Kemandirian, dasar martabat bangsa
Ide dan Tekad Mandiri
Ide dan Tekad MandiriMenimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat manifesto: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun.
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat…
Menolak Subordinasi dan Humiliasi
Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, ada!ah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut kemerdekaan dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.
Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidarig kehidupan. Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi - menegakkan emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian yang melimpah ruah.
Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indonesia dari posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera
Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta
Sejak awal kemerdekaan Mohammad Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah (1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir mi menunjukkan banwa globalisasi telah sejak awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak tahun 1934
Bagi Mohammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Kemandirian bermakna dapat menentukan nasib diri sendiri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehilangan harga diri. Lebih dari itu terbentuk pula kekaguman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman birokrasi terhadap ideologi pasar-bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkah laku budaya sebagai “pangreh” ini makin memperpuruk diri. Dari “lengah misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya
Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia
Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dan “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.
Pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan diIndonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi hutang luar negeri ( Tracee Baru, Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap hutang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementerjadi bersifat sementara dan pelengkap Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi
Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya
Seperti dikemukakan, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.
Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang kita tolak adalah pasar-bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions, disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.
Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.
Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.
Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa, masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri. Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya, menyandang nilai-nilai “abadi” ini
Paham kemandirian, sebagai lawan dan ketergantungan, menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.
Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts; Pertama, melalui usaha sendiri masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada luar-negeri.
Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya.
Ketiga, bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora internasional yang menentang ketidakadilan inheren dan globalisasi, yang menyadari perlunya berbagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara berkembang.Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.
Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ide dan Tekad Mandiri
Ide dan Tekad MandiriMenimba pemikiran di zaman prakemerdekaan di awal tulisan ini merupakan titik tolak untuk meninjau relevansinya terhadap masa kini, meninjau kadar kekiniannya. Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1921 memantapkan diri sebagai perhimpunan politik yang kemudian sangat berperan-menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perkembangan politik di Hindia Belanda mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Dari pernyataan Perhimpunan Indonesia tahun 1923 dan tahun 1925 itu, dapat ditarik hakikat manifesto: (1) perjuangan memperoleh otonomi, mencapai kemerdekaan Indonesia, (2) pemerintahan yang dipegang dan dipilih oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) kesatuan sebagai syarat perjuangan mencapai tujuan, (4) menolak bantuan dari pihak penjajah atau pihak lain manapun.
Dari tulisan monumental Mohammad Hatta mengenai faham kebangsaan dan kerakyatan, sekali lagi Mohammad Hatta menegaskan bahwa:
“...Supaya tercapai suatu masyarakat yang berdasar Keadilan dan Kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya. Kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaimana ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat…
Menolak Subordinasi dan Humiliasi
Kemandirian telah menjadi tuntutan politis bagi Indonesia Merdeka. Kemandirian adalah bagian integral dan makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, ada!ah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut kemerdekaan dari ketertaklukan, dari humiliasi dan dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural. Mencapai kemandirian menjadi penegakan misi suci yang kodrati.
Masa jajahan adalah masa subordinasi, diskriminasi dan humiliasi di segala bidarig kehidupan. Mengakhiri masa jajahan adalah mengakhiri subordinasi dan diskriminasi - menegakkan emansipasi. Oleh karena itu untuk mengakhiri kejahatan sosial-politik, sosial-kultural dan sosial-ekonomi itu, tidak ada istilah “belum matang” untuk merdeka.
Selanjutnya Mohammad Hatta dengan tepatnya menyatakan bahwa mungkin karena negara-negara yang menjadi merdeka dan berdaulat itu gurun pasirnya tidak dapat menghasilkan minyak, tembakau ataupun gula dan seterusnya. Jelaslah bahwa “tidak masak” untuk memerintah sendiri adalah karena adanya kekayaan di bawah bumi dan produk-produk pertanian yang melimpah ruah.
Dengan demikian itu maka setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dan berdaulat dalam politik, di bidang ekonomi Mohammad Hatta menegaskan perlunya terselenggara kemandirian ekonomi dengan cara segera merestruktur perekonomian Indonesia, merubah Indonesia dari posisi “export economie” di masa jajahan, yang menempatkan Hindia Belanda sebagai onderneming besar dan penyediaan buruh murah dengan cara-cara eksploitatif, menjadi perekonomian yang mengutamakan peningkatan tenaga beli rakyat dan menghidupkan tenaga produktif rakyat berdasar kolektivisme, yang artinya “sama sejahtera
Relevansi Kewaspadaan Bung Hatta
Sejak awal kemerdekaan Mohammad Hatta menegaskan ulang bahwa pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi adalah (1) Soal ideologi: Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong. (2) Soal praktik: Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa datang ini. (3) Soal koordinasi: Bagaimana mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia. (Butir terakhir mi menunjukkan banwa globalisasi telah sejak awal kemerdekaan diantisipasi oleh Mohammad Hatta, sejalan dengan tulisan-tulisannya sejak tahun 1934
Bagi Mohammad Hatta, kemandirian bukan pengucilan diri, kemandirian bisa dalam ujud dinamiknya, yaitu interdependensi. Dalam interdependensi global dan ekonomi terbuka Mohammad Hatta tetap teguh mempertahankan prinsip independensi, yaitu bahwa dengan memberikan kesempatan pada bangsa asing menanam modalnya di Indonesia, namun kita sendirilah yang harus tetap menentukan syarat-syaratnya. Kemandirian bermakna dapat menentukan nasib diri sendiri, menentukan sendiri apa yang terbaik bagi kepentingan nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Lebih dari itu, mentalitas dan moralitas birokrasi makin terjebak dalam komersialisasi jabatan sebagai abdi negara. Birokrasi makin “lengah-misi” dan rela kehilangan harga diri. Lebih dari itu terbentuk pula kekaguman terhadap sekelompok pengusaha eksklusif ini. Lalu birokrasi memberikan kepada mereka posisi strategis sebagai lokomotif pembangunan. Kekaguman birokrasi terhadap ideologi pasar-bebas dan globalisasi pun makin sulit dibendung dan ini menambah persoalan. Birokrasi yang bertingkah laku budaya sebagai “pangreh” ini makin memperpuruk diri. Dari “lengah misi” itulah bertumbuh sindroma “lengah-budaya
Keterjebakan Hutang dan Dependensi Indonesia
Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dikemukakan. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dan “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.
Pembangunan nasional akan lebih merupakan pembangunan Indonesia, bukan sekedar pembangunan diIndonesia. Permintaan efektif atau daya-beli rakyat di dalam negeri harus menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa strategi pembangunan pertumbuhan melalui pemerataan atau pertumbuhan dengan pemerataan yang berorientasi ke dalam negeri. Bung Hatta memberikan patokan-patokan bagi hutang luar negeri ( Tracee Baru, Universitas Indonesia, 1967), yaitu bahwa setiap hutang luar negeri harus secara langsung dikaitkan dengan semangat meningkatkan self-help dan self-reliance, di samping bunga harus rendah, untuk menumbuhkan aktivita ekonomi sendiri. Bantuan luar negeri harus mampu membuat kita bergerak sendiri atas kekuatan sendiri, serta bersifat komplementerjadi bersifat sementara dan pelengkap Tidak pula atas syarat politik sebagai langkah kembalinya neo-kolonialisme dan kolonialisme ekonomi
Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat?
Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya
Seperti dikemukakan, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat. Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.
Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar. Kita pun memelihara ekonomi pasar. Yang kita tolak adalah pasar-bebas. Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions, disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.
Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.
Yang dikemukakan di atas bukanlah suatu ekstrimitas, tetapi merupakan suatu upaya menunjukkan polarisasi dikotomis untuk mempertajam pembandingan analitikal.
Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa, masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri. Nasionalisme kebangsaan, bahkan persekelompokan parokhial atau eksklusif lainnya, menyandang nilai-nilai “abadi” ini
Paham kemandirian, sebagai lawan dan ketergantungan, menerima paham interdependensi. Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.
Globalisasi dan ujud globalisme masih dalam proses mencari bentuknya. Dalam masa transisi ini yang menonjol adalah dominasi ekonomi (baik eksklusif ekonomi maupun kelanjutannya berupa dominasi politik dan kultural) harus kita hadapi melalui tiga fronts; Pertama, melalui usaha sendiri masing-masing negara untuk bebenah diri meningkatkan kemampuan domestik dan kinerja nasionalnya, antara lain melalui rencana dan tindakan-tindakan terfokus untuk secara lebih langsung untuk membentuk konsolidasi ekonomi nasional dan mengurangi ketergantungan pada luar-negeri.
Kedua, menggalang kerjasama regional, diawali dengan kerjasama ekonomi dan kemandirian ASEAN, disertai dengan upaya mengembalikan posisi Indonesia sebagai the leader of ASEAN, dengan segala justifikasi yang relevan dan inheren di dalamnya. Kalau perlu kita memimpin untuk bersama-sama mendirikan “ASEAN IMF” sendiri, dan seterusnya.
Ketiga, bekerjasama dan meningkatkan keterlibatan Indonesia terhadap perkembangan pemikiran di fora internasional yang menentang ketidakadilan inheren dan globalisasi, yang menyadari perlunya berbagai koreksi terhadap proses perkembangan globalisasi yang menyudutkan negara-negara berkembang.Di sinilah kita harus mewaspadai globalisasi.
Seperti dikemukakan di atas, semangat kemandirian merupakan kekuatan nasional utama untuk mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya, kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
No comments:
Post a Comment