Judul asli : The Tao and the Logos: Literary Hermeneutics, East and West
Zhang Longxi, 1992
Asian Philosophy, volume 7, number 2, July 1997
Karya yang ditulis oleh Zhang, yang muncul beberapa tahun lalu dan umumnya dianggap sebagai sebuah karya yang bagus dalam perjumpaan antar kultur dalam bidang interpretasi sastra. Buku ini lebih ditujukan bagi mereka yang mempelajari sastra daripada yang mempelajari filsafat kendati keduanya tidak dapat begitu mudah dipisahkan, apalagi dikalangan para pemikir kontemporer Prancis. Buku ini tidak mudah dibaca karena mengandaikan pembacanya mengetahui cukup banyak tentang karya-karya sastra Eropa dan Cina sendiri. Dan dalam dua ranah kultural inilah karya ini ditulis.
Tulisan ini bergerak secara metodis dari “pembongkaran tulisan” (bab1), melalui “filsuf, mistikus, pujangga” (bab2), dan setelah mengeledah “kegunaan keheningan” (bab3), tersimpulkan dalam “penulis, teks, pembaca” (bab 4), dan ditutup dengan “epilog: menuju pluralisme interpretasi”. Sepanjang buku ini, penulis melangkah diantara tradisi berpikir timur dan barat, tetapi pijakan utamanya adalah sebuah tilikan dan kritik atas hermeneutik romantik abad 19 yang ditarik sampai pada ketakpercayaan radikal Deridda terhadap tradisi logosentris yang berinterprenetrasi dengan diskursus barat dan rasionalitas yang terungkap lewat kata logos. Langkah itu membawa penulis untuk melangkah kedalam tradisi keheningan mistik yang terutama ada dalam timur dimana kata Tao juga memiliki makna sebagai diskursus dan sekaligus sebagai pola bagaimana segala hal menjadi sedemikian. Tilikan terhadap tradisi hermenutik barat, dari yang tua ke hermeneutik yang baru, terpapar secara singkat dan padat namun jelas. Zhang juga hendaknya kita acungi jempol karena tidak mempostulasikan sebuah antitesis oriental dengan menduga bahwa bahasa Cina lebih merupakan gambar daripada tanda. Dengan mengakui bahwa dirinya berada dalam orientasi logosentrik, Zhang justru dapat melacak nuansa-nuansa barat dan timur. Kesamaan (bedakan dengan identitas) memberi ruang untuk perbedaan antara barat dan timur dalam ranah berpikir yang sama.
Dari itu semua, Zhang melangkah menuju kegunaan keheningan yang produktif dan baik, yang dapat menunjukkan sisi positif dari “speech” perkataan . Hal ini membantu kita untuk memahami mengapa pada bab terakhir dia kembali mengangkat isu penulis dan teks dalam kaitannya dengan pembaca yang masuk dalam percakapan dengan jejak suara yang terekam dalam tulisan dihadapannya. Dalam bagian apendik, Zhang menghindari sisi ekstrem dan relativisme negatif Derrida dan dia lebih mengusulkan sebuah pluralisme interpretasi melalui “boundary crossing cultural” penembusan batas-batas kultural. Posisinya lebih dekat pada Gadamer daripada Derrida. Disini, dia sama sekali tidak menyebut Ricoeur, barangkali karena rute berpikir Ricoeur berbeda dengan Derrida.
Apabila kita melihat sisi filosofis tradisi cina, kita lihat bahwa estetika Cina (etika dan kesusastraan) mengasumsikan bahwa ada transisi lembut dari pemikiran yang tidak berbentuk dan pembentukkannya secara verbal sebagai bunyi atau secara mental sebagai imaji yang kemudian diekspresikan di dalam perkataan atau tulisan, lagu atau teks. Hal ini dimungkinkan karena ada peminimalan ide, dari dalam diri ke sesuatu di luar diri, di sini tidak ada asumsi bahwa ada distorsi, atau di dalam kasus yang eksterm sebuh penjungkirbalikkan terhadap intensi semula. Tidak ada apa yang disebut Freud sebagai gap antara yang sadar dan tidak sadar. Tidak ada pembedaan antara penanda dan tinanda. Bahkan kita tahu bahwa relatifisme Chuang-Tzu didasarkan pada pembedaan-pembedaan standar yang digunakan dan sisi-sisi subjektif yang ada. Pemikiran klasik Cina yang paling menunjuk ke arah “distorted speech” (pembicaraan yang selalu berbeda dengan maksudnya) dan kemudian menujukkan bagaimana yang tidak benar akan membalikkan dirinya sendiri. Ketika Menances mengklaim untuk mengetahui speech, dia tidak bicara tentang kebenaran-kebenaran yang jelas atau kebohongan-kebohongan yang mencolok, tetapi dia berbicara mengenai empat mode dari penipuan diri dan penipuan orang lain “self/other deception”. Dia bukanlah seorang dari aliran hermenutik kecurigaan. Mencius, murid dari Kondusius, amat percaya dengan adanya kejelasan dari kebenaran, dia menganggap bahwa yang tidak benar tadi akan menghancurkan diri sendiri. Meski aspek hermeneutik Mencian ini jarang dibahas oleh banyak orang saat ini.
Zhang Longxi, 1992
Asian Philosophy, volume 7, number 2, July 1997
Karya yang ditulis oleh Zhang, yang muncul beberapa tahun lalu dan umumnya dianggap sebagai sebuah karya yang bagus dalam perjumpaan antar kultur dalam bidang interpretasi sastra. Buku ini lebih ditujukan bagi mereka yang mempelajari sastra daripada yang mempelajari filsafat kendati keduanya tidak dapat begitu mudah dipisahkan, apalagi dikalangan para pemikir kontemporer Prancis. Buku ini tidak mudah dibaca karena mengandaikan pembacanya mengetahui cukup banyak tentang karya-karya sastra Eropa dan Cina sendiri. Dan dalam dua ranah kultural inilah karya ini ditulis.
Tulisan ini bergerak secara metodis dari “pembongkaran tulisan” (bab1), melalui “filsuf, mistikus, pujangga” (bab2), dan setelah mengeledah “kegunaan keheningan” (bab3), tersimpulkan dalam “penulis, teks, pembaca” (bab 4), dan ditutup dengan “epilog: menuju pluralisme interpretasi”. Sepanjang buku ini, penulis melangkah diantara tradisi berpikir timur dan barat, tetapi pijakan utamanya adalah sebuah tilikan dan kritik atas hermeneutik romantik abad 19 yang ditarik sampai pada ketakpercayaan radikal Deridda terhadap tradisi logosentris yang berinterprenetrasi dengan diskursus barat dan rasionalitas yang terungkap lewat kata logos. Langkah itu membawa penulis untuk melangkah kedalam tradisi keheningan mistik yang terutama ada dalam timur dimana kata Tao juga memiliki makna sebagai diskursus dan sekaligus sebagai pola bagaimana segala hal menjadi sedemikian. Tilikan terhadap tradisi hermenutik barat, dari yang tua ke hermeneutik yang baru, terpapar secara singkat dan padat namun jelas. Zhang juga hendaknya kita acungi jempol karena tidak mempostulasikan sebuah antitesis oriental dengan menduga bahwa bahasa Cina lebih merupakan gambar daripada tanda. Dengan mengakui bahwa dirinya berada dalam orientasi logosentrik, Zhang justru dapat melacak nuansa-nuansa barat dan timur. Kesamaan (bedakan dengan identitas) memberi ruang untuk perbedaan antara barat dan timur dalam ranah berpikir yang sama.
Dari itu semua, Zhang melangkah menuju kegunaan keheningan yang produktif dan baik, yang dapat menunjukkan sisi positif dari “speech” perkataan . Hal ini membantu kita untuk memahami mengapa pada bab terakhir dia kembali mengangkat isu penulis dan teks dalam kaitannya dengan pembaca yang masuk dalam percakapan dengan jejak suara yang terekam dalam tulisan dihadapannya. Dalam bagian apendik, Zhang menghindari sisi ekstrem dan relativisme negatif Derrida dan dia lebih mengusulkan sebuah pluralisme interpretasi melalui “boundary crossing cultural” penembusan batas-batas kultural. Posisinya lebih dekat pada Gadamer daripada Derrida. Disini, dia sama sekali tidak menyebut Ricoeur, barangkali karena rute berpikir Ricoeur berbeda dengan Derrida.
Apabila kita melihat sisi filosofis tradisi cina, kita lihat bahwa estetika Cina (etika dan kesusastraan) mengasumsikan bahwa ada transisi lembut dari pemikiran yang tidak berbentuk dan pembentukkannya secara verbal sebagai bunyi atau secara mental sebagai imaji yang kemudian diekspresikan di dalam perkataan atau tulisan, lagu atau teks. Hal ini dimungkinkan karena ada peminimalan ide, dari dalam diri ke sesuatu di luar diri, di sini tidak ada asumsi bahwa ada distorsi, atau di dalam kasus yang eksterm sebuh penjungkirbalikkan terhadap intensi semula. Tidak ada apa yang disebut Freud sebagai gap antara yang sadar dan tidak sadar. Tidak ada pembedaan antara penanda dan tinanda. Bahkan kita tahu bahwa relatifisme Chuang-Tzu didasarkan pada pembedaan-pembedaan standar yang digunakan dan sisi-sisi subjektif yang ada. Pemikiran klasik Cina yang paling menunjuk ke arah “distorted speech” (pembicaraan yang selalu berbeda dengan maksudnya) dan kemudian menujukkan bagaimana yang tidak benar akan membalikkan dirinya sendiri. Ketika Menances mengklaim untuk mengetahui speech, dia tidak bicara tentang kebenaran-kebenaran yang jelas atau kebohongan-kebohongan yang mencolok, tetapi dia berbicara mengenai empat mode dari penipuan diri dan penipuan orang lain “self/other deception”. Dia bukanlah seorang dari aliran hermenutik kecurigaan. Mencius, murid dari Kondusius, amat percaya dengan adanya kejelasan dari kebenaran, dia menganggap bahwa yang tidak benar tadi akan menghancurkan diri sendiri. Meski aspek hermeneutik Mencian ini jarang dibahas oleh banyak orang saat ini.
No comments:
Post a Comment