Ketika hendak membandingkan dan mencoba merenungkan kaitan antara Johann Baptist Metz dengan teologi politiknya dengan teologi pembebasan, maka tampak jelas bahwa ternyata teologi politik juga merupakan teologi pembebasan karena ia berusaha untuk merumuskan kembali harapan eskatologis kristiani dalam kondisi masyarakat masa kini. Teologi politik Metz membantu untuk merefleksikan iman dalam konteks sejarah yang secara khas dimengerti sebagai sejarah mereka yang tertindas dan menderita. Di sini, sejarah penderitaan dan ingatan menjadi dua istilah kunci pokok dalam teologi politik Metz.
Ketika mencoba menelaah tentang ingatan, sangat jelas bahwa pengertian ingatan diinspirasikan oleh ajaran anamnese Plato yang lebih dipakai dalam kaitan dengan pengetahuan manusia tentang Tuhan, lepas dari situasi konkret historis manusia dan masyarakatnya. Juga ingatan merupakan tradisi pemikiran Yahudi. Dengan ingatanlah orang Yahudi mengenangkan Tuhan dalam kaitannya dengan sejarah mereka yang konkret. Di sini, Johann Baptist Metz berusaha melepaskan diri dari tradisi Yunani dan mendekatkan diri dari pemikiran tradisi Yahudi; yaitu bahwa teologi politiknya tidak hanya sekadar mengenal Tuhan dalam sejarah, tapi ingin merefleksikan pengalaman iman yang mengenangkan Tuhan sebagai penyelamat dan pembebas yang menyelamatkan dan membebaskan manusia dalam sejarahnya. Di sini, pemahaman pembebas dan penyelamat inilah yang akan mejadi benang merah teologi politik Metz dengan teologi pembebasan.
Perlu diingat terlebig dahulu bahwa di dalam Metz, ingatan itu sebenarnya adalah ingatan akan penderitaan, dan dalam ingatan akan penderitaan inilah tersembunyi daya kritis yang luar biasa. Dalam artian lain, bahwa ingatan atau memoria yang dimaksudkan oleh Metz adalah memoria passionis: ingatan akan penderitaan.
Ingatan kerapkali dimengerti sebagai kategori yang tradisional dan resignatif, yaitu berlawanan dengan harapan sebagai kategori yang progresif dan aktif. Tapi, bagi Metz, bahwa ingatan yang dimaksudkannya, yakni ingatan akan penderitaan – juga akan mereka yang tertindas – di masa lalu itu bukanlah kategori yang berlawanan dengan kategori harapan. Dari ingatan itu justru lahir pengetahuan akan masa depan tertentu, yakni masa depan dari mereka yang kalah dan tertindas. Karena itu masa depan tadi bukanlah suatu antisipasi yang kosong atau antisipasi buatan, melainkan suatu harapan real akan pembebasan, yang lahir dari pengalaman real dan konkret, yakni pengalaman penderitaan dan penindasan. Justru karena itulah ingatan tersebut menjadi “berbahaya” di masa kini karena ia selalu menggugat masa kini untuk selalu memperhitungkan masa depan yang diinginkannya dan dengan demikian memaksa masa kini untuk selalu berubah. Dapat dibandingkan dengan teologi pembebasan yang sedemikan samanya dengan harapan ingatan akan penderitaan dari Metz ini.
Bagi Metz, ingatan akan penderitaan ini mempunyai sifat yang universal dimana ingatan tersebut dapat melampaui ciri-ciri khas kultural setempat yang membatasinya, yang membuka perspektif lebih lanjut akan makna dan peran poembebasan di dalamnya. Kultur ingatan seperti itu akan membuahkan rasa solidaritas dan mempertajam kepekaan lebih-lebih bagi mereka yang kalah, yang tertindas, tertinggal dan terbelakang. Dengan solidaritas dan kepekaannya itu politik sendiri sebenarnya sudah menjadi perwujudan humanisasi.
Humanisasi, bukan teknologi, itulah sebenarnya yang hendak dituju oleh setiap ide dan gerakan emasipasi. Dan Gereja dapat ikut dalam gerakan emansipasi itu, jika ia sendiri dapat mengkulturkan apa yang kini masih dihayatinya dengan terlalu kultis: memoria passionis, mortis et resurectionis Jesu Christi. Ingatan yang merupakan harta gereja tak terkira ini adalah ingatan tentang pembebasan manusia dalam arti sesungguhnya. Justru karena itu Gereja dapat menentang apa yang kini membelenggu kebebasan manusia. Terhadap belenggu-belenggu manusia itulah, ingatan yang menjadi harta gereja itu dapat dan harus menjadi kritis bahkan subversif.
Memahami sejarah dari ingatan yang kritis dan subversif ini berarti menghayati kembali segi apokaliptis dari iman kristiani. Dalam sejarah agama kristen, keyakinan apokaliptis itu lahir karena terjadinya krisis di dalam waktu, seperti penderitaan, pengejaran dan penindasan serta ketidakadilan. Maka bisa dimengerti jika pandangan apokaliptik itu terutama dimiliki oleh mereka yang menderita dan tertindas.
Dari penjabaran itu semua, tampak jelas bahwa dimensi ingatan akan penderitaan sebagaimana di dalam teologi pembebasan yang juga berangkat dari pengalaman yang sama dengan teologi politik Johann Baptist Metz, menjadi titik awal sebuah cakrawala lama yang direfleksikan dan dipahami secara baru akan makna dan arti dari pembebasan Yesus Kristus sendiri saat ini. Dimensi apokalipsis dari kedua teologi ini hendak menghantarkan setiap manusia untuk menyadari pengalaman itu semua dan mencoba untuk bersama-sama maju menuju masa depan yang lebih baik di dalam Kristus melalui gereja.
