Sep 2, 2008

Pluralisme

Tidak dapat ditolak bahwa kita adalah berbeda. Satu hal yang memang perlu diketahui adalah bahwa Allah tampaknya memang sungguh memperbesar keberagaman di dalam setiap ciptaannya, terlebih khususnya, adalah fakta bahwa Ia mempertemukan dan menciptakan pria dan wanita di dalam banyak bentuk. Pluralitas selalu menampakkan dirinya dan kita tahu itu semua, tetapi permasalahnnya adalah.. tahu tidaklah berarti sadar. Kita tahu bahwa kita berbeda, tapi apakah kita sadar akan perbedaan itu?
Ketika memahami pluralitas-pluralisme, di sini, saya akan mencoba memberikan tekanan pada pentingnya kesadaran akan keberagaman itu sendiri. Kesadaran yang ternyata di dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas maupun khususnya di dalam kehidupan menggereja, memiliki peranan yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan.

PLURALITAS
Pluralitas adalah sebuah fakta natural yang tidak bisa dihindari, dielakkan dan dipungkiri. Ini menjadi sebuah persoalan besar ketika dihadapkan dengan pelbagai usaha, upaya dan konsep-konsep yang hendak menyatukan dan menyeragamkan. Entah itu konsep-konsep kacangan maupun yang paling mutakhir; tentang universalitas pengetahuan dan nilai, tentang kebenaran ilahi atau pun tentang ideal politik negara dan bangsa serta kebudayaan.
Di lain pihak, tidak dapat dipungkiri dan disangkal juga bahwa segala konsep-konsep tersebut adalah sebuah produk kemodernan yang terus menerus tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Betapapun hebatnya konsep-konsep tersebut, juga adalah hasil dari pertemuan, dialektika antara penalaran umum yang mendalam dan pengalaman-pengalaman real sepanjang sejarah, yang telah mengalami pelbagai bentuk proses kritik diri terus menerus.
Tetapi, di lain pihak, sebenarnya bukan hanya keragaman sajalah yang merupakan fakta natural, tapi kecenderungan manusia untuk menyatu dan bahwa dalam keragaman toh terdapat demikian banyak kesamaan adalah juga merupakan fakta natural yang sangat mendasar. Bahkan, tidak dapat disangkal juga bahwa identitas dan keunikan tiap pribadi sebetulnya hanya menjadi nyata dan terwujud di dalam interaksi, pertemuan serta keterlibatan dengan “yang lain”. Perbedaan menjadi sangat jelas melalui kenyataan tentang kesamaan dan demikian juga sebaliknya, kesamaan menjadi terasa bernilai dalam realitas perbedaan. Tegangan itulah yang menggerakkan dan memberi bentuk pada dinamika kehidupan kita.
Tegangan antara kesatuan dan perpecahan, kesamaan dan perbedaan, unitas dan keberagaman, universalitas dan partikularitas itu kini memang menjadi isu terutama karena ada gejala globalisasi yang sekilas terasa hegemonik dan karenanya terasa mengancam partikularitas lokal. Dalam kerangka ini isu “Pluralisme” menunjuk berbagai pemikiran ulang bagaimana memandang dan merumuskan kembali kenyataan kesamaan dan perbedaan itu.

INDONESIA
Dalam tegangan-tegangan itu sebetulnya masalah kita bukanlah pluralisme nya benar, melainkan justru universalismenya : hari ini terlalu kuat emosi primordial dan sektarian dan bahkan religius (agama) yang menyulitkan kita melihat titik-titik temu kepentingan bersama. Euphoria pluralisme disini adalah reaksi berlebihan atas sejarah ketertekanan dan penyeragaman yang demikian lama. Tak heran, ketika pada konteks global pluralitas adalah asset kreatif sedangkan di Indonesia kini pluralitas menjadi ancaman bencana . Sudah tidak ada lagi Bhennika Tunggal Ika yang begitu mulia dan harumnya itu. Konsep “nasion” sudah terlanjur lemah dan artifisial akibat selama sejarah politik Indonesia, yang memuncak pada Orde Baru, ia tampil lebih sebagai ideologi yang dibangun lewat politik adu-domba pada tingkat horisontal yang telah makan demikian banyak korban yang disadari tidak pernah jelas akan kebenaran yang ada di dalamnya.
Akibatnya, alasan-alasan untuk bisa “mengimajinasikan” sebuah komunitas besar yang bernama “nasion” sudah terlanjur tergerogoti, yang tinggal adalah justru tumpukan trauma, enerji yang justru mudah menghacurkan nasion. Hal ini akan sangat mudah ditampakkan di dalam kehidupan kita hari-hari ini; entah itu berkaitan dengan etnik, ras, suku, budaya, agama, politik, kepentingan, ekonomi dan lainnya yang memang beragam, yang bisa saja dijadikan sebuah kendaran mulus yang sangat mengerikan yang tidak pernah jelas kapan akan bergerak, yang bisa saja sekali-kali dijalankan, ramai dan kemudian diam lagi.

KEMUDIAN
Di sini, bukan berarti tidak membahas mengenai oikumenisme secara lebih detail, tetapi saya hanya mau mencoba mengaitkannya dengan tema yang besar dan umum yaitu pluralisme. Sangat setuju dengan apa yang dikatakan di dalam teks bahwa oikumenisme adalah pluralisme di dalam komunitas Kristiani, sehingga saya akan mencoba melihat apa yang dimungkinkan dan ada di dalam hal yang pertama itu.
Di dalam konteks Indonesia, lalu apa yang kemudian akan dilakukan, diupayakan dan diusahakan bersama. Sadar bahwa ternyata agama hanyalah salah satu kendaraan saja dimana sebenarnya ada realitas pluralisme yang lebih luas danlebih besar dari itu semua.
Sikap terhadap pluralisme bisa dibangun melalui interaksi diskursif yang kental dan kreatif, kerjasama konkrit yang membangun kohesi kelompok dan pranata politis yang rasional obyektif.
Upaya diskursif itu mesti disertai dengan pemupukan berbagai bentuk kerjasama secara kreatif yang terus menerus mendobrak kesempitan segala bentuk kecenderungan primordial. Bentuk-bentuk kerjasama macam ini yang akan memupuk unsur kohesi komunal dan affeksi ke arah empati dan solidaritas bagi kepentingan bersama. Ini pada gilirannya akan memudahkan tampilnya kembali rasa saling percaya (basic trust) dan cita-cita luhur bersama , yang kini telah berantakan. Cita-cita luhur bersama adalah salah satu pilar penting yang akan menopang pulihnya kembali “nasion” atas dasar keberagaman. Pluralisme.

No comments: