Sep 2, 2008

KAPANKAH SUATU KEBENARAN PERLU DISUARAKAN?

KAPANKAH SUATU KEBENARAN PERLU DISUARAKAN?


Sebelum melangkah lebih jauh, haruslah dilihat kembali pemahaman secara lebih jelas akan “kapankah”, sebagai sebuah pertanyaan awal yang hendak dijawab.
Di sini, tampak bahwa kata kapan mau menunjukkan suatu relasi yang erat dengan waktu.. dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah pertanyaan berkenaan dengan keterangan waktu.. lalu apakah waktu itu sendiri?
- Secata etimologis, Inggris: Time, Latin: Tempus...sesuatu yang di dalamnya kejadian-kejadian dapat dibedakan dalam hal hubungan sebelum dan sesudah, awal dan akhir.
- Kadang-kadang waktu dipikirkan sebagai suatu medium non spasial (tidak menyangkut ruang) dimana di dalamnya hal-hal berubah dan berbagai peristiwa terjadi.
- Waktu juga dapat dikatakan sebagai durasi; yang berarti kesinambungan dalam eksistensi. Apa yang tidak memiliki eksistensi juga tidak memiliki durasi. Durasi keberadaan yang tidak dapat berubah disebut keabadian.

Durasi yang dapat berubah adalah waktu
- Menurut Kant: waktu adalah rangkaian kesatuan (kontinuum) seluruh pengalaman sekarang dan yang mungkin.
- Plato: waktu adalah gambaran keadaan sempurna yang bergerak. Waktu sebagai tiruan tidak sempurna dari alam bentuk ideal sempurna yang tidak berwaktu dan tidak berubah. Perubahan-perubahan, suksesi dan karenanya waktu juga hanyalah hasil-hasil ketidakmampuan pikiran untuk menangkap hal-hal sekaligus dalam keseluruhannya. Waktu adalah suatu produk yang khas bagi pikiran dan terhantung pada fungsi-fungsi pikiran.
Dari pengantar singkat ini, tampak jelas bahwa pertanyaan yang digunakan “kapankah” memiliki banyak pemaknaan yang tidak sederhana dan ternyata haruslah dijadikan bagian yang tidak terpisahkan di dalam keseluruhan pertanyaan yang akan dijadikan bahan dalam tulisan ini secara keseluruhan. Kapan tidaklah menjadi sekadar dan melulu berkaitan dengan jawaban dalam konteks keterangan waktu semata, tetapi lebih luas dari itu.

Sebelumnya juga harus lebih jelas dahulu akan arti dan makna kebenaran itu sendiri dari pelbagai sudut pandang.

Etimologis
Inggris: truth
Anglo Saxon: treowth (kesetiaan)
Latin: Veritas
Yunani: Aletheia
Ibrani: emet (amin)
Istilah ini adalah lawan dari kesalahan, kesesatan, kepalsuan dan juga kadang opini.

Teori Kebenaran
Berbicara soal kebenaran, ada teori pokok tentang kebenaran:
- teori korespondensi: kebenaran berkorespondensi atau sepadan dengan kenyataan
- teori koherensi: kebenaran adalah sistem ide yang koheren (bertalian secara logis)
- teori pragmatis: kebenaran adalah pemecahan yang memuaskan atau “raktis atas situasi problematis
- teori semantik: pernyataan-pernyataan tentang kebenaran berada dalam suatu metabahasa dan mengena pada pernyataan-pernyataan dalam bahasa dasar
- teori performatif: pernyataan kebenaran merupakan persetujuan yang diberikan terhadap pernyataan tersebut
- teori performatif: pernyataan kebenaran merupakan persetujuan yang diberikan terhadap pernyataan tertentu

Kriteria kebenaran adalah tanda-tanda yang memungkinkan kita mengetahui kebenaran.
Ada kalanya;
- Consensus Gentium (kesepakatan umat manusia) dianggap sebagai salah satu kriteria kebenaran

Perkembangan pemahaman
- Sofis Yunani: ada kebenaran yang harus ditemukan, Protagoras: kebenaran adalah relatif
- Plato: mengaitkan teori korespondensi dan teori koherensi
- Aristoteles: “Ada yang tidak ada, atau tidak ada yang ada adalah salah!!, sedangkan ada yang    ada dan tidak ada yang tidak ada adalah benar!!!” pada hematnya; dengan fakta-fakta kasus,    pernyataan-pernyataan dikatakan benar dan salah.
- Carneades, Filsuf Bufhis: kebenaran mempunyai dua aspek:
         o Empiris: merupakan tampakan semata saja
         o Absolut: mengatasi akal budi
- Plotinos: kebenaran menuntut suatu identitas (kesamaan) antara pemikiran dan hal. (teori   identitas)
- Abad Pertengahan....Perdebatan akan kebenaran ganda; apa yang benar dalam filsafat    mungkin saja salah dalam agama, dan sebaliknya juga (Averores)
- Thomas Aquinas: bersama dengan kaum skolastik melanjutkan teori korespondensi dengan    mendefinisikan kebenaran: Adequatio rei et intellectus (kesesuaian, kesamaan pikiran dengan    hal, benda).
             o Karena kebenaran merupakan istilah transendental, dalam arti ttntu kebenaran                 bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berada tetapi melulu hal-hal itu                 sendiri.
            o Dan karena Allah adalah kebenaranNya sendiri, ide-ide dalam pikiran ilahi adalah                benar, entah itu berkorespondensi dengan apa pun di luar Allah (yaitu keadaan dunia                sekarang) atau tidak.
- Hobbes: kebenaran sebagai pengaturan nama-nama dengan tepat. Benar dan salah pada    hematnya merupakan atribut-atribut dari ucapan, bukan dari hal-hal. Itulah sebabnya orang    yang bernalar secara tepat dengan kata-kata tak akan jatuh ke dalam kekeliruan.
- Kierkegard: membedakan kebenaran
           o Sebagai aproproasi subjektif... kebenaran adalah subjektivitas
           o Sebagai aproksimasi objektif (penghampiran objektif).. menuju pada aproksimasi yang               tidak ada akhirnya