Ketika mencoba menelaah tentang ingatan, sangat jelas bahwa pengertian ingatan diinspirasikan oleh ajaran anamnese Plato yang lebih dipakai dalam kaitan dengan pengetahuan manusia tentang Tuhan, lepas dari situasi konkret historis manusia dan masyarakatnya. Juga ingatan merupakan tradisi pemikiran Yahudi. Dengan ingatanlah orang Yahudi mengenangkan Tuhan dalam kaitannya dengan sejarah mereka yang konkret. Di sini, Johann Baptist Metz berusaha melepaskan diri dari tradisi Yunani dan mendekatkan diri dari pemikiran tradisi Yahudi; yaitu bahwa teologi politiknya tidak hanya sekadar mengenal Tuhan dalam sejarah, tapi ingin merefleksikan pengalaman iman yang mengenangkan Tuhan sebagai penyelamat dan pembebas yang menyelamatkan dan membebaskan manusia dalam sejarahnya. Di sini, pemahaman pembebas dan penyelamat inilah yang akan mejadi benang merah teologi politik Metz dengan teologi pembebasan.
Perlu diingat terlebig dahulu bahwa di dalam Metz, ingatan itu sebenarnya adalah ingatan akan penderitaan, dan dalam ingatan akan penderitaan inilah tersembunyi daya kritis yang luar biasa. Dalam artian lain, bahwa ingatan atau memoria yang dimaksudkan oleh Metz adalah memoria passionis: ingatan akan penderitaan.
Ingatan kerapkali dimengerti sebagai kategori yang tradisional dan resignatif, yaitu berlawanan dengan harapan sebagai kategori yang progresif dan aktif. Tapi, bagi Metz, bahwa ingatan yang dimaksudkannya, yakni ingatan akan penderitaan – juga akan mereka yang tertindas – di masa lalu itu bukanlah kategori yang berlawanan dengan kategori harapan. Dari ingatan itu justru lahir pengetahuan akan masa depan tertentu, yakni masa depan dari mereka yang kalah dan tertindas. Karena itu masa depan tadi bukanlah suatu antisipasi yang kosong atau antisipasi buatan, melainkan suatu harapan real akan pembebasan, yang lahir dari pengalaman real dan konkret, yakni pengalaman penderitaan dan penindasan. Justru karena itulah ingatan tersebut menjadi “berbahaya” di masa kini karena ia selalu menggugat masa kini untuk selalu memperhitungkan masa depan yang diinginkannya dan dengan demikian memaksa masa kini untuk selalu berubah. Dapat dibandingkan dengan teologi pembebasan yang sedemikan samanya dengan harapan ingatan akan penderitaan dari Metz ini.
Bagi Metz, ingatan akan penderitaan ini mempunyai sifat yang universal dimana ingatan tersebut dapat melampaui ciri-ciri khas kultural setempat yang membatasinya, yang membuka perspektif lebih lanjut akan makna dan peran poembebasan di dalamnya. Kultur ingatan seperti itu akan membuahkan rasa solidaritas dan mempertajam kepekaan lebih-lebih bagi mereka yang kalah, yang tertindas, tertinggal dan terbelakang. Dengan solidaritas dan kepekaannya itu politik sendiri sebenarnya sudah menjadi perwujudan humanisasi.
Humanisasi, bukan teknologi, itulah sebenarnya yang hendak dituju oleh setiap ide dan gerakan emasipasi. Dan Gereja dapat ikut dalam gerakan emansipasi itu, jika ia sendiri dapat mengkulturkan apa yang kini masih dihayatinya dengan terlalu kultis: memoria passionis, mortis et resurectionis Jesu Christi. Ingatan yang merupakan harta gereja tak terkira ini adalah ingatan tentang pembebasan manusia dalam arti sesungguhnya. Justru karena itu Gereja dapat menentang apa yang kini membelenggu kebebasan manusia. Terhadap belenggu-belenggu manusia itulah, ingatan yang menjadi harta gereja itu dapat dan harus menjadi kritis bahkan subversif.
Memahami sejarah dari ingatan yang kritis dan subversif ini berarti menghayati kembali segi apokaliptis dari iman kristiani. Dalam sejarah agama kristen, keyakinan apokaliptis itu lahir karena terjadinya krisis di dalam waktu, seperti penderitaan, pengejaran dan penindasan serta ketidakadilan. Maka bisa dimengerti jika pandangan apokaliptik itu terutama dimiliki oleh mereka yang menderita dan tertindas.
Dari penjabaran itu semua, tampak jelas bahwa dimensi ingatan akan penderitaan sebagaimana di dalam teologi pembebasan yang juga berangkat dari pengalaman yang sama dengan teologi politik Johann Baptist Metz, menjadi titik awal sebuah cakrawala lama yang direfleksikan dan dipahami secara baru akan makna dan arti dari pembebasan Yesus Kristus sendiri saat ini. Dimensi apokalipsis dari kedua teologi ini hendak menghantarkan setiap manusia untuk menyadari pengalaman itu semua dan mencoba untuk bersama-sama maju menuju masa depan yang lebih baik di dalam Kristus melalui gereja.
No comments:
Post a Comment