi daya dan gejolak seksualitas dalam hidup individu seperti yang mengendalikan birahi, orgasme dan daya tarik seksual.
4. Faktor organ-organ seks internal
Bagi laki-laki yaitu dari saluran mani, kandung mani dan kelenjar prostat. Bagi wanita organ itu adalah indung telur, saluran telur, uterus dan vagina.
5. Faktor organ-organ eksternal
Yaitu yang menentukan jenis seks adalah bagi laki-laki; penis dan skrotum. Perempuan; klitoris, bibir kemaluan kecil dan bibir kemaluan besar.
6. Faktor pemeliharaan seks
Adalah bila seorang anak adalah laki-laki atau perempuan maka ia harus dibesarkan dan dididik sebagai laki-laki atau perempuan.
7. Faktor Identitas Seksual
Adalah kesadaran dan penerimaan jenis seks pada seorang laki-laki atau perempuan sehingga ia dapat berperan sebagai pria dan wanita dalam masyarakat.
Homoseksual
Tidak dapat disangkal bahwa di luar itu semua terdapat semacam bentuk baru yang mau tidak mau harus diterima keadaannya sebagai fakta sosial. Yang dimaksudkan adalah bahwa saat ini tidak ada lagi pembatasan bahwa manusia hanyalah pria dan wanita saja. Dalam hal ini tampak seperti gay, lesbi, transkesual, transgender dll.
“Homosexual behavior is sexual activity with a partner of the same sex” . Homoseksual dianggap sebagai penyimpangan seksual karena homoseksual mengandung kemustahilan untuk suatu perkawinan. Dalam hal ini homoseksual bertentangan dengan kodrat manusia karena hubungan seksual harus dilakukan oleh dua orang dengan jenis kelamin berbeda dalam ikatan perkawinan yang sah, disertai tujuan untuk prokreasi. Perilaku homoseksual tidak diterima karena bertentangan dengan perilaku manusia pada umumnya dan terutama bertentangan dengan hukum Allah. Boleh dikatakan bahwa mereka yang homo berkarakter contra naturam.
Fenomena homoseksual dapat dibedakan menjadi dua yakni kaum homoseksual yang berkecenderungan yang berasal dari pendidikan yang salah, kekuarangan evolusi seksual secara normal, kebiasaan buruk dan penyebab analogi lainnya. Kategori ini dapat disembuhkan. Sementara ada juga kaum homoseksual yang memang demikian adanya karena satu jenis insting tak sehat, dan patologi yang dinilai tak dapat disembuhkan (faktor bawaan).
Lesbian
Lesbian berasal dari kata “lesbos” yaitu suatu pulau di Yunani, di sana pada 600 SM hidup seorang penyair yang bersifat lesbi yaitu mengadakan hubungan seksual dengan gadis-gadis. Nama penyair itu Sappho, maka lesbian di sebut juga “sapphisme”.
Kebanyakan wanita lesbi mengetahui bahwa dirinya berkecenderungan lesbian sejak usia 20 tahun, tetapi dapat terlihat juga pada usia 14 tahun dimana mereka mempunyai perhatian pada sesama gadis. Bagi kaum lesbi, perilaku lesbian dianggap lebih memuaskan karena wanita lebih mesra, lebih halus, dan penuh pengertian. Cinta mereka lebih hebat, menggelinjang dan memanas dibanding cinta seorang homoan. Elemen-elemen erotik yang hebat bergelora dalam desahan cinta lesbian itu jauh lebih intensif daripada nafsu heteroseksual.
Dalam dunia lesbian saat ini, ada 3 istilah untuk menyebut peranannya dalam sebuah hubungan baik emosional maupun seksual, yaitu butchie dan femme. Butchie digunakan untuk pasangan lesbi yang berperan maskulin dan femme digunakan untuk pasangan lesbi yang berperan feminin. Tak jarang juga seorang butchie bercinta dengan butchie dan sebaliknya femme dengan femme secara liar dan penuh gairah, ini sering disebut andro.
Istilah
1. Homofobia: sikap ketakutan dan rasa jijik dan anti homoseks, membenci dan takut kepada kaum gay atau lesbian.
2. Homoseks: perasaan yang dimiliki seseorang yang memilih orientasi seksual atau emosiaonal dengan sesama jenis (wanita= lesbian, Lelaki= gay/ homo).
3. homoseksualitas: aktivitas yang cenderung dilakukan kaum homoseks, jadi pelaku homoseksualitas belum tentu seorang homoseks.
Dari sejak awal sejarah manusia telah ada yang melakukan penyeberangan gender maupun menjalin hubungan erotik romantik dan/atau ritual dengan sesama gender atau antara penyeberang gender dan gender yang ada dalam masyarakat. Dalam kebanyakan hal, hubungan itu berlangsung bersamaan dengan hubungan perkawinan atau sebelumnya. Homoseks eksklusif (gay/lesbian) memang baru meluas dalam jaman modern, terutama pada abad ke 20.
1869:
Dr K.M. Kertbeny, seorang dokter Jerman-Hongaria, menciptakan istilah homoseks dan homoseksualitas.
1920-an:
Komunitas homoseks mulai muncul di kota kota besar Hindia Belanda.
± 1968:
Istilah wadam diciptakan sebagal pengganti yang lebih positif bagi istilah banci atau bencong.
1969:
Organisasi wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri, A.I. difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta Raya, Ali Sadikin.
Juni 1969:
Di New York, Amerika Serikat, berlangsung Huru-Hara Stonewall, ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar bernama Stonewall Inn. Peristiwa ini dianggap permulaan pergerakan gay yang terbuka dan militan di Barat, dan kini dirayakan dengan pawai dan acara-acara lain, termasuk di Israel, Amerika Latin, Jepang, Pilipina, India dan Indonesia. 1978:
International Lesbian and Gay Association OLGA) berdiri di Dublin, Irlandia.
± 1980:
Istilah wadam diganti menjadi waria karena keberatan sebagian pemimpin Islam, karena mengandung nama seorang nabi, yakni Adam a.s.
1981:
Kumpulan gejala penyakit (sindrom) yang kemudian dinamakan AIDS ditemukan di kalangan gay di kota kota besar Amerika Serikat, Kemudian ternyata bahwa HIV, virus penyebab AIDS, tidak hanya ditularkan melalui hubungan seks anal antara laki laki saja.
1 Mar. 1982:
Organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, berdiri, dengan sekretariat di Solo. Segera terbentuk cabang-cabang di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Terbit buletin G: gaya hidup ceria (1982 1984).
1985:
Kaum gay di Yogyakarta mendirikan Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) dengan terbitan Jaka.
1 Agu. 1987:
Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN, kemudian dipendekkan menjadi GAYa NUSANTARA (GN)) didirikan di Pasuruan-Surabaya sebagai penerus Lambda Indonesia. Menerbitkan majalah/buku seri GAYa NUSANTARA.
1988:
Persaudaraan Gay Yogyakarta diteruskan menjadi Indonesian Gay Society (IGS).
1989:
Denmark menjadi negeri pertama di mana dua warga bergender sama dapat mencatatkan kemitraan (registered partnership) dengan hak-hak hampir sama dengan perkawinan.
1990:
International Gay and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC) berdiri di San Francisco, Amerika Serikat.
1992:
Berdiri organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar.
1993:
Berdiri organisasi gay di Malang don Ujungpandang.
1993:
Isyu orientasi seksual masuk dalam agenda Konferensi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tetapi ditentang oleh negara negara konservatif, termasuk Singapura.
Des. 1993:
Kongres Lesbian & Gay Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang, DIY. Diikuti sekitar 40 peserta dari Jakarta hingga Ujungpandang. Menghasilkan 6 butir ideologi pergerakan gay dan lesbian Indonesia. GAYa NUSANTARA mendapat mandat untuk mengkoordinasi Jaringan Lesbian & Gay Indonesia (JLGI).
1994:
Afrika Selatan menjadi negara pertama dengan jaminan non-diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dalam UUD-nya.
1994:
Isyu orientasi seksual kembali mewarnai perdebatan pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, Kairo, Mesir), dan ditentang pihak pihak konservatif. Indonesia secara eksplisit menolak.
1995:
Isyu orientasi seksual, diperjuangkan oleh aktivis-aktivis lesbian, mencuat pada Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-2 di Beijing, Tiongkok. Kembali pihak-pihak konservatif, termasuk Vatikan dan Iran, menentangnya. Indonesia juga termasuk yang menentang.
Des. 1995:
KLGI II diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat. Diikuti makin banyak peserta dari Jakarta hingga Ujungpandang.
22 Jul. 1996:
Partai Rakyat Demokratik (PRD) menjadi partai pertama dalam sejarah Indonesia yang mencantumkan "hak hak homoseksual dan transeksual" dalam manifestonya.
Nov. 1997:
Kongres Lesbian & Gay Indonesia (KLGI III) diselenggarakan di Denpasar. Pertama kali wartawan dapat meliput di luar sidang sidang. A,I, diputuskan untuk sementara diselenggarakan rapat kerja nasional karena dipertanyakan apakah kongres efektif.
Juni 1999:
Gay Pride dirayakan di Surabaya, kerja sama antara GN, Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS) don Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL).
Sep. 1999:
Rakernas JLGI di Solo diancam akan diserang oleh Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), sehingga dibatalkan.
Okt. 1999:
Pada International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) ke 5 di Kuala Lumpur, Malaysia, dibentuk jaringan lesbian, gay, biseks, waria, interseks dan queer se-Asia/Pasifik bernama Asia/Pacific Rainbow (APR). GN ikut menjadi pendiri.
Mar. 2000:
IGS mendeklarasikan 1 Maret sebagai Hari Solidaritas Lesbian & Gay Nasional.
Nov. 2000:
Kerlap-Kerlip Warna Kedaton 2000, acara pendidikan HIV/AIDS melalui hiburan di Kaliurang, DIY, diserang oleh serombongan laki-laki yang menamakan dirinya Gerakan Anti-Maksiat (GAM). Sempat terbentuk front bersama berbagai organisasi yang menentang kekerasan, tetapi karena intimidasi pihak GAM lambat-laun mengecil dan bubar.
Apr. 2001:
Negeri Belanda menjadi negeri pertama yang mengesahkan perkawinan untuk semua orang (termasuk gay dan lesbian). Salah seorang dari pasangan yang kawin harus warga atau penduduk tetap Belanda.
Jul. 2001:
Perdebatan tentang orientasi seksual kembali hangat di Konferensi Dunia Melawan Rasisme di Durban, Afrika Selatan.
Apr. 2003:
Brasil mengusulkan kepada Komisi Tinggi PBB untuk HAM agar orientasi seksual dimasukkan sebagai salah satu aspek HAM. Pengambilan keputusan ditunda. Dalam prosesnya, Vatikan mendesak pemerintah-pemerintah Amerika Latin lainnya untuk menentang usulan ini.
Jun. 2003:
Pemerintah Canada dinyatakan inkonstitusional oleh Pengadilan Tinggi Ontario di Toronto ketika menolak pencatatan perkawinan antara dua orang bergender sama. Pengadilan Tinggi segera memerintahkan dimungkinkannya pencatatan sipil perkawinan homoseks, tanpa mensyaratkan pasangan warga negara atau penduduk tetap Canada.
BAHASA GAUL:
Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, kalangan yang mengakui adanya prularitas orientasi seksual dikenal adanya penggunaan bahasa gaul yang secara budaya dan pengucapan mempertunjukkan kreasi dan kegairahan mereka tanpa menjadi terjebak pada penyeragaman bahasa yang membosankan, tanpa daya pikir, anti-kenikmatan dan mentabukan seksual. Sebaliknya mereka selalu aktif menciptakan keragaman, merangsang gairah-gairah (pengucapan) oral mereka dan menciptakan literatur yang lebih terbuka pada kesenangan mereka sendiri. Dan, walaupun secara permukaan dimarjinalkan, secara aktif masyarakat yang menagungkan satu orientasi seksual yang saklar menadopsinya dalam bahasa keseharian mereka (contoh: "bencong"). Di bawah adalah penjelasan singkat bagaimana kreativitas bahasa itu diekspresikan dalam keberagaman cara clan metode modifikasi, diantaranya yang disebut sebagai bahasa "binan".
1. Bentuk modifikasi regular
o Tambahan awalan "si"
Awalan "si" biasanya digunakan oleh waria di Jawa Timur. Cara pengunaannya dengan menambahkan kata "si" pada setiap kata yang digunakan dengan terlebih dahulu memenggal suku kata pertama dari suku kata belakang, sehingga menghasilkan bunyi baru. Syaratnya, setiap kata modifikasi tesebut harus berakhir dengan huruf konsonan.
Cara pembentukan: lanang (jw. laki-laki) dipenggal menjadi lan + ang. Kemudian pada kata lan di depannya diberi awalan "si", sehingga menjadi kata silan, yaitu "si" + lan.
Contoh lain:
wedhok (jw. Perempuan) -> siwed ("si"+wed)
Makan -> simak("si" + mak)
Pergi -> siper("si" + per)
o Tambahan akhiran "ong"
Penambahan akhiran "ong" adalah modifikasi sederhana lain yang Bering juga digunakan. Penggunaannya dengan menyesuaikan/mengasimilasi setiap suku kata terakhir dalam bahasa keseharian dengan bunyi "ong" dan setiap huruf vokal suku kata pertama menjadi bunyi e.
Cara pembentukan: Kata "banci", suku kata ban- dirubah bunyinya menjadi "ben", sedangkan suku kata akhir (ci) diasimilasikan dengan akhiran "ong" sehingga menjadi kata "cong". Jika kedua suku kata digabung (ben + cong) berubah menjadi kata "bencong".
Contoh lain:
laki -> lekong (la+ ki -> le +kong)
Makan -> mekong (ma + kan -> me + kong)
Homo -> hemong (ho + mo -> he + mong)
o Tambahan akhiran "es" atau 'i'
Kaidah yang berlaku dalam penambahan akhiran "es" hampir sama dengan modifikasi dengan akhiran "ong", kecuali pada penambahan suku kata akhir disesuaikan dengan bunyi "es" atau "i". Sehingga kata "band" bisa dimodifikasi menjadi kata "bences" atau "benci".
Contoh lain: lekes atau leki (la+ ki -> Le + kes atau ki) jalan -> jeles atau jeli (Ja+ lan -> je + les atau li)
o Tambahan sisipan "in"
Dibanding dengan modifikasi regular lainnya, sisipan "in" sedikit lebih sulit dalam penerapannya. Dalam modifikasi dengan sisipan "in", setiap suku kata dibagi diasimiliasikan dengan sisipan bunyi "in".
Cara pembentukan:
Misalnya kata "banci", suku kata awal ban dipisahkan dengan suku kata akhir ci, sehingga menjadi dua bunyi yang benar-benar terpisah. Kata ban dan ci disisipi dengan kata "in" sehingga berbunyi "binan cini'.
Contoh lain:
lesbi -> lines bini (les+ bi -> lines+ bini) homo -> hino mino (ho+ mo -> hino+ mino)
2. Bentuk modifikasi irregural
o Dengan memberi makna beda pada istilah kata umum. Jenis kata plesetan ini dibentuk dengan berbagai alasan antara lain bisa dikarenakan kesamaan sifat atau karakter antara dua kata atau bisa dikarenakan semata-mata oleh kesamaan bunyi. Untuk yang kata ganti yang digunakan karena analogi karakter bisa ditemui antara lain pada kata-kata berikut ini; "jeruk" (pemeras), "idealisme" (idiot), "bawang" (bau), "cuci WC" (menjilati dubur, analingus), "madonna° (matre), dll. Sedangkan plesetan kesamaan bunyi antara lain; "sandang" (sana), " "bandana" (bandit), "cumi-cumi" (berciuman) dll.
o Plesetan Singkatan kata-kata umum
Misalnya:
"BBC" atau "bibisi" (becak, tukang becak)
"mojokerto" (mojok)
"texas" (terminal)
"California" (pinggir kali)
dll.
o Kata-kata yang khusus, istilah yang hanya ditemukan dalam kalangan gay. Kata-kata yang dalam pengertian bahasa lain terdengar tidak ada makna.
Misal; "akika" (aku)
"diana" (dia)
"amir" (amat, sangat)
"cik pin" (pincang)
"la nina" (lanang)
"habibah" (habis)
"lucy-lucy" (elus-elus)
"metelek" (gay yang baru bercinta)
dll.
o Istilah=Istilah atau Singkatan
Misal:
"ADIIYA" (Adu titit saja)
"BAKSO" (Badannya seksi sekali bo!)
"HANDOKO" (Hanya doyan kontol)
"P&G" (Penjong & gedong), "UMNO" (Urusan Meong Number One) dll.
(Catatan: Aturan-aturan tersebut tidak selalu berlaku secara terpilah-p1lah, kadang-kadang dalam satu kata bisa terjadi merupakan dua cara plesetan sekaligus).
Aug 27, 2008
manusia?
Relasi
Ketika berbicara mengenai relasi berkaitan dengan manusia, tidaklah boleh dilepaskan dari pandangan secara umum yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri dimana manusia tersebut hidup, tinggal dan dibentuk senantiasa.
Dalam film arisan dapat jelas terlihat beragam bentuk relasi yang dimungkinkan dan memang terjadi diantara manusia. Relasi menjadi sebuah bagian yang tidak terpisahkan di dalam hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya; bandingkan dengan bentuk serta motivasi lain dalam hubungan manusia satu dengan yang lain yaitu prokreasi dan rekreasi.
Hal yang sangat menarik dalam relasi yang ditampilkan di dalam film ini adalah begitu beragamnya kemungkinan entah itu dilihat dari latar belakang tiap pribadi yang berlainan maupun dari konstruksi masyarakat setempat sekitar manusia itu tinggal.
Konstruksi sosial budaya masyarakat menjadi sebuah unsur penting yang ternyata tidaklah sederhana dalam memberikan entah itu penilaian baik maupun semacam hukuman yang ternyata sangat mempengaruhi pribadi manusia dalam bertindak, berperilaku serta memahami identitas dirinya sendiri meski masyarakat tersebut tidaklah menjadi satu-satunya faktor absolut yang menentukan. Di disini.. relasi lebih menekankan diri pada keberhubungannya dengan kehendak bebas tiap pribadi.
Makna identitas diri
Berbicara menegenai identitas diri, film arisan memberikan suatu contoh yang sangat apik dalam diri sakti yang diperankan oleh tora dusiro. Di sini, identitas diri menjadi sesuatu yang sangat sakral dan penting bagi masing-masing individu terlebih di dalam diri sakti. Dia menyadari bahwa ternyata ia memiliki kecenderungan yang dapat dikatakan “lain” dalam berelasi. Dia menyadari ada kecenderungan yang sanga besar dalam dirinya bahwa ia gay.
Tetapi, permasalahan yang lebih penting bukanlah soal gay atau tidaknya melainkan bagaimana ditampilkan pergulatan batin dirinya yang tidak mau mengakui dirinya seperti itu dan berusaha semaksimal mungkin bahkan melawan dan menginkari keadaannya. Meski pada akhirnya ia tidak dapat menolaknya.
“Saya harus normal.. kenapa seh saya gak bisa jadi normal?” kata-kata sakti ini menunjukkan bahwa dalam dirinya sendiri saja ia sudah menolak keadaannya. Ia benar-benar ingin menjadi seperti yang mayoritas masyarakat apa adanya. Permasalahan disini adalah apakah bentukan m asyarakat akan kenormalan atau tidaknya dapat dijadikan parameter ataupun patokan utama akan diri seseorang? Ternyata tidak juga.
Identitas diri setiap pribadi tidaklah dapat dipisahkan juga dari pengaruh masyarakat sekitar dan ini sudah nyata sekali tampak bagaimana sakti takut dijauhi orang apabila masyrakat tau dia adalah gay. Hal ini dapat dilihat juga terutama ketika masuknya sosok nino yang diperankan oleh surya saputra yang hadir dalam hidup sakti yang ternyata juga gay. Di sini, nino menjadi semacam sosok yang sebenarnya dinantikan oleh sakti juga terutama dalam berelasi. Relasi yang terjadi di sini, meski terjadi diantara dua pribadi yang sama jenis, merupakan sebuah relasi nyata yang tidak dapat dihindari dan memiliki cita rasa yang sama ketika dibandingkan dengan relasi yang terjadi diantara dua pribadi yang berbeda jenis.
Intimitas dan realitas
Hal yang cukup menarik lainnya adalah berkaitan dengan intimitas yang terjadi di dalam relasi itu sendiri. Di sini, kisah tersebut seakan-akan mau ditunjukkan dalam bentuk perselingkuhan, kekecewaan dllnya. Ternyata, di dalam relasi yang terjadi tidaklah seperti yang diharapkan pada mulanya. Di sini, menjadi sebuah pertanyaan akan diri manusia itu sendiri, manusia yang memberikan patokan dan aturan maennya sendiri dalam berelasi tetapi ia juga sendirilah yang mengabaikan dan tidak mengindahkannya.
Tampak dalam keluarga meimei yang diperankan oleh cut mini, sang suami sekan tidak lagi mau menganggap dirinya adalah istrinya karena ia tidak dapat mengandung. Tetapi, suatu kehebatan adalah bahwa sebagai istri ia sungguh mau berpegang dan tetap menyanjung akan pentingna kesetiaan di dalam rumah tangga.
Relasi tidaklah dapat dilepaskan dari komitmen antar pribadi yang ada di dalamnya. Meski kenyataannya tidaklah bisa diharapkan sama dengan permulaanya.
Hal lain juga ditunjukkan bagaimana ketika suami selingkuh, si istri yang diperankan oleh aida nurmala sebagai andien juga melakukan hal yang sama sebagai wujud balas dendamnya kepada suami. Demikian juga yang ditunjukkan oleh para ibu dalam grup arisan dimana mereka seakan-akan karena sudah memiliki semuanya ingin mendapatkan bentuk dan variasi baru dalam relasinya. Hal ini tampak dalam bentuk seks bebas yang mereka lakoni. Dan ternyata sungguh menyenangkan mereka.
Dari itu semua, ada satu sisi lagi yang diangkat dalam film arisan ini, yaitu “rekreasi”. Ternyata dalam relasi antar personal, rekreasi juga menjadi sarana yang sangat menentukan dan bahkan menjadi sarana wajib yang harus ada. Tetapi, apakah menjadi suatu hal mutlak yang harus ada? Itu merupakan sebuah permenungan lain yang sebenarnya tidak jauh dari realitas yang terjadi di sekitar kita sendiri.
Sebagai penutup, relasi yang terjadi antar manusia dimana di dalamnya ada keintiman dan hal-hal lainnya menjadi semacam proses yang terus menerus harus dicari, diolah dan dipahami meski tidak sampai ditemukan. Masyarakat dimana individu itu hidup menjadi sebuah sisi penting yang tidak dapat dilepaskan di dalam konstruksi wacana sosial budaya dalam diri tiap manusia. Tetapi, perlu juga di sadari, semua yang ada ini dimana bentuk serta penerapan relasi yang ada dan dianggap normal ataupun abnormal merupakan sebuah konstruksi semata yang mungkin saja di kemuadian masa bisa berubah dan bahkan berlainan sama sekali dengan saat ini.
Di sisi lain, keberagaman serta ketidakpuasan manusia yang ingin selalu mencari hal yang baru ternyata juga dapat mendorong terjadinya perubahan dengan cepat. Lalu, apa itu manusia yang menjalani relasi itu menjadi semacam alunan lagu dan gerak ke kiri pendulum yang pasti akan bergerak lagi dan terus bergerak ke kiri dan ke kanan dan tidak pernah berhenti. Demikian juga di dalam bentuk relasi pada diri manusia yang mungkin saja saat ini dianggap salah atau abnormal tetapi bisa jadi di suatu masa akan menjadi hal yang sangat normal ketika si pendulum itu bergoyang ke arah yang kebalikan.
Manusia haruslah terus menerus berproses dan menyadari diri dan alam sekitarnya dalam me redefinisi relasi dirinya sendiri dan sesamanya.
Ketika berbicara mengenai relasi berkaitan dengan manusia, tidaklah boleh dilepaskan dari pandangan secara umum yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri dimana manusia tersebut hidup, tinggal dan dibentuk senantiasa.
Dalam film arisan dapat jelas terlihat beragam bentuk relasi yang dimungkinkan dan memang terjadi diantara manusia. Relasi menjadi sebuah bagian yang tidak terpisahkan di dalam hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya; bandingkan dengan bentuk serta motivasi lain dalam hubungan manusia satu dengan yang lain yaitu prokreasi dan rekreasi.
Hal yang sangat menarik dalam relasi yang ditampilkan di dalam film ini adalah begitu beragamnya kemungkinan entah itu dilihat dari latar belakang tiap pribadi yang berlainan maupun dari konstruksi masyarakat setempat sekitar manusia itu tinggal.
Konstruksi sosial budaya masyarakat menjadi sebuah unsur penting yang ternyata tidaklah sederhana dalam memberikan entah itu penilaian baik maupun semacam hukuman yang ternyata sangat mempengaruhi pribadi manusia dalam bertindak, berperilaku serta memahami identitas dirinya sendiri meski masyarakat tersebut tidaklah menjadi satu-satunya faktor absolut yang menentukan. Di disini.. relasi lebih menekankan diri pada keberhubungannya dengan kehendak bebas tiap pribadi.
Makna identitas diri
Berbicara menegenai identitas diri, film arisan memberikan suatu contoh yang sangat apik dalam diri sakti yang diperankan oleh tora dusiro. Di sini, identitas diri menjadi sesuatu yang sangat sakral dan penting bagi masing-masing individu terlebih di dalam diri sakti. Dia menyadari bahwa ternyata ia memiliki kecenderungan yang dapat dikatakan “lain” dalam berelasi. Dia menyadari ada kecenderungan yang sanga besar dalam dirinya bahwa ia gay.
Tetapi, permasalahan yang lebih penting bukanlah soal gay atau tidaknya melainkan bagaimana ditampilkan pergulatan batin dirinya yang tidak mau mengakui dirinya seperti itu dan berusaha semaksimal mungkin bahkan melawan dan menginkari keadaannya. Meski pada akhirnya ia tidak dapat menolaknya.
“Saya harus normal.. kenapa seh saya gak bisa jadi normal?” kata-kata sakti ini menunjukkan bahwa dalam dirinya sendiri saja ia sudah menolak keadaannya. Ia benar-benar ingin menjadi seperti yang mayoritas masyarakat apa adanya. Permasalahan disini adalah apakah bentukan m asyarakat akan kenormalan atau tidaknya dapat dijadikan parameter ataupun patokan utama akan diri seseorang? Ternyata tidak juga.
Identitas diri setiap pribadi tidaklah dapat dipisahkan juga dari pengaruh masyarakat sekitar dan ini sudah nyata sekali tampak bagaimana sakti takut dijauhi orang apabila masyrakat tau dia adalah gay. Hal ini dapat dilihat juga terutama ketika masuknya sosok nino yang diperankan oleh surya saputra yang hadir dalam hidup sakti yang ternyata juga gay. Di sini, nino menjadi semacam sosok yang sebenarnya dinantikan oleh sakti juga terutama dalam berelasi. Relasi yang terjadi di sini, meski terjadi diantara dua pribadi yang sama jenis, merupakan sebuah relasi nyata yang tidak dapat dihindari dan memiliki cita rasa yang sama ketika dibandingkan dengan relasi yang terjadi diantara dua pribadi yang berbeda jenis.
Intimitas dan realitas
Hal yang cukup menarik lainnya adalah berkaitan dengan intimitas yang terjadi di dalam relasi itu sendiri. Di sini, kisah tersebut seakan-akan mau ditunjukkan dalam bentuk perselingkuhan, kekecewaan dllnya. Ternyata, di dalam relasi yang terjadi tidaklah seperti yang diharapkan pada mulanya. Di sini, menjadi sebuah pertanyaan akan diri manusia itu sendiri, manusia yang memberikan patokan dan aturan maennya sendiri dalam berelasi tetapi ia juga sendirilah yang mengabaikan dan tidak mengindahkannya.
Tampak dalam keluarga meimei yang diperankan oleh cut mini, sang suami sekan tidak lagi mau menganggap dirinya adalah istrinya karena ia tidak dapat mengandung. Tetapi, suatu kehebatan adalah bahwa sebagai istri ia sungguh mau berpegang dan tetap menyanjung akan pentingna kesetiaan di dalam rumah tangga.
Relasi tidaklah dapat dilepaskan dari komitmen antar pribadi yang ada di dalamnya. Meski kenyataannya tidaklah bisa diharapkan sama dengan permulaanya.
Hal lain juga ditunjukkan bagaimana ketika suami selingkuh, si istri yang diperankan oleh aida nurmala sebagai andien juga melakukan hal yang sama sebagai wujud balas dendamnya kepada suami. Demikian juga yang ditunjukkan oleh para ibu dalam grup arisan dimana mereka seakan-akan karena sudah memiliki semuanya ingin mendapatkan bentuk dan variasi baru dalam relasinya. Hal ini tampak dalam bentuk seks bebas yang mereka lakoni. Dan ternyata sungguh menyenangkan mereka.
Dari itu semua, ada satu sisi lagi yang diangkat dalam film arisan ini, yaitu “rekreasi”. Ternyata dalam relasi antar personal, rekreasi juga menjadi sarana yang sangat menentukan dan bahkan menjadi sarana wajib yang harus ada. Tetapi, apakah menjadi suatu hal mutlak yang harus ada? Itu merupakan sebuah permenungan lain yang sebenarnya tidak jauh dari realitas yang terjadi di sekitar kita sendiri.
Sebagai penutup, relasi yang terjadi antar manusia dimana di dalamnya ada keintiman dan hal-hal lainnya menjadi semacam proses yang terus menerus harus dicari, diolah dan dipahami meski tidak sampai ditemukan. Masyarakat dimana individu itu hidup menjadi sebuah sisi penting yang tidak dapat dilepaskan di dalam konstruksi wacana sosial budaya dalam diri tiap manusia. Tetapi, perlu juga di sadari, semua yang ada ini dimana bentuk serta penerapan relasi yang ada dan dianggap normal ataupun abnormal merupakan sebuah konstruksi semata yang mungkin saja di kemuadian masa bisa berubah dan bahkan berlainan sama sekali dengan saat ini.
Di sisi lain, keberagaman serta ketidakpuasan manusia yang ingin selalu mencari hal yang baru ternyata juga dapat mendorong terjadinya perubahan dengan cepat. Lalu, apa itu manusia yang menjalani relasi itu menjadi semacam alunan lagu dan gerak ke kiri pendulum yang pasti akan bergerak lagi dan terus bergerak ke kiri dan ke kanan dan tidak pernah berhenti. Demikian juga di dalam bentuk relasi pada diri manusia yang mungkin saja saat ini dianggap salah atau abnormal tetapi bisa jadi di suatu masa akan menjadi hal yang sangat normal ketika si pendulum itu bergoyang ke arah yang kebalikan.
Manusia haruslah terus menerus berproses dan menyadari diri dan alam sekitarnya dalam me redefinisi relasi dirinya sendiri dan sesamanya.
Soedjatmoko
Kesadaran Historis dan Ahistoris
Kesadaran historis itu harus dibedakan dengan kesadaran ahistoris dalam konteks membangun masyarakat
Hal pertama yang harus dilihat adalah bahwa Soedjatmoko senantiasa menaruh segala pemikirannya di dalam ranah otonomi dan kebebasan. Hal inilah yang akan menjadi titik tolak bagi kita ketika membahas kesadaran historis manusia di dalam membangun masyarakat yang terlebih dahulu haruslah dibedakan dengan kesadaran ahistoris. Pentingnya pembedaan dua kesadaran itu adalah karena pertama-tama merusak dan bahkan mengaburkan arti otonomi dan kebebasan setiap orang. Di sini, Soedjatmoko merasa bahwa kesadaran ahistoris mengancam dua unsur penting dalam diri manusia itu sendiri; otonomi dan kebebasannya.
Membatasi kebebasan berpikir
Menjadi suatu kecenderungan yang sangat jelas bahwa kesadaran ahistoris memiliki suatu kecenderungan yang kurang baik bagi kebebasan berpikir manusia, bahkan bertendensi destruktif pada pola pikir manusia yang nantinya juga akan merembet terus ke dalam hal praktis kesehariannya. Dan disinilah terjadi permasalahan karena kesadaran menjadi dasar dari semua hal yang dilakukan setiap orang, yang memiliki andil di dalam membangun masyarakat secara lebih luas itu sendiri.
Pemahaman kesadaran ahistoris di sini bukanlah sekadar berkaitan dengan sejarah saja yang dilakukan, dialami dan ditentukan oleh setiap orang, tetapi lebih pada akan apa yang terjadi di dalamnya serta perkembangan apa saja yang ada dan bahkan berkaitan juga dengan benturan-benturan dalam kesadaran setiap orang tersebut yang semakin terbuka dengan kemajuan jaman, terlebih dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal yang cukup jelas dapat terlihat di dalam pola pikir masyarakat pra-modern atau dengan kebudayaan mistik yang bahkan sampai saat ini masih tetap ada dan terus terlestarikan oleh sebab konstruksi sosial kultural masyarakat tersebut yang, entah itu tidak berani melepaskannya atau bahkan dengan sendirinya masyarakat tidak mau untuk meninggalkan pola pikir akan kesadaran tersebut. Contoh yang nyata ada dalam masyarakat adalah begitu terpakunya pada mistik dalam pembangunan itu sendiri; untuk membangun sarana, infrastruktur haruslah disesuaikan dulu dengan, entah itu wejangan memek moyang, primbon, dll. Demikian juga dengan pengambilan-pengambilan keputusan yang begitu kentalnya dipengaruhi dengan nudaya mistik itu sendiri sehingga sedikit dan bahkan cenderung meninggalkan asas logis dan sistematis yang sebenarnya mutlak diperlukan.
Hal seperti inilah yang bagi sudjatmoko sebagai sebuah kesadaran ahistoris yang haruslah benar-benar dibedakan dan bahkan dibuang jauh-jauh dalam kesadaran yang ada dalam masyrakat. Mengapa? Sekali lagi kita harus kembali pada kata kebebasan dan otonomi tiap individu tersebut. Di sini, otonomi dan kebebasan menjadi semakin tersingkir oleh segala hal itu tadi. Individu terkukung, terkontaminasi dan bahkan tersingkirkan oleh kesadaran a-historis tersebut dalam menentukan dirinya sendiri.
Dan hal inilah yang bagi sudjatmoko akan merusak pembangunan manusia itu sendiri, tidak hanya dalam segala hal praktisnya seperti pembangunan fisik, pembangunan ekonomi tetapi juga termasuk di dalamnya adalah pembangunan manusia itu sendiri atas otonomi dan kebebasannya untuk menentukan dirinya sendiri tanpa dikukung oleh hal-hal a-historis seperti mistis.
Pembedaan ini mengarahkan manusia untuk melihat secara lebih gamblang bahwa segala pembangunan itu merupakan sekali lagi mutlak historis dalam artian bahwa sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan manusia itu sendiri; dalam hal ini dapat dilihat dari perkembanagn teknologi khususnya. Dan sekali, bukan karena segala aspek-aspek a-historis yang sungguh sebenarnya tidak membangun tetapi justru mengukung ,mengurangi dan bahkan menghilangkan kebebasan dan otonomi manusia itu snediri dalam membangun, mengisi dan menjalankan rentetan perkembangan sejarah hidupnya dari waktu yang satu ke waktu yang lain.
Moh. Hatta
Kemandirian, dasar martabat bangsa
Ide dan Tekad Mandiri
Ide dan Tekad MandiriMenimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat manifesto: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun.
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat…
Menolak Subordinasi dan Humiliasi
Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, ada!ah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut kemerdekaan dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.
Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidarig kehidupan. Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi - menegakkan emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian yang melimpah ruah.
Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indonesia dari posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera
Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta
Sejak awal kemerdekaan Mohammad Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah (1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir mi menunjukkan banwa globalisasi telah sejak awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak tahun 1934
Bagi Mohammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Kemandirian bermakna dapat menentukan nasib diri sendiri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehilangan harga diri. Lebih dari itu terbentuk pula kekaguman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman birokrasi terhadap ideologi pasar-bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkah laku budaya sebagai “pangreh” ini makin memperpuruk diri. Dari “lengah misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya
Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia
Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dan “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.
Pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan diIndonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi hutang luar negeri ( Tracee Baru, Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap hutang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementerjadi bersifat sementara dan pelengkap Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi
Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya
Seperti dikemukakan, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.
Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang kita tolak adalah pasar-bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions, disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.
Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.
Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.
Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa, masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri. Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya, menyandang nilai-nilai “abadi” ini
Paham kemandirian, sebagai lawan dan ketergantungan, menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.
Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts; Pertama, melalui usaha sendiri masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada luar-negeri.
Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya.
Ketiga, bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora internasional yang menentang ketidakadilan inheren dan globalisasi, yang menyadari perlunya berbagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara berkembang.Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.
Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ide dan Tekad Mandiri
Ide dan Tekad MandiriMenimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat manifesto: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun.
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat…
Menolak Subordinasi dan Humiliasi
Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, ada!ah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut kemerdekaan dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.
Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidarig kehidupan. Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi - menegakkan emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian yang melimpah ruah.
Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indonesia dari posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera
Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta
Sejak awal kemerdekaan Mohammad Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah (1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir mi menunjukkan banwa globalisasi telah sejak awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak tahun 1934
Bagi Mohammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Kemandirian bermakna dapat menentukan nasib diri sendiri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehilangan harga diri. Lebih dari itu terbentuk pula kekaguman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman birokrasi terhadap ideologi pasar-bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkah laku budaya sebagai “pangreh” ini makin memperpuruk diri. Dari “lengah misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya
Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia
Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dan “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.
Pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan diIndonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi hutang luar negeri ( Tracee Baru, Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap hutang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementerjadi bersifat sementara dan pelengkap Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi
Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya
Seperti dikemukakan, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.
Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang kita tolak adalah pasar-bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions, disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.
Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.
Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.
Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa, masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri. Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya, menyandang nilai-nilai “abadi” ini
Paham kemandirian, sebagai lawan dan ketergantungan, menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.
Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts; Pertama, melalui usaha sendiri masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada luar-negeri.
Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya.
Ketiga, bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora internasional yang menentang ketidakadilan inheren dan globalisasi, yang menyadari perlunya berbagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara berkembang.Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.
Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
John Locke
Understanding knowledge
Locke sought to trace all ideas or concepts back to their origin in experience. He did not limit experience to sense experience, but included introspective awareness of the mind as it performed various mental operations as part of what he meant by experience, a qualification often not noticed by his immediate followers.
He mean different with Descartes
At the first, Locke is tottally different from descartes as he is an empiricist while descartes is rationalist, but, they aren’t opposed sharply. Locke endorsed descartes view of knowledge. Locke aggre with descartes concerning the nature of knowledge
Empiricism in philosophy
Empiricism is conviction saying that human ideas and knowledge are based and gained through experience
Sensation
Sendation is what we experience through our senses, including extension, shape, quantity and qualities. This great source of most of the ideas we have, depending wholly upon oue senses and derived by them to the understanding.
reflection
This source of ideas every man has wholly in himself, and though it be not sense, as having nothing to do with external objects, yet it is very like it and might properly enough be called internal sense. Reflection is the ideas afford being such only as the mind gets by reflecting on its own operations within itself.
a man begin to think
Begin to think when he grow up. Children, when they come first into it, are surrounded with a world of new things which, by a constant solicitation of their senses, draw the mind constantly to them, forward to take notice of new and apt to be delighted with the variety of changing objects.
true keep thinking
Though thinking be supposed never so much the proper action of the soul, yet it is not necessary to suppose that it should be always thinking, always in action. That perhaps, is the privilege of the infinite Author and Preserver of all things, ‘who never slimber nor sleeps’; but is not competent to any finite being, at least not to the soul of man.
Knowledge
Knowledge is totally simple because they used only one of the sensation of the human body, but, it could be complex when people use many of their sensation to understand that natural knowledge in their life.
Locke sought to trace all ideas or concepts back to their origin in experience. He did not limit experience to sense experience, but included introspective awareness of the mind as it performed various mental operations as part of what he meant by experience, a qualification often not noticed by his immediate followers.
He mean different with Descartes
At the first, Locke is tottally different from descartes as he is an empiricist while descartes is rationalist, but, they aren’t opposed sharply. Locke endorsed descartes view of knowledge. Locke aggre with descartes concerning the nature of knowledge
Empiricism in philosophy
Empiricism is conviction saying that human ideas and knowledge are based and gained through experience
Sensation
Sendation is what we experience through our senses, including extension, shape, quantity and qualities. This great source of most of the ideas we have, depending wholly upon oue senses and derived by them to the understanding.
reflection
This source of ideas every man has wholly in himself, and though it be not sense, as having nothing to do with external objects, yet it is very like it and might properly enough be called internal sense. Reflection is the ideas afford being such only as the mind gets by reflecting on its own operations within itself.
a man begin to think
Begin to think when he grow up. Children, when they come first into it, are surrounded with a world of new things which, by a constant solicitation of their senses, draw the mind constantly to them, forward to take notice of new and apt to be delighted with the variety of changing objects.
true keep thinking
Though thinking be supposed never so much the proper action of the soul, yet it is not necessary to suppose that it should be always thinking, always in action. That perhaps, is the privilege of the infinite Author and Preserver of all things, ‘who never slimber nor sleeps’; but is not competent to any finite being, at least not to the soul of man.
Knowledge
Knowledge is totally simple because they used only one of the sensation of the human body, but, it could be complex when people use many of their sensation to understand that natural knowledge in their life.
Dilthey
“Understanding” according to Dilthey
Understanding of other people and their life expressions is developed on the basis of experience and self-understanding and the constant interaction between them. Understanding, focusing entirely on the content which remains identical in every context, is, here, more complete than in relation to any other life-expresion.
Comparation with Lock’s and Decartes
Locke sought to trace all ideas or concepts back to their origin in experience. He did not limit experience to sense experience, but included introspective awarness of the mind as it performed various mental operations as part of what he meant by experience, a qualification often not noticed by his immediate followers.
Although descartes as a rationalist is frequently contrasted to Locke an empiricist, Locke endorsed Descartes view of knowledge and certainty. For Locke such knowledge was far more rare than Descartes believed, but Locke agreed with Descartes concerning the nature of knowledge.
Expression of life
Occuring in the world of the senses they are manifestations of mental content which yhey enable us to know. By “life-expressions”, not only expresions which intend something or seek to signify something but also those which make a mental content intelligeble for us without having that purpose.
The mode and accomplishment of the understanding differs according to the various classes of life-expressions.
His opinion about “history”
Arguing that the goal of the human sciences id to understand life from categories derived from life itself, he turned to history for that understanding. Historical expressions of the inner life as we find them in texts, though, have to be interpreted.
“concepts”, “judgement” and “actions”
As contituent parts of knowledge, separated from the experience in which they occurred, what they have in common is conformity to logic.
Judgement asserts the validity of a thought independently of the varied situations in which it occurs, the difference of time and people involved. This is the meaning of the law of identity. Thus the judgement is the same for the man who makes it and the one who understands it; it passes, as if transported, from the speaker to the one who understands it.
Actions form another class of life-expressions. An action does not spring from the intention to communicate; however, the purpose to which it is related is contained in it. Action, through the power of a decisive motive, steps from the plenitude of life into one-sidedness.
lived experience
A particular relation exists between it, the life from which it sprang and the understanding to which it gives rise. For expressions can contain more of the psychological context than any introspection can discover. They are not to be judged as true or false but as truthful or untruthful.
The first understanding arise
Understanding arises, first of all, in the interests of practical life where people are dependent on dealing whith each other. They must communicate with each other. The one must know what the other wants. They are like the letters of the alphabet which, joined together, make higher forms of understanding possible.
Objective mind
Individuals hold in common have objective themselves in the world of the senses. In this objective mind the past is a permanent enduring present for us. Its realm extends from the style of life and the forms od social imtercourse to the system of purpose which sosiety has created for itself and to custom, law, state, religion, arts, science and philosophy.
Understanding of other people and their life expressions is developed on the basis of experience and self-understanding and the constant interaction between them. Understanding, focusing entirely on the content which remains identical in every context, is, here, more complete than in relation to any other life-expresion.
Comparation with Lock’s and Decartes
Locke sought to trace all ideas or concepts back to their origin in experience. He did not limit experience to sense experience, but included introspective awarness of the mind as it performed various mental operations as part of what he meant by experience, a qualification often not noticed by his immediate followers.
Although descartes as a rationalist is frequently contrasted to Locke an empiricist, Locke endorsed Descartes view of knowledge and certainty. For Locke such knowledge was far more rare than Descartes believed, but Locke agreed with Descartes concerning the nature of knowledge.
Expression of life
Occuring in the world of the senses they are manifestations of mental content which yhey enable us to know. By “life-expressions”, not only expresions which intend something or seek to signify something but also those which make a mental content intelligeble for us without having that purpose.
The mode and accomplishment of the understanding differs according to the various classes of life-expressions.
His opinion about “history”
Arguing that the goal of the human sciences id to understand life from categories derived from life itself, he turned to history for that understanding. Historical expressions of the inner life as we find them in texts, though, have to be interpreted.
“concepts”, “judgement” and “actions”
As contituent parts of knowledge, separated from the experience in which they occurred, what they have in common is conformity to logic.
Judgement asserts the validity of a thought independently of the varied situations in which it occurs, the difference of time and people involved. This is the meaning of the law of identity. Thus the judgement is the same for the man who makes it and the one who understands it; it passes, as if transported, from the speaker to the one who understands it.
Actions form another class of life-expressions. An action does not spring from the intention to communicate; however, the purpose to which it is related is contained in it. Action, through the power of a decisive motive, steps from the plenitude of life into one-sidedness.
lived experience
A particular relation exists between it, the life from which it sprang and the understanding to which it gives rise. For expressions can contain more of the psychological context than any introspection can discover. They are not to be judged as true or false but as truthful or untruthful.
The first understanding arise
Understanding arises, first of all, in the interests of practical life where people are dependent on dealing whith each other. They must communicate with each other. The one must know what the other wants. They are like the letters of the alphabet which, joined together, make higher forms of understanding possible.
Objective mind
Individuals hold in common have objective themselves in the world of the senses. In this objective mind the past is a permanent enduring present for us. Its realm extends from the style of life and the forms od social imtercourse to the system of purpose which sosiety has created for itself and to custom, law, state, religion, arts, science and philosophy.
sosialisme kerakyatan
Rakyat
Siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interests” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interests” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public domain”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi-preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Rakyat itu berdaulat, alias raja atas dirinya.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap, bukan kinship atau kekerabatan) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei’, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Sosialisme Kerakyatan
Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagi Syahrir, sosialisme yang kerakyatan dapat dipersempit ke arah sosialime yang benar-benar berorientasi pada rakyat secara menyeluruh dalam artian yang tidak bermakna “baku dan mati” seperti pada komunisme yang dirasakan olehnya justru; persamaan yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat atau rakyat menghilangkan otonomi dan kebebasan dari setiap individu. Kepentingan komunal seakan-akan tidak menghiraukan keberadaan dan peran kepentingan individual dalam masyarakat itu sendiri.
Oleh karena alasan itulah, syahrir memberikan warna tersendiri yang mau merangkum itu semua dalam ranah sosial budaya Indonesia sendiri yang memang tidak dapat dilepaskan dari yang namanya kerakyatan, kekeluargaan dan gotong royong. Paham sosialisme yang ada dalam tataran universal diolah sedemikian rupa olehnya menjadi suatu paham baru yang apik, dinamis dan ternyata sangat tepat bagi Indonesia sendiri.
Inkonsistensi
Tetapi, dilain pihak. Bentuk sosialisme kerakyatan yang diungkapkan Syahrir justru menampakan adanya ketidak konsistenan dirinya atas paham sosialisme itu sendiri. Seakan-akan Syahris menerima paham itu tetapi ternyata pencantuman sosialisme pada sosialisme kerakyatan ternyata sama sekali berbeda denagn paham awal dari sosialisme itu sendiri pada mulanya. Kemungkinan yang terjadi adalah, mungkin Syahrir mau berhati-hati dengan terminologi tersebut mengingat dengan keadaan dan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia itu sendiri saat itu yaitu perasaan was-was dan phobia masyarakat sendiri atas komunisme yang memberikan suatu catatan sejarah tersendiri yang sulit untuk diterima begitu saja dalam pemikiran bangsa Indonesia, terlebih ketika diterapkan di dalam hal praktis kehidupan mereka.
Ketidak konsistenan ini juga dapat menjadi suatu bahan pembelajaran yang sangat berguna ketika kita melihat pentingnya situasi dan kondisi bangsa itu sendiri. Dan, tidakdapat disangkal bahwa paham sosialisme kerakyatan ini cukup representatif dan cocok bagi segala dinamika masyarakat Indonesia sendiri, terlebih di dalam perjalan sejarah rakyatnya atas segala konstruksi sosial budaya yang tertanam dalam kehidupan masyarakat itu sendiri sehari-hari.
Siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interests” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interests” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public domain”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi-preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Rakyat itu berdaulat, alias raja atas dirinya.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap, bukan kinship atau kekerabatan) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei’, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Sosialisme Kerakyatan
Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagi Syahrir, sosialisme yang kerakyatan dapat dipersempit ke arah sosialime yang benar-benar berorientasi pada rakyat secara menyeluruh dalam artian yang tidak bermakna “baku dan mati” seperti pada komunisme yang dirasakan olehnya justru; persamaan yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat atau rakyat menghilangkan otonomi dan kebebasan dari setiap individu. Kepentingan komunal seakan-akan tidak menghiraukan keberadaan dan peran kepentingan individual dalam masyarakat itu sendiri.
Oleh karena alasan itulah, syahrir memberikan warna tersendiri yang mau merangkum itu semua dalam ranah sosial budaya Indonesia sendiri yang memang tidak dapat dilepaskan dari yang namanya kerakyatan, kekeluargaan dan gotong royong. Paham sosialisme yang ada dalam tataran universal diolah sedemikian rupa olehnya menjadi suatu paham baru yang apik, dinamis dan ternyata sangat tepat bagi Indonesia sendiri.
Inkonsistensi
Tetapi, dilain pihak. Bentuk sosialisme kerakyatan yang diungkapkan Syahrir justru menampakan adanya ketidak konsistenan dirinya atas paham sosialisme itu sendiri. Seakan-akan Syahris menerima paham itu tetapi ternyata pencantuman sosialisme pada sosialisme kerakyatan ternyata sama sekali berbeda denagn paham awal dari sosialisme itu sendiri pada mulanya. Kemungkinan yang terjadi adalah, mungkin Syahrir mau berhati-hati dengan terminologi tersebut mengingat dengan keadaan dan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia itu sendiri saat itu yaitu perasaan was-was dan phobia masyarakat sendiri atas komunisme yang memberikan suatu catatan sejarah tersendiri yang sulit untuk diterima begitu saja dalam pemikiran bangsa Indonesia, terlebih ketika diterapkan di dalam hal praktis kehidupan mereka.
Ketidak konsistenan ini juga dapat menjadi suatu bahan pembelajaran yang sangat berguna ketika kita melihat pentingnya situasi dan kondisi bangsa itu sendiri. Dan, tidakdapat disangkal bahwa paham sosialisme kerakyatan ini cukup representatif dan cocok bagi segala dinamika masyarakat Indonesia sendiri, terlebih di dalam perjalan sejarah rakyatnya atas segala konstruksi sosial budaya yang tertanam dalam kehidupan masyarakat itu sendiri sehari-hari.
CANDI MENDUT (Ruangan dalam candi)
Bentuk pembagian seperti ini dengan adanya pelataran, ruang depan, wilayah pemujaan dan ruang Budha, mau menunjukkan betapa alam pemikiran primordial masyarakat Jawa sangat kentara. Bentuk layout seperti ini dengan pembagiannya, sama persis dengan layout bentuk rumah masyarakat di Jawa pada umumnya.
Pada rumah jawa, pembagiannya yaitu pendopo, peringgitan dan dalem. Di dalam Dalem ini terdapat pasren yang diapit dua senthong pada kiri dan kanannya.
Yang mana semuanya itu dapat disamakan dengan layout pada candi mendut itu sendiri yaitu makin ke dalam bangunan adalah wilayah yang suci dan sakral, pendopo adalah ruang depan candi dimana setiap orang dapat masuk kesana. Mayarakat jawa menerima tamu atau orang luar yang masuk ke dalam rumahnya di tempat ini, dan demikian juga dengan bangunan candi dimana setiap orang yang mau masuk harus melewati ruang ini dimana ia mulai diterima di dalamnya. Kemudian peringgitan yang merupakan tempat pemujaan dimana bertemunya orang rumah dengan tamu itu sendiri yang sudah masuk. Ruangan ini merupakan tempat umat Budha melakukan pemujaan kepada sang Budha. Tempat ini adalah tempat bertemunya yang ilahi dengan yang duniawi. Yaitu tempat dimana Budha juga dapat berkomunikasi dengan manusia, yang bagi masyrakat Jawa, Yang Ilahi itu adalah perwujudan dari pasren yang juga sama posisinya dengan Budha, yaitu berada di paling dalam bagunan.
Semakin dalam tempatnya, maka semakin sakral-lah tempat itu karena di dalamnya terdapat Yang Ilahi tersebut.
Bila melihat lebih jauh, Pasren ini berasal dari gabungan kata pas – sri – an . Sri ini pada masyarakat jawa yang adalah masyarakat pertanian, adalah Dewi Sri. Yaitu dewi padi, dewi kesuburan. Dewi ini menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari dunia atas sehingga terletak pada ruang sakral paling dalam. Dan hal ini ditampakkan juga dalam layout candi mendut itu sendiri, dimana Budha adalah merupakan bagian dari dunia atas sehingga terletak di bagian paling dalam candi, ruang sakral.
Demikian juga pada kata peringgitan yang berasal dari kata gabungan kata pe – ringgit – an. Disini, ringgit artinya adalah wayang. Sebagaimana yang kita ketahui, wayang adalah saat dimana terjadinya suatu perkawinan kosmik yang menghadirkan Yang Ilahi saat itu. Wayang menjadi semacam sarana kehadiran Yang Ilahi secara nyata sehingga terjadilah pertemuan tersebut.
Bila kita melihat secara seksama pada ketiga patung ini maka terdapat suatu perbedaan yang sangat mencolok. Patung Avalokitesvara dan Vajrapani sama-sama menaikan salah satu kakinya tetapi bertolak belakang, yang satu menaikkan kaki kirinya, dan yang lain, kaki kanannya. Demikian juga dengan posisi tangan yang berkebalikan satu sama lain. Tetapi bila melihat Budha yang diapitnya, dia dalam posisi sempurna.
Disini kita dapat mengambil dua tafsir dalam pemikiran primordial yaitu bahwa Budha menjadikan dua hal yang berada di sebelah kiri dan kanannya yang berseberangan dan berbalikan menjadi satu di dalam dirinya. Dua hal yang paradoks diharmonikan di tengah. Di sini, posisi sempurna Budha dapat juga dinyatakan sebagai bentuk sinergis dari perkawinan kosmis tersebut.
Tafsir lainnya adalah dengan melihat sevara lebih jelas pembagian dan peletakkan kedua patung tersbut di dalamkeseluruhan candi.
Dari gambar tersebut, sebenarnya sangat jelas sekali bagaimana dua patung di sisi Budha yang bertolak belakang itu sama dengan alam pemikiran Jawa. Yaitu Wayang. Di candi itu, dua paradoks tersebut dikawinkan dan diharmonikan oleh Budha yang ada di tengahnya. Demikian juga dengan wayang, dimana ia juga menaroh di sebelah kiri dan kanan dalang, wayang-wayang berjejeran tetapi saling bertolah belakang karena tidak ada yang semuanya menghadap ke kiri atau semuanya menghadap ke kanan.
Dalang, bagi masyarakat Jawa menjadi semacam pengantara manusia dengan Yang Transenden. Dalang melalui lakon yang dimainkannya dirasa memiliki kemampyuan untuk medatangkan daya-saya sinergis dari dua paradoks yang ditampilkan oleh arah wayang di sebelah kiri dan kanannya yang saling bertolak belakang satu-sama lain.
CANDI MENDUT
Berbicara tentang candi mendut, tidak bisa dipisahkan dengan candi yang ada di sekitarnya yaitu candi Borobudur dan candi Pawon. Candi Mendut berjarak kurang lebih 2.9 Km dari candi Borobudur. Melihat daerah ini, candi mendut tidaklah bisa dilepaskan dengan alam budaya Jawa Tengah yaitu pertanian. Alur pemikiran pertanian akan sangat menentukan dan memberi warna dalam memahami wujud, struktur, fungsi dan makna budaya candi tersebut.
Masyarakat Jawa hidup dengan bertani. Sawah merupakan buatan manusia dengan membuka hutan. Pertanian memerlukan banyak tenaga kerja dan sistem pengairan yang teratur. Hal ini melahirkan pengaturan yang sentralistik karena sawah pengairannya tidak berasal dari air hujan tetapi mengandalkan pengairan sungai. Kalau tidak ada yang mengatur maka satu sama lain akan saling berebut air untuk mengairi sawah mereka. Pengaturan itu bersifat memusat pada satu orang yang disebut ulu-ulu.
Sebagai masyarakat sawah, orang Jawa secara primordial menganut pembagian ruang keblat papat lima pancer, yaitu empat arah dengan satu pusat. Segala bidang kehidupan diatur sesuai dengan prinsip empat arah mata angin dan satu pusat di tengah-tengahnya. Pusat itu diyakini sebagai tempat berkonsentrasinya kekuasaan kosmik. Dan di candi mendut ini, empat arah mata angin akan sangat kentara dan mewarnai setiap aspek pemahaman kosmisnya, terlebih ditunjukkan oleh bentuk bangunan mendut sendiri.
BENTUK CANDI DAN PERBANDINGAN UKURANNYA
Bentuk candi mendut ini mau mengatakan mengenai pembagian kosmik masyarakat primordial yaitu ke dalam tiha bagian: kaki, badan dan kepala. Pembagian ini adalah sama dengan pembagian dunia bawah yaitu dunia dimana manusia itu tinggal, dunia atas dimana merupakan tempat sakral para dewa-dewa tinggal, dan dunia tengah sebagai tempat pertemuan dunia atas dan dunia bawah. Dan, di dunia tengah inilah, para pemuja melakukan pujiannya di dalam candi. Mereka berdoa dan melakukan peribadatan di tempat ini.
Hal ini mau mengatakan bahwa manusia yang adalah bagian dari dunia bawah dapat berhubungan dengan para dewa-dewa melalui dunia tengah itu sendiri yang ditunjukkan pada bagian mendut yang di tengah.
Selain itu, arsitek bangunan mendut ini selain dengan pembagian jelas kaki, badan dan kepala, ternyata juga menciptakan suatu rumusan perbandingan untuk setiap bagian itu. Perbandingan nya adalah 4 : 6 : 9 untuk ukuran bagian kaki, badan dan kepala candi.
Perbandingan ini mau menyatakan alam pemikiran primordial saat itu yaitu keblat papat lima pancer. Di sini tampak adanya 9 titik pada setiap ujungnya dengan 1 titik pusatnya di tengah. Hal ini pada candi mendut menunjuk pada dunia atas dimana adalah tempat yang sempurna dengan satu titik di tengahnya. Dan bila melihat perbandingan yang lainnya adalah 6 dan 3 adalah semuanya itu merupakan kelipatan bilangan 3. Dimana, makin ke bawah dunianya, maka akan semakin kecil juga pembagian tinggi bagian bangunannya. Dunia bawah adalah setengahnya dari dunia tengah atau badan candi. Dan Dunia atas adalah kelipatan tiga yang paling besar karena merupakan dunia dewa-dewa yang memang jauh lebih besar dan sakral daripada dunia bawah tempat manusia tinggal dan oleh dunia tengah.
Bentuk mandala ini adalah bagian dari dunia atas yang merupakan bentuk yang bagi masyarakat Jawa adalah bentuk yang sempurna mengingat adalah merupakan juga bentuk kembangan dari empat arah mata angin. Setiap cincin yang makin naik ke atas terdapat stupa kecil yang memilki perbandingan jumlah 8 , 16 dan 24. Perbandingan ini memilki makna yang tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Tetapi perlu dilihat kemali bahwa ini adalah bagian dari atap candi yang secara tidak langsung memakai model mengkerucut ke atas kepada satu titik di tengah.
Alam pemikiran masyarakat primordial adalah empat penjuru dengan satu titik di tengah sebagai pusatnya. Dan dalam atap ini mengkerucut ke atas sebagai pusat yang tertinggi sebagai bagian dari Yang Ilahi, yang satu dan transenden. Yang jika dibandingkan dengan dunia bawah sangat jauh sekali di bawahnya dengan semakin lebarnya permukaan. Hal ini menandakan pada dunia bawah sangat besar sekali cakupannya dan banyak sekali manusia yang ada pada duniwa bawah tersebut dan bergerak ke atas menuju yang Satu yang transenden itu.
Selain itu, bentuk kepala candi ini juga mau mengatakan tentang adanya suatu perkawinan kosmis antara dua hal yang bertentangan. Di dalam pemikiran primordial, perkawinan itu adalah antara bentuk penis dan vagina dan distukan di dalam bentuk yang mencangkup semuanya dan dianggap memiliki suatu daya magi tersendiri yang beitu hebatnya.
Kita dapat melihat bahwa ujung atap adalah seperti bentuk penis pria yang berdiri tegak, dan yang di bawahnya yang lebih besar adalah bentuk vagina. Menilik pada perkembangan bentuknya, maka sama seprti bentuk menhir yang berdiri dan bentuk dolmen yang tidur. Lalu disatukanlah kedua bentuk dalam perkembangannya dengan agama Budha.
Aug 26, 2008
tanda simbolik
Simbol adalah tanda dimana hubungan dengan objeknya ditentukan oleh konvensi, persetujuan ataupun aturan bersama. Simbol menunjuk pada objeknya melalui persetujuan sosial yang arbiter, sebagai contohnya adalah segala kata-kata yang biasa diucapkan seperti “memberi”, “burung”, “menikah”, adalah contoh dari simbol. Tanda simbol dipakai pada apapun yang mungkin ditemukan untuk merealisasikan ide agar berhubungan dengan kata; tetapi ini tidak mengidentifikasi hal-hal itu. Tanda ini tidak menunjukkan kita seekor burung ataupun menjadikannya ada sebelum mata kita mendapatkannya, ataupun juga tentang pernikahan, tetapi semua ini mengandaikan bahwa kita memiliki kemampuan untuk membayangkan segala hal itu dan bisa mengasosiasikan kata-kata yang diucapkan dengan itu semua. Contoh lainnya adalah bendera dan lampu lalu-lintas, dan juga jenis spesifik dari makanan, pakaian, tata gerak ataupun segala objek yang ada dalam sebuah kebudayaan tertentu.
Segitiga merah yang dipasang di jalan raya adalah sebuah simbol, dalam kesepakatan aturan lalu lintas, segitiga merah ini berarti “hati-hati”, pesan untuk berhati-hati. Contoh tanda simbolik dalam periklanan adalah logo dari perusahaan, hak paten, merek dari produk yang diiklankan ataupun bendera yang melambangkan sikap nasionalitas dari sebuah perusahaan ataupun produk yang diiklankan itu sendiri. Iklan Peugeot, sebagai contoh nyata yang menggunakan bendera Perancis untuk menunjukkan gambaran Perancis dalam iklan mobil. Iklan dari produk-produk olahraga Nike selalu dibubuhi dengan logo perusahaan berbentuk coretan kecil, dan semua tahu bahwa itu adalah lambang yang menyimbolkan perusahaan Nike itu sendiri.
Melalui Peirce, tanda memiliki kemungkinan fungsinya dalam tiga kapasitas tersebut (ikon, indeks dan simbol) tergantung dengan konteks ia berada. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa ada kemungkinan juga bahwa relasi yang terjadi di anatar ketiganya itu tidaklah bersifat mutual, tetapi bisa saja malah besifat hirarkis dalam artian salah satu dari ketiganya mendominasi yang lainnya. Apapun model dari hubungan ketiganya tergantung dari konteks dimana tanda itu terjadi.
Dalam periklanan, ikon, indeks dan model simbolik dalam gabungannya antara tanda dan objek seringkali terjalin. Contohnya adalah dalam sebuah iklan, ada gambar seorang pria memakai jas dan berpenampilan rapi, dia digambarkan membawa majalah bulanan yaitu Info Bank, Bisnis Indonesia, Swa, majalah bisnis, di sini, dengan membawa majalah itu ia telah menyerupai seorang pebisnis “business man” dalam tataran ikonik, demikian juga bahwa majalah itu termasuk dalam tataran indeksial yaitu mengacu kepada sebuah “investasi” atau “pasar finansial”, dan bahkan dalam tataran simbolik mengajak kita untuk melihatnya sebagai “kesuksesan finansial. Contoh lain dalam konteks itu juga dapat terlihat jelas dalam iklan-iklan saat ini, dimana hasil atau karya seni periklanan tersebut sungguh sangat ikonik, indeksial dan simbolik dalm hubungannya dengan produk yang diiklankannya sendiri.
Segitiga merah yang dipasang di jalan raya adalah sebuah simbol, dalam kesepakatan aturan lalu lintas, segitiga merah ini berarti “hati-hati”, pesan untuk berhati-hati. Contoh tanda simbolik dalam periklanan adalah logo dari perusahaan, hak paten, merek dari produk yang diiklankan ataupun bendera yang melambangkan sikap nasionalitas dari sebuah perusahaan ataupun produk yang diiklankan itu sendiri. Iklan Peugeot, sebagai contoh nyata yang menggunakan bendera Perancis untuk menunjukkan gambaran Perancis dalam iklan mobil. Iklan dari produk-produk olahraga Nike selalu dibubuhi dengan logo perusahaan berbentuk coretan kecil, dan semua tahu bahwa itu adalah lambang yang menyimbolkan perusahaan Nike itu sendiri.
Melalui Peirce, tanda memiliki kemungkinan fungsinya dalam tiga kapasitas tersebut (ikon, indeks dan simbol) tergantung dengan konteks ia berada. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa ada kemungkinan juga bahwa relasi yang terjadi di anatar ketiganya itu tidaklah bersifat mutual, tetapi bisa saja malah besifat hirarkis dalam artian salah satu dari ketiganya mendominasi yang lainnya. Apapun model dari hubungan ketiganya tergantung dari konteks dimana tanda itu terjadi.
Dalam periklanan, ikon, indeks dan model simbolik dalam gabungannya antara tanda dan objek seringkali terjalin. Contohnya adalah dalam sebuah iklan, ada gambar seorang pria memakai jas dan berpenampilan rapi, dia digambarkan membawa majalah bulanan yaitu Info Bank, Bisnis Indonesia, Swa, majalah bisnis, di sini, dengan membawa majalah itu ia telah menyerupai seorang pebisnis “business man” dalam tataran ikonik, demikian juga bahwa majalah itu termasuk dalam tataran indeksial yaitu mengacu kepada sebuah “investasi” atau “pasar finansial”, dan bahkan dalam tataran simbolik mengajak kita untuk melihatnya sebagai “kesuksesan finansial. Contoh lain dalam konteks itu juga dapat terlihat jelas dalam iklan-iklan saat ini, dimana hasil atau karya seni periklanan tersebut sungguh sangat ikonik, indeksial dan simbolik dalm hubungannya dengan produk yang diiklankannya sendiri.
tanda indeksikal
Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan dasar yang langsung dengan objeknya, dengan hubungan secara asosiatif ataupun kausalitas. Contohnya adalah asap yang merupakan tanda yang menunjuk pada api, lubang peluru pada dinding menunjuk pada sebutir peluru, bersin menunjuk pada flu, ketukan pintu menunjuk pada seseorang yang datang. Contoh indeks dalam tataran verbal adalah ungkapan pada kata-kata “ini”, “itu”, “yang di sana”, yang menunjuk pada posisi subjek dari kata yang diucapkannya. Dalam sebuah iklan, hubungan yang mungkin terjadi adalah antara produk dan objek , orang ataupun situasi tertentu yang dimaksud. Contohnya adalah model wanita langsing dalam sebuah iklan menjadi sebuah kesimpulan bahwa orang akan menjadi dan tetap langsing dengan memakai produk iklan itu (iklan Slimning Tea), atau warna kulit putih yang ditampilkan dalam iklan menjadi sebuah “demonstrasi” tersendiri akan efektivitas dari sebuah produk kosmetik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan indeksial ini berpotensi menjadi sebuah simbol. Contoh nyata adalah di dalam sebuah iklan berlian yang menggambarkan satu pasangan muda dengan cincin berlian. Lalu, ada teks yang bertulis “Dalam pertunangan, tidak ada lagi hal lain yang bisa menunjukkan cintamu selain dengan cincin berlian”. Di sini, diperlihatkan bahwa cincin adalah hubungan cinta yang sesungguhnya dan cincin itu sendiri menjadi sebuah simbol dari cinta.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan indeksial ini berpotensi menjadi sebuah simbol. Contoh nyata adalah di dalam sebuah iklan berlian yang menggambarkan satu pasangan muda dengan cincin berlian. Lalu, ada teks yang bertulis “Dalam pertunangan, tidak ada lagi hal lain yang bisa menunjukkan cintamu selain dengan cincin berlian”. Di sini, diperlihatkan bahwa cincin adalah hubungan cinta yang sesungguhnya dan cincin itu sendiri menjadi sebuah simbol dari cinta.
tanda ikonik?
Tanda-tanda ikonik adalah sesuatu yang kongkret dan berhubungan dengan objek melalui kemiripan dan kesamaannya. Ikonik bisa juga dilihat sebagai pembagian karakteristik di dalam kehidupan sehari-hari dengan objeknya. Contoh dari tanda-tanda ikonik yang dimaksud ini adalah sebuah maket, lukisan, diagram, fotografi ataupun gambar. Dalam hal ini, gambar seorang teman, lukisan sebuah gedung ataupun patung-patung termasuk di dalamnya. Contoh tanda-tanda ikonik dalam tataran verbal adalah tampak pada kata-kata onomatopoik seperti meong, aaumm, guk-guk. Fiske memberikan contoh lain bahwa suara dengungan yang berasal dari pohon-pohon tinggi yang menciptakan kata-kata yang menyerupai suara lebah-lebah. Ini juga adalah ikonik. Bahkan musik simfoni dari Beethoven dilihat mengandung ikon musikal berupa suara-suara alam. Contoh nyata tanda-tanda ikonik dalam periklanan adalah fotografi atau gambar dari sebuah produk, komponen-komponen produk atau unsur-unsurnya. Di dalam iklan, segala hal seperti sebuah sup yang hangat, minuman yang dingin dan unsur-unsur yang “segar” lain dilukiskannya. Contoh lain dalam penggunaan tanda-tanda ikonik dalam periklanan adalah pelukisan atau penggambaran sosok yang sudah terkenal seperti Michael Jackson dan Madonna dalam iklan Pepsi Cola, Dian Sastro Wardoyo dalam iklan sabun Lux, Brooke Shields dalam iklan jean Calvin Klein, Tiger Woods dalam iklan jam tangan Rolex dan bahkan sosok mantan presiden Soekarno dalam iklan sebuah partai politik dan lain-lainnya.
apa itu tanda?
Setiap hari, kita selalu berhadapan dengan tanda-tanda. Contohnya, bahasa yang kita pakai, koran yang kita baca atau musik yang kita dengar, papan iklan, lampu lalu lintas, makanan, furniture, gerak tubuh, gaya rambut dan pakaian, semua itu disadari sebagai representasi dari sistem tanda-tanda di dalam masyarakat . Kenyataannya, segala hal yang dapat menghasilkan sebuah makna dapat dipahami sebagai sebuah tanda.
Melalui perspektif linguistik, De Saussure mendefinisikan tanda sebagai relasi yang didaktis antara signifier dan signified . Signifier adalah gambar dari tanda yang kita terima (seperti sebuah kata pada sebuah kertas atau suara di udara), contohnya, kata yang diucapkan seperti “mobil”. Di sini, signifier adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan signified adalah konsep mental yang menjadi acuan signifier, pada contoh ini adalah konsep mental dari mobil itu sendiri. Perlu diperhatikan bahwa dalam tanda bahasa, kedua unsur ini tidak bisa dilepaskan. Tanda bahasa selalu memiliki dua segi ini dimana suatu signifier tanda signified tidak berarti apa-apa karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu Signified tidak mungkin disampaikan atau ditangkap tanpa Signifier.
Mengacu pada Saussure, tidak ada hubungan yang logis antara Signifier dan Signified. Dia melihat bahwa relasi diantara keduanya ini bersifat arbiter, tidak memiliki motivasi dan tidak alamiah. Tidak ada hubungan natural antara huruf “k” dan apa yang ditunjukkan huruf itu, atau antara bunyi “rumah” dan apa yang ditunjukkan bunyi tersebut. Contoh lainnya adalah kata “anjing” (Signifier) yang merujuk pada konsep mental seekor binatang (Signified) dan juga bisa merujuk pada hal lain yang telah ditentukan di dalam masyarakat.
Saussure menawarkan pemahaman mengenai makna, bahwa bahasa itu dibentuk dari relasi dan interaksi antara kata-kata, seperti melawan cara pandang tradisional dalam ilmu bahasa, dimana bahasa dipandang sebagai kumpulan dari kata-kata yang terpisah, dimana masing-masing kata itu memiliki makna yang jelas berbeda. Bahkan, semakin tampak bahwa bukan isi (content) yang menentukan sebuah makna tetapi justru relasi (relation) dengan beberapa macam sistemlah yang menentukan sebuah pemaknaan . Di sini, konsep sungguh terbedakan dan terdefinisikan tidak melalui isi yang positif tetapi secara negatif melalui relasi mereka dengan terminologi lainnya di dalam sebuah sistem.
Sebagai contoh pertama, mari kita lihat kata “laki-laki”, yang memiliki makna “bukan perempuan”, “bukan anak-anak” atau “bukan hewan”. Contoh lainnya, dalam permainan catur, kita tidak perlu tahu darimana permainan ini berasal untuk bermain catur. Asal-usul permainan catur tidak relevan untuk memahami permainaan catur itu sendiri, bahkan dari bahan apa buah catur ini dibuat tidak menyumbangkan sesuatu pun untuk dimengerti. Permainan catur merupakan suatu sistem relasi-relasi di mana setiap buah catur mempunyai fungsinya. Dan sistem itu dikonstitusikan oleh aturan-aturannya. Mengubah aturan untuk menggerakkan kuda berarti mengubah seluruh sistem. Demikian juga dalam bahasa, bahan darimana bahasa itu terdiri tidak mempunyai peranan, yang penting ialah aturan yang mengkonstitusikannya dan susunan unsur-unsur dalam hubungannya satu dengan yang lain. Hal penting adalah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu sendiri. Melalui titik pandang ini, tampak bahwa makna dari sebuah tanda (sign) ditentukan oleh “nilai” dalam dirinya yang membedakanya dengan tanda-tanda yang lain.
Selain Saussure, seorang filsuf Amerika bernama Charles Sanders Peirce mengembangkan teori-teori tentang tanda-tanda dengan menggunakan landasan berpikir logika dan filosofis dengan menjelaskan mengenai proses dari suatu tanda dalam terminologi relasionalitas. Bagaimanapun juga, berbeda dengan relasi didaktis De Saussure, Peirce berbicara mengenai relasi triadik. Memberi tambahan kepada relasi didaktis Saussure akan tanda fisik dan konsep mental, Peirce membedakan “objek” atau makna eksternal (realitas) dengan apa yang dituju atau dimaksudkan oleh tanda itu sendiri. Peirce mendefinisikan tanda sebagai,
“something which stands to somebody for something in some respects or capacity”.
Dengan kata lain, tanda yang dimaksud di sini adalah segala hal yang ada untuk sesuatu yang lain (objek), untuk orang lain (pengamat dan penafsir) dalam beberapa cara dan beberapa hal (latar belakang teks atau konteksnya). Melalui definisi ini, tampak ada dua karakter penting dari tanda yaitu karakter representatif dan interpretatif. Tanda selalu merepresentasi sesuatu yang lain (objek). Objek ini bisa dalam bentuk apapun; nyata ataupun tidak nyata, riil ataupun hanya khayalan saja, semua itu ditunjukkan oleh sebuah tanda. Contohnya, sebuah lukisan atau gambar dari gelas bir (tanda) merepresentasikan gelas bir yang sesungguhnya (objek). Bagaimananpun juga, sebuah gambar hanya bekerja sebagai tanda apabila gambar itu diperhatikan atau diinterpretasikan oleh seseorang. Di sini, konsep mental dari sebuah gelas bir yang ada di dalam benak pemerhati (“interpretant”) sangat mungkin terlihat sebagai sebuah hasil interpretasi itu sendiri. Padahal, perlu dicatat bahwa interpretant itu tidaklah sama dengan penafsir (interpreter), interpretant ini adalah reaksi penerima atas tanda yang merupakan hasil dari interpretasi itu sendiri (sebuah efek dalam benak pemakai tanda). Interpretasi atas tanda tergantung pada latar belakang dan konteks dimana tanda itu berada. Contohnya, sebuah gambar mawar berwarna merah mungkin akan menunjuk pada maksud sebuah bunga yang kongkrit yang ada di sebuah pot bunga atau di lain hal menunjuk pada objek yang abstrak, yaitu cinta atau hasrat romantis, semua itu tergantung dengan bagaimana cara ia berada dan dalam konteks tertentu apa.
Secara ringkas, mengacu pada Peirce, tanda terdiri dari tiga elemen: pertama, tanda yang tampak (bandingkan dengan “Signifier” Saussure), kedua, objek dimana tanda menunjuk, ketiga, “interpretant” dimana tanda lain dalam pikiran dan benak penerima, konsep mental yang dihasilkan oleh tanda dan pengalaman penerima objek sendiri. Interpretant dari sebuah kata “sekolah” dalam beberapa konteks dapat dijadikan sebagai sebuah hasil akhir dari pengalaman seseorang, si penerima kata tersebut, dan dari pengalamannya akan sebuah institusi yang disebut sebagai “sekolah”, sebagai objek (konsep mental yang dapat dibandingkan dengan “the Signified” De Saussure).
Baik Peirce dan Saussure mencoba untuk menjelaskan dengan cara yang berbeda akan makna yang dibawa dalam tanda-tanda. Di sini, Peirce membedakan tiga macam relasi antara tanda dan objek yaitu ikon, indeks, dan simbol. Terminologi ikonik dan relasi arbiter antara Signifier dan Signified Saussurian sangat cocok dengan pemahaman “ikon” dan “simbol” menurut Peirce.
Melalui perspektif linguistik, De Saussure mendefinisikan tanda sebagai relasi yang didaktis antara signifier dan signified . Signifier adalah gambar dari tanda yang kita terima (seperti sebuah kata pada sebuah kertas atau suara di udara), contohnya, kata yang diucapkan seperti “mobil”. Di sini, signifier adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan signified adalah konsep mental yang menjadi acuan signifier, pada contoh ini adalah konsep mental dari mobil itu sendiri. Perlu diperhatikan bahwa dalam tanda bahasa, kedua unsur ini tidak bisa dilepaskan. Tanda bahasa selalu memiliki dua segi ini dimana suatu signifier tanda signified tidak berarti apa-apa karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu Signified tidak mungkin disampaikan atau ditangkap tanpa Signifier.
Mengacu pada Saussure, tidak ada hubungan yang logis antara Signifier dan Signified. Dia melihat bahwa relasi diantara keduanya ini bersifat arbiter, tidak memiliki motivasi dan tidak alamiah. Tidak ada hubungan natural antara huruf “k” dan apa yang ditunjukkan huruf itu, atau antara bunyi “rumah” dan apa yang ditunjukkan bunyi tersebut. Contoh lainnya adalah kata “anjing” (Signifier) yang merujuk pada konsep mental seekor binatang (Signified) dan juga bisa merujuk pada hal lain yang telah ditentukan di dalam masyarakat.
Saussure menawarkan pemahaman mengenai makna, bahwa bahasa itu dibentuk dari relasi dan interaksi antara kata-kata, seperti melawan cara pandang tradisional dalam ilmu bahasa, dimana bahasa dipandang sebagai kumpulan dari kata-kata yang terpisah, dimana masing-masing kata itu memiliki makna yang jelas berbeda. Bahkan, semakin tampak bahwa bukan isi (content) yang menentukan sebuah makna tetapi justru relasi (relation) dengan beberapa macam sistemlah yang menentukan sebuah pemaknaan . Di sini, konsep sungguh terbedakan dan terdefinisikan tidak melalui isi yang positif tetapi secara negatif melalui relasi mereka dengan terminologi lainnya di dalam sebuah sistem.
Sebagai contoh pertama, mari kita lihat kata “laki-laki”, yang memiliki makna “bukan perempuan”, “bukan anak-anak” atau “bukan hewan”. Contoh lainnya, dalam permainan catur, kita tidak perlu tahu darimana permainan ini berasal untuk bermain catur. Asal-usul permainan catur tidak relevan untuk memahami permainaan catur itu sendiri, bahkan dari bahan apa buah catur ini dibuat tidak menyumbangkan sesuatu pun untuk dimengerti. Permainan catur merupakan suatu sistem relasi-relasi di mana setiap buah catur mempunyai fungsinya. Dan sistem itu dikonstitusikan oleh aturan-aturannya. Mengubah aturan untuk menggerakkan kuda berarti mengubah seluruh sistem. Demikian juga dalam bahasa, bahan darimana bahasa itu terdiri tidak mempunyai peranan, yang penting ialah aturan yang mengkonstitusikannya dan susunan unsur-unsur dalam hubungannya satu dengan yang lain. Hal penting adalah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu sendiri. Melalui titik pandang ini, tampak bahwa makna dari sebuah tanda (sign) ditentukan oleh “nilai” dalam dirinya yang membedakanya dengan tanda-tanda yang lain.
Selain Saussure, seorang filsuf Amerika bernama Charles Sanders Peirce mengembangkan teori-teori tentang tanda-tanda dengan menggunakan landasan berpikir logika dan filosofis dengan menjelaskan mengenai proses dari suatu tanda dalam terminologi relasionalitas. Bagaimanapun juga, berbeda dengan relasi didaktis De Saussure, Peirce berbicara mengenai relasi triadik. Memberi tambahan kepada relasi didaktis Saussure akan tanda fisik dan konsep mental, Peirce membedakan “objek” atau makna eksternal (realitas) dengan apa yang dituju atau dimaksudkan oleh tanda itu sendiri. Peirce mendefinisikan tanda sebagai,
“something which stands to somebody for something in some respects or capacity”.
Dengan kata lain, tanda yang dimaksud di sini adalah segala hal yang ada untuk sesuatu yang lain (objek), untuk orang lain (pengamat dan penafsir) dalam beberapa cara dan beberapa hal (latar belakang teks atau konteksnya). Melalui definisi ini, tampak ada dua karakter penting dari tanda yaitu karakter representatif dan interpretatif. Tanda selalu merepresentasi sesuatu yang lain (objek). Objek ini bisa dalam bentuk apapun; nyata ataupun tidak nyata, riil ataupun hanya khayalan saja, semua itu ditunjukkan oleh sebuah tanda. Contohnya, sebuah lukisan atau gambar dari gelas bir (tanda) merepresentasikan gelas bir yang sesungguhnya (objek). Bagaimananpun juga, sebuah gambar hanya bekerja sebagai tanda apabila gambar itu diperhatikan atau diinterpretasikan oleh seseorang. Di sini, konsep mental dari sebuah gelas bir yang ada di dalam benak pemerhati (“interpretant”) sangat mungkin terlihat sebagai sebuah hasil interpretasi itu sendiri. Padahal, perlu dicatat bahwa interpretant itu tidaklah sama dengan penafsir (interpreter), interpretant ini adalah reaksi penerima atas tanda yang merupakan hasil dari interpretasi itu sendiri (sebuah efek dalam benak pemakai tanda). Interpretasi atas tanda tergantung pada latar belakang dan konteks dimana tanda itu berada. Contohnya, sebuah gambar mawar berwarna merah mungkin akan menunjuk pada maksud sebuah bunga yang kongkrit yang ada di sebuah pot bunga atau di lain hal menunjuk pada objek yang abstrak, yaitu cinta atau hasrat romantis, semua itu tergantung dengan bagaimana cara ia berada dan dalam konteks tertentu apa.
Secara ringkas, mengacu pada Peirce, tanda terdiri dari tiga elemen: pertama, tanda yang tampak (bandingkan dengan “Signifier” Saussure), kedua, objek dimana tanda menunjuk, ketiga, “interpretant” dimana tanda lain dalam pikiran dan benak penerima, konsep mental yang dihasilkan oleh tanda dan pengalaman penerima objek sendiri. Interpretant dari sebuah kata “sekolah” dalam beberapa konteks dapat dijadikan sebagai sebuah hasil akhir dari pengalaman seseorang, si penerima kata tersebut, dan dari pengalamannya akan sebuah institusi yang disebut sebagai “sekolah”, sebagai objek (konsep mental yang dapat dibandingkan dengan “the Signified” De Saussure).
Baik Peirce dan Saussure mencoba untuk menjelaskan dengan cara yang berbeda akan makna yang dibawa dalam tanda-tanda. Di sini, Peirce membedakan tiga macam relasi antara tanda dan objek yaitu ikon, indeks, dan simbol. Terminologi ikonik dan relasi arbiter antara Signifier dan Signified Saussurian sangat cocok dengan pemahaman “ikon” dan “simbol” menurut Peirce.
semiotika
Sebagai sebuah terminologi, semiotika (Yunani: σημειώτικος, sēmeiōtikos, sebuah interpretasi atas tanda-tanda) dapat dikatakan secara harafiah sebagai “ilmu tentang tanda-tanda”. Semiotika ini juga mengarah kepada bentuk teori atas tanda-tanda dimana termasuk juga di dalammnya adalah studi atas tanda dan sistem tanda-tanda itu sendiri dalam usaha untuk menerangkan permasalahan komunikasi dan pemaknaan yang ada . Semiotika menjadi sebuah studi yang memfokuskan diri pada perubahan pesan-pesan dan sistem dari tanda-tanda yang membawahi semuanya itu. Dalam arti lain, topik sentral pada semiotika ini terletak pada fungsi dari tanda-tanda dan proses dari pemaknaannya.
Dalam perkembangan semiotika saat ini, secara umum kita dapat mengacu pada filsuf Amerika , yaitu Charles Sanders Peirce dan seorang ahli bahasa dari Swedia, Ferdinand de Saussure. Peirce (1839-1914) mengembangkan teori umum atas tanda-tanda berdasar pada latar belakang logika dan filosofis, yang ia sebut sebagai semiotika. De Saussure (1857-1913) mengembangkan teori mengenai tanda-tanda berdasarkan perspektif linguistik. Dia mengatakan bahwa linguistik (sebagai sebuah sistem tanda-tanda) haruslah secara nyata disadari sebagai sebuah fenomena sosial, sebuah bagian yang integral dari pengetahuan akan tanda-tanda yang lebih besar di dalam masyarakat, Saussure menyebut terminologi dasar akan hal ini dengan sebutan semiologi. Di sini, terminologi “semiotik” dalam tradisi Peirce dan “semiologi” dalam tradisi De Saussure memiliki perbedaan dan kemiripan yang sama banyaknya.
Bagaimanapun juga, kedua terminologi tersebut secara umum digunakan dalam pemahaman dan pengertian yang sama. Dalam tulisan ini, konsep semiotik dan semiologi dipakai, tetapi hanya satu terminologi saja yang digunakan untuk memudahkan pemahaman yaitu semiotik.
Selain itu, salah seorang ahli semiotika, Roland Barthes, mengembangkan gagasan-gagasan Saussure tadi dan mencoba menerapkan kajian tanda-tanda secara lebih luas lagi. Melalui sebuah karir yang produktif dalam banyak fase kebudayaan, Barthes memasukkan fesyen, fotografi, sastra, majalah dan musik. Salah satu keasikkan utamanya yang akan menjadi diskusi dalam tulisan ini adalah akan : ”Bagaimana makna masuk ke dalam citra / image?” , yang secara khusus dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ke dalam iklan. Dan itulah kunci dari semiotika: tentang bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana kita sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. Meski, bukan berarti bahwa pembaca selalu mendapatkan makna yang harus dan selalu sama dari sesuatu yang ditempatkan oleh penciptanya.
Dalam perkembangan semiotika saat ini, secara umum kita dapat mengacu pada filsuf Amerika , yaitu Charles Sanders Peirce dan seorang ahli bahasa dari Swedia, Ferdinand de Saussure. Peirce (1839-1914) mengembangkan teori umum atas tanda-tanda berdasar pada latar belakang logika dan filosofis, yang ia sebut sebagai semiotika. De Saussure (1857-1913) mengembangkan teori mengenai tanda-tanda berdasarkan perspektif linguistik. Dia mengatakan bahwa linguistik (sebagai sebuah sistem tanda-tanda) haruslah secara nyata disadari sebagai sebuah fenomena sosial, sebuah bagian yang integral dari pengetahuan akan tanda-tanda yang lebih besar di dalam masyarakat, Saussure menyebut terminologi dasar akan hal ini dengan sebutan semiologi. Di sini, terminologi “semiotik” dalam tradisi Peirce dan “semiologi” dalam tradisi De Saussure memiliki perbedaan dan kemiripan yang sama banyaknya.
Bagaimanapun juga, kedua terminologi tersebut secara umum digunakan dalam pemahaman dan pengertian yang sama. Dalam tulisan ini, konsep semiotik dan semiologi dipakai, tetapi hanya satu terminologi saja yang digunakan untuk memudahkan pemahaman yaitu semiotik.
Selain itu, salah seorang ahli semiotika, Roland Barthes, mengembangkan gagasan-gagasan Saussure tadi dan mencoba menerapkan kajian tanda-tanda secara lebih luas lagi. Melalui sebuah karir yang produktif dalam banyak fase kebudayaan, Barthes memasukkan fesyen, fotografi, sastra, majalah dan musik. Salah satu keasikkan utamanya yang akan menjadi diskusi dalam tulisan ini adalah akan : ”Bagaimana makna masuk ke dalam citra / image?” , yang secara khusus dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ke dalam iklan. Dan itulah kunci dari semiotika: tentang bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana kita sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. Meski, bukan berarti bahwa pembaca selalu mendapatkan makna yang harus dan selalu sama dari sesuatu yang ditempatkan oleh penciptanya.
Iklan...
Dewasa ini, kita senatiasa dibanjiri oleh beragam informasi. Entah itu penting atau tidak, perlu atau tidak perlu, baik atau tidak baik menjadi sebuah kategori-kategori yang ternyata tidak patut lagi untuk dipertanyakan. Tepatnya adalah bahwa informasi-informasi tersebut membanjiri kita dan menyeret kita pada sebuah keadaan dimana kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa dunia dimana kita tinggal ini selalu berubah dan berganti dengan cepatnya. Segala hal yang kita hadapi senantiasa berubah. Perubahan-perubahan itu semakin menjadi jelas ketika iklan menjadi sebuah alat perkasa yang dipakai oleh banyak pihak untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut. Setiap hari kita disuguhi oleh iklan telepon seluler model terbaru dengan beragam fitur dan kelebihan yang memanjakan kita. Bahkan, setiap kali kita juga diberondong oleh iklan dari produk-produk terbaru yang konon dapat membuat kita nyaman dan tenteram.
Informasi-informasi yang dibungkus dalam bentuk iklan senantiasa menjadi makanan wajib yang harus kita telan setiap hari tanpa sempat kita kunyah terlebih dahulu. Akibatnya, kita bahkan tidak sempat menyadari dan mengetahui apa yang sudah kita telan itu sendiri. Padahal, iklan secara tidak langsung telah membentuk cara berpikir dan mengarahkan sebuah proses makna tertentu dalam diri setiap orang yang menerimanya, entah itu secara sadar maupun tidak.
Iklan tidak lagi sekadar sebuah informasi tentang barang dagangan yang dijual, iklan tidak lagi sekadar tulisan humor untuk menarik perhatian bagi produk sebuah perusahaan. Iklan bisa menjadi lebih dari sekadar itu semua, di satu sisi dia adalah pemberi penjelasan sebuah produk kecantikan, tetapi di satu sisi dia adalah juga penentu paradigma berpikir akan makna kulit putih serta tubuh langsing pada konsep kecantikan setiap wanita. Dia adalah pemberi gambaran salah satu gaya hidup koboy di Amerika jaman dulu dengan kuda dan bantengnya, sekaligus adalah pembentuk identitas maskulinitas dengan beragam atributnya. Iklan hanya sekadar informasi barang dagangan yang tampil setiap sepuluh menit di televisi, tetapi sekaligus juga menjadi penentu keputusan konsumen ketika berbelanja karena di kepalanya terlalu sering melihat barang tersebut di televisi.
Beragam kritik filosofis dan praktis yang senantiasa hadir mengiringi kesuksesan iklan dalam peranannya di tengah-tengah peradaban manusia menjadi sebuah hal yang sangat wajar dan sekaligus menunjukkan bahwa iklan dalam kehidupan modern saat ini menjadi sedemikian penting dan diperhitungkannya.
Iklan menjadi sebuah karya manusia yang harus diwaspadai, diawasi bahkan harus dicurigai karena ternyata memang tidak dapat dipungkiri bahwa beragam efek negatif dari iklan selalu hadir dan ada dalam kehidupan manusia. Kemampuan reflektif dan pemaknaan manusia semakin menyadari semua hal itu. Proses makna yang dihadirkan dan dihasilkan oleh iklan yang dibuat oleh manusia sendiri justru menjadi semacam bumerang yang menyerang manusia; yang menentukan dan bahkan menjerumuskan manusia untuk ikut dalam kerangka berpikir iklan tersebut. Dengan kata lain, ketika kita tidak mengikuti paradigma berpikir yang ada dalam kehidupan sekarang, yang memang ditentukan oleh iklan, kita dianggap bukan sebagai manusia yang normal. Bagaimana jadinya bila kita mendefinisikan wanita cantik adalah wanita yang hitam, gemuk berlemak, berambut gimbal, sementara iklan yang kita terima setiap hari dengan definisi wanita cantik yang ia tawarkan menampilkan modelnya yang langsing, putih, kurus terus membanjiri ranah berpikir kita tanpa henti? Di sini, iklan sungguh negatif.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ketika semua hal tersebut dilihat dari cara berbikir yang berbeda, iklan sungguh menjadi sebuah potensi positif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tidak ada yang salah dalam iklan, yang menjadikannya melulu hanya negatif adalah perbedaan cara berpikir saja yang selalu mengarahkan kita pada sebuah perspektif yang hanya negatif dan melupakan beragam sisi lain yang sesunguhnya menunjukkan potensi positif yang jauh lebih besar.
Tidak ada yang salah dalam iklan. Demikianlah adanya, sejak dari perencanaannya, dunia iklan melakukan riset memadai mengenai perilaku manusia; perilaku konsumen, impuls-impulsnya, dan itu yang akan dieksploitasi dalam strategi pengiklanan. Dengan bahasa iklan yang memang adalah bahasa rayuan, menjustifikasi dan mendorong impuls mengonsumsi memang seakan-akan negatif ketika dibandingkan dengan bahasa jurnalistik atau akademik yang mempertanyakan, mengusik dan menggugat.
Dalam kerangka relasinya dengan kebudayaan, iklan ternyata sungguh membangun. Entah dalam tataran filosofis maupun praktis, iklan memberikan sumbangsih yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan, penciptaan proses makna yang dihadirkan oleh iklan itu sendiri tidak dapat dipungkiri tidak selalu negatif, bahkan, pergerakan gaya komunikasi iklan akhir-akhir ini justru menunjukkan hal yang sangat positif. Pesan-pesan moral, spiritual dan sosial menjadi tema-tema yang secara nyata sangat mudah kita temui dalam kehidupan kita sekarang ini dalam beragam iklan yang hadir entah itu di televisi, media cetak maupun papan-papan iklan di pinggir jalan.
Upaya reinterpretasi akan iklan ini ternyata memberikan udara yang sangat segar dan memberikan pencerahan tertentu terhadap pemahaman kita akan iklan yang kita hadapi dalam kehidupan kita setiap hari.
Informasi-informasi yang dibungkus dalam bentuk iklan senantiasa menjadi makanan wajib yang harus kita telan setiap hari tanpa sempat kita kunyah terlebih dahulu. Akibatnya, kita bahkan tidak sempat menyadari dan mengetahui apa yang sudah kita telan itu sendiri. Padahal, iklan secara tidak langsung telah membentuk cara berpikir dan mengarahkan sebuah proses makna tertentu dalam diri setiap orang yang menerimanya, entah itu secara sadar maupun tidak.
Iklan tidak lagi sekadar sebuah informasi tentang barang dagangan yang dijual, iklan tidak lagi sekadar tulisan humor untuk menarik perhatian bagi produk sebuah perusahaan. Iklan bisa menjadi lebih dari sekadar itu semua, di satu sisi dia adalah pemberi penjelasan sebuah produk kecantikan, tetapi di satu sisi dia adalah juga penentu paradigma berpikir akan makna kulit putih serta tubuh langsing pada konsep kecantikan setiap wanita. Dia adalah pemberi gambaran salah satu gaya hidup koboy di Amerika jaman dulu dengan kuda dan bantengnya, sekaligus adalah pembentuk identitas maskulinitas dengan beragam atributnya. Iklan hanya sekadar informasi barang dagangan yang tampil setiap sepuluh menit di televisi, tetapi sekaligus juga menjadi penentu keputusan konsumen ketika berbelanja karena di kepalanya terlalu sering melihat barang tersebut di televisi.
Beragam kritik filosofis dan praktis yang senantiasa hadir mengiringi kesuksesan iklan dalam peranannya di tengah-tengah peradaban manusia menjadi sebuah hal yang sangat wajar dan sekaligus menunjukkan bahwa iklan dalam kehidupan modern saat ini menjadi sedemikian penting dan diperhitungkannya.
Iklan menjadi sebuah karya manusia yang harus diwaspadai, diawasi bahkan harus dicurigai karena ternyata memang tidak dapat dipungkiri bahwa beragam efek negatif dari iklan selalu hadir dan ada dalam kehidupan manusia. Kemampuan reflektif dan pemaknaan manusia semakin menyadari semua hal itu. Proses makna yang dihadirkan dan dihasilkan oleh iklan yang dibuat oleh manusia sendiri justru menjadi semacam bumerang yang menyerang manusia; yang menentukan dan bahkan menjerumuskan manusia untuk ikut dalam kerangka berpikir iklan tersebut. Dengan kata lain, ketika kita tidak mengikuti paradigma berpikir yang ada dalam kehidupan sekarang, yang memang ditentukan oleh iklan, kita dianggap bukan sebagai manusia yang normal. Bagaimana jadinya bila kita mendefinisikan wanita cantik adalah wanita yang hitam, gemuk berlemak, berambut gimbal, sementara iklan yang kita terima setiap hari dengan definisi wanita cantik yang ia tawarkan menampilkan modelnya yang langsing, putih, kurus terus membanjiri ranah berpikir kita tanpa henti? Di sini, iklan sungguh negatif.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa ketika semua hal tersebut dilihat dari cara berbikir yang berbeda, iklan sungguh menjadi sebuah potensi positif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tidak ada yang salah dalam iklan, yang menjadikannya melulu hanya negatif adalah perbedaan cara berpikir saja yang selalu mengarahkan kita pada sebuah perspektif yang hanya negatif dan melupakan beragam sisi lain yang sesunguhnya menunjukkan potensi positif yang jauh lebih besar.
Tidak ada yang salah dalam iklan. Demikianlah adanya, sejak dari perencanaannya, dunia iklan melakukan riset memadai mengenai perilaku manusia; perilaku konsumen, impuls-impulsnya, dan itu yang akan dieksploitasi dalam strategi pengiklanan. Dengan bahasa iklan yang memang adalah bahasa rayuan, menjustifikasi dan mendorong impuls mengonsumsi memang seakan-akan negatif ketika dibandingkan dengan bahasa jurnalistik atau akademik yang mempertanyakan, mengusik dan menggugat.
Dalam kerangka relasinya dengan kebudayaan, iklan ternyata sungguh membangun. Entah dalam tataran filosofis maupun praktis, iklan memberikan sumbangsih yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahkan, penciptaan proses makna yang dihadirkan oleh iklan itu sendiri tidak dapat dipungkiri tidak selalu negatif, bahkan, pergerakan gaya komunikasi iklan akhir-akhir ini justru menunjukkan hal yang sangat positif. Pesan-pesan moral, spiritual dan sosial menjadi tema-tema yang secara nyata sangat mudah kita temui dalam kehidupan kita sekarang ini dalam beragam iklan yang hadir entah itu di televisi, media cetak maupun papan-papan iklan di pinggir jalan.
Upaya reinterpretasi akan iklan ini ternyata memberikan udara yang sangat segar dan memberikan pencerahan tertentu terhadap pemahaman kita akan iklan yang kita hadapi dalam kehidupan kita setiap hari.
Subscribe to:
Posts (Atom)