Dalam dunia Teologi
Kebenaran:
- Pengetahuan adalah benar kalau penilaian seseorang secara logis koheren dan sesuai dengan    kenyataan
- Seluruh realitas adalah benar, sejauh secara intrinsik dapat diketahui dan diketahui oleh Allah
- Kata-kata dan tindakan kita benar kalau dengan setia kita memberi kesaksian mengenai yang    kita ketahui, hidup sesuai dengan keyakinan kita dan disahkan dengan konsekuensi praktisnya

Kebenaran dalam Ibrani : Emet yang amat dekat artinya dengan amin; menyatakan kesetiaan yang dihayati.
- Sebagai perwahyuan Bapa yang sempurna, Kristus adalah Sang Kebenaran (Yoh14:6)
- Roh KudusNya akan memimpin kita kepada segala kebenaran (Yoh16:13)
- Orang-orang yang percaya dibebaskan untuk melakukan kebenaran ( Yoh3:21; 8:32)
Kalau Filsafat mengerti kebenaran sebagai milik (pengetahuan, realitas dan kegiatan), Perjanjian Baru memahami kebenaran secara amat personal: dalam hubungan dengan Kristus, Roh Kudus dan orang yang percaya.

Dalam kaitannya juga, ada istilah Ineransi (inerrancy):
Istilah yang terutama berkaitan dengan ilham Kitab Suci dan menunjukkan satu akibat yang utama: Kebenaran Kitab Suci yang menyelamatkan (DV 11).
- Untuk menilai kebenaran yang disampaikan oleh kitab-kitab tertentu dalam KS, kita perlu menyelidikki maksud, pengandaian-pengandaian, konteks, dan bentuk yang dipakai oleh pengarang untuk mengungkapkannya, serta tradisi-tradisi yang ada di belakangnya (DV 12).
- Ineransi juga menunjukkan kepekaan seluruh umat Allah terhadap kebenaran. Dengan bimbingan Roh Kudus, Gereja tidak dapat salah dalam hal-hal yang berkaitan dengan iman (lih.1 Yoh 2:20.27; LG 12)

Disuarakan...
Tidak bisa tidak, kita akan senantiasa berkutat dengan pemahaman disuarakan secara fisis dan harafiah biasanya di dalam kehidupan kita sehari-hari; Speak, Spoke; mengatakan.
Menyuarakan adalah sebuah tindakan yang mana merupakan sebuah rangkaian dari kalimat-kalimat tertentu yang menimbulkan serta mengarahkan pada suatu maknayang hendak dicapai.
Sedangkan tidak dapat dipungkiri juga bahwa kalimat yang disuarakan tidaklah sesedarhana yang kita ucapkan daln lantunkan.. kalimat hanyalah menjadi kalimat bila terdiri dari kata-kata tertentu yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, dan bahkan kata yang merangkai kesemuanya itu hanyalah sekadar gabungan dari huruf-huruf yang sesungguhnya berdiri sendiri dan menjadi bermakna ketika dirangkaikan.
Sungguh ketika berbicara mengenai menyuarakan sesuatu, kita tidak bisa melepaskan begitu saja akan bagaimana apa yang disuarakan sungguh telah memiliki komplektisitasnya sendiri yang begitu mengagumkan.

Dalam tataran teologi, apa yang dimaksud dengan apa yang disuarakan lebih tertuju pada consience; yaitu kemampuan untuk menilai dan memilih tindakan yang sesuai dengan hukum yang ditanamkan oleh Allah dalam hati kita (Rm 2:12-16). Atau lebih jelas lagi dengan makna suara hati itu sendiri; yang tidak dapat begitu saja disamakan dengan hukum Allah karena suara hati bisa saja salah menjadi sikap:
- skrupel (terlalu cepat merasa bersalah)
- laksis (terlalu longgar)
- tidak peka terhadap tuntunan Roh Kudus

Dari itu semua, saya hanya ingin mengangkat pemaknaan bahwa menyuarakan tidaklah melulu merupakan sebuah tindakan fisik semata saja sebagaimana mengeluarkan runtutan kata-kata dalam sebuah kalimat melalui mulut dalam rupa nada-nada maupun pernyataan atas pengalaman maupun kenyataan yang terjadi di sekeliling manusia. Tidak hanya itu.
Menyuarakan haruslah dilihat dalam bentuk serta pemahaman yang lebih luas lagi sebagaimana begitu luasnya pemahaman dan perkembangan akan makna kebenaran itu sendiri hingga saat ini.
Tidak juga sekadar apa yang keluar dalam rupa tindakan ataupun bentuk-bentuk simbolis lainnya yang mau menunjukkan pelbagai kemungkina penyuaraan itu sendiri. Dan demikian juga dengan kebenaran.

Mungkin... dengan segala posibilitas dan relativitas akan segala hal, Ad Maiorem Dei Gloriam dapat menjadi sebuah kebenaran tersendiri yang tidak dapat kita lepaskan begitu saja di dalam kebenaran-kebenaran manusiawai yang dapat kita pahami hingga saat ini.

No comments: