Rakyat
Siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interests” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interests” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public domain”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi-preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Rakyat itu berdaulat, alias raja atas dirinya.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap, bukan kinship atau kekerabatan) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei’, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Sosialisme Kerakyatan
Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagi Syahrir, sosialisme yang kerakyatan dapat dipersempit ke arah sosialime yang benar-benar berorientasi pada rakyat secara menyeluruh dalam artian yang tidak bermakna “baku dan mati” seperti pada komunisme yang dirasakan olehnya justru; persamaan yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat atau rakyat menghilangkan otonomi dan kebebasan dari setiap individu. Kepentingan komunal seakan-akan tidak menghiraukan keberadaan dan peran kepentingan individual dalam masyarakat itu sendiri.
Oleh karena alasan itulah, syahrir memberikan warna tersendiri yang mau merangkum itu semua dalam ranah sosial budaya Indonesia sendiri yang memang tidak dapat dilepaskan dari yang namanya kerakyatan, kekeluargaan dan gotong royong. Paham sosialisme yang ada dalam tataran universal diolah sedemikian rupa olehnya menjadi suatu paham baru yang apik, dinamis dan ternyata sangat tepat bagi Indonesia sendiri.
Inkonsistensi
Tetapi, dilain pihak. Bentuk sosialisme kerakyatan yang diungkapkan Syahrir justru menampakan adanya ketidak konsistenan dirinya atas paham sosialisme itu sendiri. Seakan-akan Syahris menerima paham itu tetapi ternyata pencantuman sosialisme pada sosialisme kerakyatan ternyata sama sekali berbeda denagn paham awal dari sosialisme itu sendiri pada mulanya. Kemungkinan yang terjadi adalah, mungkin Syahrir mau berhati-hati dengan terminologi tersebut mengingat dengan keadaan dan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia itu sendiri saat itu yaitu perasaan was-was dan phobia masyarakat sendiri atas komunisme yang memberikan suatu catatan sejarah tersendiri yang sulit untuk diterima begitu saja dalam pemikiran bangsa Indonesia, terlebih ketika diterapkan di dalam hal praktis kehidupan mereka.
Ketidak konsistenan ini juga dapat menjadi suatu bahan pembelajaran yang sangat berguna ketika kita melihat pentingnya situasi dan kondisi bangsa itu sendiri. Dan, tidakdapat disangkal bahwa paham sosialisme kerakyatan ini cukup representatif dan cocok bagi segala dinamika masyarakat Indonesia sendiri, terlebih di dalam perjalan sejarah rakyatnya atas segala konstruksi sosial budaya yang tertanam dalam kehidupan masyarakat itu sendiri sehari-hari.
Siapa yang disebut “rakyat”? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, “bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga rakyat?” Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.
“Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interests” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interests” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “individual privacy” dan “public domain”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi-preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu. Rakyat itu berdaulat, alias raja atas dirinya.
Mereka yang tidak mampu mengerti “paham kebersamaan” (mutuality) dan “asas kekeluargaan” (brotherhood atau broederschap, bukan kinship atau kekerabatan) pada dasarnya karena mereka tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah “rakyat” itu, tidak mampu memahami kemuliaan adagium “vox populi vox Dei’, di mana rakyat lebih dekat dengan arti “masyarakat” atau “ummat”, bukan dalam arti “penduduk” yang 210 juta. Rakyat atau “the people” adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular).
Sosialisme Kerakyatan
Asas Kerakyatan mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala Hukum (Recht, peraturan-peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan Keadilan dan Kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan harus sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan oleh segala jenis manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Bagi Syahrir, sosialisme yang kerakyatan dapat dipersempit ke arah sosialime yang benar-benar berorientasi pada rakyat secara menyeluruh dalam artian yang tidak bermakna “baku dan mati” seperti pada komunisme yang dirasakan olehnya justru; persamaan yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat atau rakyat menghilangkan otonomi dan kebebasan dari setiap individu. Kepentingan komunal seakan-akan tidak menghiraukan keberadaan dan peran kepentingan individual dalam masyarakat itu sendiri.
Oleh karena alasan itulah, syahrir memberikan warna tersendiri yang mau merangkum itu semua dalam ranah sosial budaya Indonesia sendiri yang memang tidak dapat dilepaskan dari yang namanya kerakyatan, kekeluargaan dan gotong royong. Paham sosialisme yang ada dalam tataran universal diolah sedemikian rupa olehnya menjadi suatu paham baru yang apik, dinamis dan ternyata sangat tepat bagi Indonesia sendiri.
Inkonsistensi
Tetapi, dilain pihak. Bentuk sosialisme kerakyatan yang diungkapkan Syahrir justru menampakan adanya ketidak konsistenan dirinya atas paham sosialisme itu sendiri. Seakan-akan Syahris menerima paham itu tetapi ternyata pencantuman sosialisme pada sosialisme kerakyatan ternyata sama sekali berbeda denagn paham awal dari sosialisme itu sendiri pada mulanya. Kemungkinan yang terjadi adalah, mungkin Syahrir mau berhati-hati dengan terminologi tersebut mengingat dengan keadaan dan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia itu sendiri saat itu yaitu perasaan was-was dan phobia masyarakat sendiri atas komunisme yang memberikan suatu catatan sejarah tersendiri yang sulit untuk diterima begitu saja dalam pemikiran bangsa Indonesia, terlebih ketika diterapkan di dalam hal praktis kehidupan mereka.
Ketidak konsistenan ini juga dapat menjadi suatu bahan pembelajaran yang sangat berguna ketika kita melihat pentingnya situasi dan kondisi bangsa itu sendiri. Dan, tidakdapat disangkal bahwa paham sosialisme kerakyatan ini cukup representatif dan cocok bagi segala dinamika masyarakat Indonesia sendiri, terlebih di dalam perjalan sejarah rakyatnya atas segala konstruksi sosial budaya yang tertanam dalam kehidupan masyarakat itu sendiri sehari-hari.
No comments:
Post a Comment